Resume Kesatuan Masyarakat Hukum Adat


1.      Syarat Kesatuan Masyarakat Hukum Adat menurut Pasal 18 B ayat (2) UUD 1945
Secara konstitusional masyarakat hukum adat hanya mendapat pengakuan dan penghormatan dari Negara apabila memenuhi kriteria- kriteria yang ditentukan dalam Pasal 18 B ayat (2) UUD 1945, yaitu apabila kesatuan masyarakat hukum adat itu:
1)      Masih hidup
2)      Sesuai dengan perkembangan masyarakat
3)      Sesuai dengan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan
4)      Ada pengaturan berdasarkan undang-undang.
Melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 31/PUU-V/2007, Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia sebagai lembaga yang berkompeten menafsirkan UUD 1945 telah menentukan kriteria atau tolak ukur terpenuhinya ketentuan Undang-Undang Dasar yang dimaksud.
Ad. 1)              Kesatuan Masyarakat Hukum Adat masih hidup
Menurut Jimly Assiddiqie, jika unsur-unsur hidup atau matinya masyarakat versus tradisi hukum adat dalam teori dan praktek lebih rinci, dapat dijabarkan sebagai berikut:
o   Masyarakatnya masih asli, tradisinya juga masih dipraktekkan dan tersedia catatan mengenai tradisi tersebut.
o   Masayarakatnya masih asli, tradisinya masih ada tetapi catatannya tidak tersedia.
o   Masyarakatnya masih asli, tetapi tradisinya tidak dipraktekkan lagi, namun tersedia rekaman atau catatan tertulis yang suatu kali dapat dipraktekkan lagi.
o   Masyarakat masih asli, tetapi tradisinya sudah tiada dan tidak ada pula catatan sama sekali.
o   Masyarakatnya sudah tidak asli lagi, tradisinya pun sudah tidak ada, kecuali hanya ada dalam legenda-legenda yang tidak tertulis.
o   Masyarakatnya  tidak asli lagi, tradisinya sudah menghilang dari praktek, ettapi catatannya masih tersedia dan sewaktu-waktu dapat kembali dihisupkan.
o   Masyarakatnya sudah tidak asli lagi, tetapi tradisinya masih dipraktekkan dan catatannya pun tersedia cukup memadai.
o   Masyarakatnya tidak asli lagi, dan juga tidak tersedia catatan mengenai hal itu, tetapi tradisinya masih hidup dalam praktek.
Jika ukuran uatamanya adalah tradisi hukum adatnya, maka meskipun orangnya sudah berganti dengan para pendatang baru, selama tradisinya masih hidup dalam praktek, amka dapat saja dikatakan bahwa masyarakat hukum adat yang bersangkutan masih hidup.
Mengenai unsur masyarakat sebagai tolak ukur suatu kesatuan masyarakat masih hidup, Mhkamah Konstitusi tidak mempersoalkan apakah masyarakatnya masih asli atau tidak, melainkan lebih menekankan pada adanya masyarakat yang warganya memiliki perasaan kelompok (ingroup feeling). Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa suatu kesatuan masyarakat secara de facto masih hidup (actual exidtence) setidak-tidaknya mengandung unsur:
·         Adanya masyarakat yang warganya memiliki perasaan kelompok (ingroup feeling).
·         Adanya pranata pemerintahan adat.
·         Adanya harta kekayaan dan/atau benda-benda adat; dan
·         Adanya perangkat norma adat; serta
·         Adanya wilayah tertentu, khusus pada kesatuan masyarakat hukum adat yang bersifat teritorial.
Ad. 2)              Kesatuan Masyarakat Hukum Adat sesuai dengan perkembangan masyarakat
Menurut Maijor Polak, perkembangan masyarakat meliputi aspek yang luas, meliputi struktur sosial, ekonomi, budaya, dan lain-lain. Perkembangan masyarakat  di indonesia juga dapat diukur dari ilmu pengetahuan dan teknologi.
Menurut I D G Palgunma, perkembangan masyarakat yang dimaksud dalam Pasal 18 B ayat (2) tersebut dengan arah perkembangan masyarakat yang dikehendaki oleh perubahan UUD 1945. Menurutnya, perubahan yang dilakukan terhadap UUD 1945 dimaksudkan untuk mewujudkan Indonesia sebagai negara yang menegakkan prinsip-prinsip demokrasi konstitusional dan negara hukum. Dengan kata lain, perkembangan masyarakat Indonesia diarahkan menuju terwujudnya kehidupanbermasyarakat yang demokratis dan berdasar atas hukum.
Lebih konkrit Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa kesatuan masyarajat hukum adat dipandang sesuai dengan perkembangan masyarakat apabila suatu kesatuan masyarakat tersebut:
·         Keberadaanya telah diakui berdasarkan undang-undang yang berlaku sebagai pencerminan perkembangan nilai-nilai yang dianggap ideal dalam masyarakat dewasa ini, baik undnag-undnag yang bersifat umum maupun bersifat sektoral, seperti bidang agraria, kehutanan, perikanan, dan lain-lain maupun dalam peraturan daerah; dan
·         Substansi hak-hak tradisional tersebut diakui dan dihormati oleh warga kesatuan masyarakat yang bersangkutan maupun masyarakat yang lebih luas, serta tidak bertentangan dengan hak asasi manusia.
Ad. 3)              Kesatuan Masyarakat Hukum Adat Sesuai dengan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia
Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa suatu kesatuan masyarakat hukum adat dipandang sesuai dengan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia apabila suatu kesatuan masyarakat hukum adat tidak menganggu eksistensi Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai sebuah kesatuan politik dan kesatuan hukum, dalam artian:
·         Keberadaannya tidak mengancam kedaulatan dan integritas Negara Kesatuan Republik Indonesia; dan
·         Substansi norma hukum adatnya sesuai dan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
Menurut pendapat I DG Palguna, hubungan dengan keberadaan kesatuan masyarakat hukum adat, ada satu prinsip atau asas umum yang dapat dijadikan pegangan, yakni bahwa kesatuan masyarakat hukum adat itu tidak boleh membuat dan memberlakukan aturan yang isinya bertentangan dengan peraturan yang dibuat oleh Negara. Oleh karena kekuasaan negara tidak berada di satu tangan, tetapi menyebar ke ebrbagai lembaga atau organ, maka yang disebut sebagai peraturan atau hukum negara itu berbagai macam bentuk dan ragamnya.
Ad. 4)              Kesatuan Masyarakat Hukum Adat diatur dalam undang-undang
Istilah Undang-Undang memiliki pengertian tersendiri dan berada dalam level yang berbeda, dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011, menurut Pasal 7 secara rinci disebutkan jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan yaitu:
1)      UUD NRI Tahun 1945
2)      Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
3)      Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
4)      Peraturan Pemerintah
5)      Peraturan Presiden
6)      Peraturan Daerah Provinsi
7)      Peraturan Daerah Kota/Kabupaten
Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 007/PUU-III/2005 tentang Pengujian UU No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminann Sosial Nasional Terhadap UUD 1945 menyatakan frasa dalam undnag-undang menunjuk pada pengertian bahwa pembentukan bdana penyelenggara jaminan sosial harus memenuhi ketentuan undang-undang.
Maka dalam Pasal 18 B ayat (2), ketentuan tersebut bermakna tidak harus  dibentuk undang-undnag yang khusus untuk mengakui dan menghormati kesatuan masyarakat hukum adat dan hak-hak tradisionalnya, melainkan pengakuan dan penghormatan negara terhadap kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya harus memenuhi ketentuan undang-undang, artinya dapat dalam undang-undanng sektoral , seperti agraria, kehutanan, perkebunan dan lain-lain.
2.      Kesatuan Masyarakat Hukum Adat adalah Subjek Hukum
Masyarakat hukum adat sebagai subjek hukum adalah badan hukum yang bersifat “Gemeenschaap” yaitu persekutuan hukum yang terbentuk secara alamiah karena perkembangan-perkembangan sosial, ekonomi dan politik—bukan “verenigingen” yang terbentuk dengan sengaja untuk kepentingan-kepentingan ekonomi an sich anggota-anggotanya. Sebagai Badan Hukum, Masyarakat hukum adat mempunyai hak-hak (kewenangan) yang bersifat publik.
Pengakuan hukum masyarakat hukum adat sebagai Badan Hukum Publik terkait dengan Pasal 18 UUD 1945. Dalam Pasal 18 UUD 1945 sebelum perubahan, jelas bahwa susunan asli masyarakat hukum adat dalam bentuk desa, Nagari atau nama lain mempunyai kewenangan publik berdasarkan hak asal usul yang bersifat istimewa, termasuk kewenangannya terhadap wilayah dan sumber daya alam yang terkandung di dalamnya. 
Namun, sejak Perubahan Pasal 18 UUD 1945 berakibat pada kaburnya posisi hukum masyarakat hukum adat sebagai Badan Hukum Publik dalam penyelenggaran negara yang mempunyai hak asal usul terutama terkait atas kepastian wilayahnya, karena: (1) hanya mengenal pembagian wilayah negara dalam daerah-daerah propinsi dan daerah propinsi di bagi dalam daerah-daerah kabupaten dalam asas otonomi daerah dan (2) tidak mengenal lagi wilayah susunan asli masyarakat hukum adat yang mempunyai hak asal usul. Artinya, perubahan Pasal 18 berakibat pada pengakuan masyarakat hukum adat sebagai subjek hukum, namun tidak dengan wilayahnya, dan pengakuan terhadap wilayah masyarakat hukum adat melalui rezim hukum pemerintah daerah.
RUU Desa dan RUU PPMA mempunyai pengaruh besar terhadap pengakuan hak-hak masyarakat hukum adat, terutama sebagai subjek hukum. RUU Desa mempunyai peran penting integrasi hak-hak publik masyarakat hukum adat sebagai badan hukum dalam penyelenggaraan negara. RUU Desa semestinya tidak dikonstruksi sebagai bagian penyelenggaran negara yang bersifat administratif an sich, namun semestinya sebagai bentuk pengakuan susunan asli seperti desa, Nagari, marga dan nama-nama lainnya (kemudian disebut desa asal usul) sebagai kesatuan masyarakat hukum adat.
RUU PPMA dirancang dengan semangat pengakuan masyarakat hukum adat dan hak-haknya. Hal tersebut sebenarnya mempunyai persamaan semangat dengan RUU Desa yang juga mencoba mendeklarasikan pengakuan tersebut. Perbedaannya terletak pada RUU Desa merekonstruksi kesatuan masyarakat hukum adat dalam bentuk desa asal usul dalam penyelengaaraan negara yang mempunyai hak khusus dan bersifat istimewa terhadap wilayahnya, sedangkan RUU PPMA merekonstruksi masyarakat hukum adat sebagai subjek hukum yang bersifat khusus dan istimewa. Artinya RUU Desa lebih jelas menukik pada problem pengakuan wilayah masyarakat hukum adat yang kabur akibat perubahan Pasal 18 UUD 1945.
Adapun konsep masyarakat hukum adat sebagai subyek hukum memiliki corak sebagai berikut: Tata-susunan menyesuaikan kepentingan anggota; Terbentuk karena kodrat (manusia) dan keinginan pendirinya (badan hukum); Merupakan kesatuan kepentingan bersama; Kesatuan nilai-nilai kepercayaan hanya ada pada badan hukum keagamaan/ kepercayaan; Harta kekayaan dalam bentuk materiil saja; Memiliki pengurus; Beberapa badan hukum publik bersifat badan kekuasaan (gezagsgemeenschap); Ada kemungkinan bagi anggotanya untuk menginginkan pembubaran; Otonomi dan kedaulatan (secara kumulatif) hanya ada pada negara sebagai subjek hukum publik; Hukum yang dihasilkan cenderung mengikat sebagai solidaritas organik; State-enforceable law (dalam kapasitas sebagai badan hukum publik); Penguasaan atau kepemilikan atas objek hak; Kapasitas untuk membuat hukum, serta mendorong dan memaksakan kepatuhan hanya dimiliki oleh negara sebagai badan hukum publik; Hubungan badan hukum dengan objek haknya  dapat dilepaskan (pengecualian: Hak Menguasai Negara); Pembayaran uang atau barang sebagai prestasi atas hak pemanfaatan; Dimungkinkan kepemilikan mutlak.
3.      Tiga Penggolongan Penduduk Jaman Hindia Belanda
Tiga golongan yang dibuat oleh pemerintahan Belanda sesuai dengan pasal 163 IS.
1.      Golongan Eropa; Dalam undang-undang yang mengatur golongan ini, pemerintah Belanda membuat perjanjian bahwa semua orang Jepang dianggap setara dengan penduduk Eropa.Semua yang digolongkan dalam golongan Eropa ini adalah semua orang yang berasal dari Eropa, baik Belanda maupun bukan Belanda, orang Jepang, serta anak-anak yang sah dilahirkan di Hindia Belanda dengan hukum keluarga Belanda.
2.      Golongan Indonesia; golongan Indonesia ini berasal dari semua etnis pribumi Indonesia asli atau yang bukan Indonesia asli tetapi meninggalkan hukum asli negaranya dan menikah dengan orang Indonesia asli.
3.      Golongan Timur Asing; golongan Timur Asing nampaknya lebih memberi konotasi negatif bersamaan dengan sikap diskriminatif terhadap golongan yang tidak terdaftar dalam golongan Eropa maupun golongan Indonesia asli. Golongan ini di antaranya terdapat pada golongan Tionghoa dan bukan Tionghoa yang berasal bukan dari Eropa juga. Misalnya berasal dari Afrika, Arab, India, dan sebagainya.
Hukum yang berlaku pada masing-masing golongan :
1)      Hukum yang Berlaku Bagi golongan Eropa
Aturan-aturan hukum yang berlaku bagi golongan Eropa seperti yang dimaksud dalam pasal 131 IS terdiri dari hukum perdata, hukum pidana material, dan hukum acara.
a.       Hukum perdata material yang berlaku pada dasarnya berbentuk tertulis dikodivikasikan terdapat dalam Burgerlijk Wetboek dan Wetboek van Koophandel. Hukum ini sebagai hasil sebagai komisi undang-undang yang dipimpin oleh Mr. Scholten van Oud Haarlem dan selesai pada tahun 1846. Hukum ini kemudian diberlakukan pada tanggal 1 mei 1848. Dengan asas konkordansi, pada pokoknya kedua kitab undang-undang hukum itu bersamaan isinya dengan kitab undang-undang hukum perdata yang berlaku di Belanda.
b.      Hukum pidana material yang berlaku bagi golongan Eropa yaitu Wetboek van Strafrecht, diberlakukan tanggal 1 Januari 1918 melalui S. 1915 : 732
c.       Hukum acara yang dilaksanakan dalam proses pengadilan bagi golongan Eropa di Jawa dan Madura diatur dalam “ Reglement op de Burgerlijke Rechtsvordering”. Untuk proses perdata dan untuk proses pidana diatur dalam “Reglement op de Strafvordering”. Keduanya mulai berlaku Pada tanggal 1 januari 1918.
Susunan Peradilan yang digunakan bagi golongan Eropa di Jawa dan Madura terdiri dari:
1. Residentiegerecht
2. Raad van Justitie
3. Hooggerechtshof
Susunan perdilan Eropa di luar Jawa dan Madura sama seperti di Jawa dan Madura dengan satu Hooggerechtshof di Jakarta.
2)      Hukum yang Berlaku Bagi golongan indonesia.
Aturan-aturan hukum yang berlaku bagi golongan Indonesia seperti yang diatur dalam pasal 131 IS. Sebelumnya terdapat dalam Pasal 75 RR (baru) 1 januari 1920, terdiri dari hukum perdata, hukum perdana maerial dan hukum acara.
a.       Hukum perdata material yang berlaku, yaitu hukum perdata Adat dalam bentuk tidak tertulis dan ketentuan-ketentuanya mempunyai kekuatan mengikat bagi setiap orang yang termasuk golongan Indonesia (bumiputra). Akan tetapi, dengan adanya pasal 131 ayat 6 IS, berlakunya hukum adat itu tidak lagi mutlak.
b.      Hukum pidana material yang berlaku ialah Wetboet van Strafrecht sejak tahun 1918 berdasarkan S. 1915:732.
c.       Hukum acara perdata yang berlaku bagi golongan Indonesia dalam peradilan Lingkungan pemerintahan untuk daerah Jawa dan Madura diatur pada “Inlands Reglement” (IR). Selain itu hukum acara pidananya dijadikan satu buku hukum acara perdatanya dalam “Herziene Inlands Reglement” (HIR) berlaku berdasarkan S. 1941:44 tanggal 21 Februari 1941.
Adapun susunan pradilan bagi golongan pradilan di Jawa dan Madura terdiri dari :
1. Districtsgerecht
2. Regentschapsgerecht
3. Landraad
Bagi daerah-daerah di luar Jawa dan Madura, mengenai susunan organisasi peradilan untuk golongan Indonesia diatur tersendiri dalam “Rechtsreglement Buitengewesten”. Lembaga peradilan itu terdiri dari:
1. Negorijrechtbank
2. Districtsgerecht
3. Magistraatsgerecht
4. landgerecht
3)      Hukum yang Berlaku bagi Golongan Timur Asing
a.       Semula yang diberlakukan hukum perdata dan hukum pidana adatnya, disebabkan hukumnya dipersamakan kedudukan dengan orang Indonesia. Hal ini dicantumkan secara tegas dalam pasal 11 AB. Selanjutnya, melalui S. 1855:79 untuk Jawa dan Madura dan kemudian diberlakukan seluruh hukum perdata Eropa bagi mereka, kecuali hukum keluarga dan hukum waris tanpa wasiat. Setelah itu, pada tahun 1917 melalui S. 1917:129 golongan Timur Asing Cina sejak tanggal 1 Mei 1919 dibedakan dengan golongan Timur Asing lainnya.
b.      Mengenai hukum pidana material, bagi golongan Timur Asing sejak tanggal 1 Januari 1918 berlaku Wetboek van Strafrecht. Hal ini sama dengan golongan lainnya karena hukum pidana yang dikodifikasikan dan tidak dikodifikasikan dalam undang-undang atau peraturan lainnya bercorak unifikasi.
c.       Hukum acara yang khusus bagi golongan Timur Asing tidak diatur dan pengadilanyya pun juga demikian. Oleh karena itu, bagi mereka kadang-kadang diproses pada pengadilan Eropa dan kadang-kadang juga melalui pengadilan bumiputra (tersebut dalam uraian sebelumnya).
Peradilan yang melaksanakan pengadilan sendiri itu antara lain :
1. Pengadilan Swapraja
2. Pengadilan Agama
3. Pengadilan Militer



4.      Latar belakang diakuinya Peradilan Desa dalam Pasal 3a R.O
Dorpjustitie (Peradilan Desa) adalah peradilan yang dilaksanakan oleh Hakim Desa atau disebut Hakim Adat, baik dalam lingkungan peradilan gubernemen, peradilan pribumi/peradilan adat, maupun peradila swapraja di luar jawa dan madura, yang berwenang mengadili perkara-perkara kecil yang merupakan urusan adat dan urusan desa. Walaupun sesungguhnya peradilan desa sudah lama berlaku dalam kehidupan masyarakat di perdesaan, namun pemerintah Hindia Belanda  baru mengakuinya pada tahun 1935, ketika disisipkan Pasal 3a RO dengan Stb. 1935.
Perkembangan yang signifikan terhadap pengakuan peradilan bagi golongan penduduk pribumiterjadi pada tahun 1935, ketika ke dalam RO disisipkan pasal 3a melalui stb. 1935 Nomor 102 Pasal 3a RO tersebut selengkapnya menyatakan sebagai berikut:
(1)   Perkara-perkara yang pemeriksaaannya menurut hukum adat (cetak miring dari penulis) menjadi wewenang hakim dari masyarakat hukum kecil-kecil (hakim desa) tetap diserahkan kepada pemeriksaan mereka;
(2)   Apa yang ditentukan dalam ayat (1), sekali-kali tidak mengurangi wewenang dari para pihak untuk setiap waktu menyerahkan perkaranya kepada hakim yang dimaksudkan dalam ayat 1,2, dan 3;
(3)   Hakim-hakim yang dimaksud dalam ayat (1), mengadili menurut hukum adat (cetak miring dari penulis), mereka tidak bleh mengenakan hukuman.
Dengan disisipkannya pasal ini, maka kedudukan peradilan desa yang sejak dahulu kala tetap hidup dan dipraktekkan dalam kesatuan-kesatuan  masyarakat hukum adat diakui oleh Pemerintah Hindia Belanda. Berdasarkan ini, selama pemerintahan Hindia Belanda dikenal dua bentuk peradilan bagi orang pribumi, yaitu peradilan adat dan peradilan desa yang tidak memiliki perbedaan prinsipil.
32

Comments

Popular posts from this blog

Surat Atas Tunjuk dan Surat Atas Pengganti (Hukum Dagang)

Perbedaan Surat atas Tunjuk (Aan Toonder) dan Surat atas Pengganti (Aan Order)

OBJEK-OBJEK HUKUM TATA NEGARA