Pembuktian yang Diatur Secara Khusus dalam Hukum Acara Peradilan Agama


RINGKASAN PEMBUKTIAN YANG DIATUR SECARA KHUSUS DALAM HUKUM ACARA PERADILAN AGAMA

Secara terminologi pengertian pembuktian menguti pendapat Subekti yang menyebutkan sebagai “upaya untuk meyakinkan hakim tentang kebenaran dalil-dalil atau dalil-dalil yang dikemukakan dalam suatu persengketaan”. Dengan demikian, dalam perkara perdata pada umumnya pembuktian hanya diperlukan manakala ada dalil yang dibantah oleh pihak lawan. Tetapi berbeda halnya dengan perkara perdata di Pengadilan Agama, khususnya mengenai perkara perceraian yang tidak sepenuhnya menempatkan pengakuan sebagai alat bukti yang tidak mengandung nilai sempurna dan mengikat, maka meski hubungan hukum dan atau fakta kejadian tidak dibantah oleh pihak lawa, Penggugat/Pemohon tetap dibebankan untuk membuktikan gugatannya.
Hukum acara Peradilan Agama dalam membuktikan peristiwa-peristiwa terjadinya perceraian, mempunyai dua versi pengaturan, yaitu hukum pembuktian yang berlaku pada pengadilan dalam lingkungan peradilan umum sebagai lex generalis, dan hukum pembuktiian yang telahdiatur secara khusus dalam UU PA sebagai lex specialis sehingga implementasi kekhususan pengaturan terjadinya perceraian dalam pengadilan agama berpedoman pada asas lex specialis derogat lex generalis(ketentuan khusus mengesampingkan ketentuan umum). Dengan demikian, apabila UU PA sudah mengatur khusus acara pembuktian terjadinya perceraian, dengan sendirinya hakim tidak memberlakukan acara pembuktian dalam HIR atau RBG. Sebaliknya apabila acara pembuktian terjadinya perceraian tidak diatur secara khusus, hakim akan mempergunakan HIR atau RBG sebagai hukum umumnya.
Dalam Pasal 163 HIR/Pasal 283 RBG, menyatakan bahwa: “Barang siapa mengatakan ia mempunyai hak, atau ia menyebutkan suatu perbuatan untuk menguatkan haknya itu, atau untuk membantah hak orang itu harus membuktikan adanya hak atau adanya kejadian itu”.
Alat bukti dalam Pasal 164 HIR/284 RBG/1866 BW dinyatakan secara enumeratif alat bukti yang berlaku di Pengadilan Negeri, adalah sebagai berikut:
1.      Bukti tertulis (surat)
2.      Bukti dengan saksi-saksi
3.      Persangkaan
4.      Pengakuan
5.      Sumpah
Ketentuan mengenai hukum acara yang berlaku dilingkungan Peradilan Agama diatur dari Pasal 54 sampai dengan 91 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama. Aturan peralihan yang menjadi dasar solusi atas permasalahan dalam Hukum Acara Peradilan Agama dapat ditemmukan dalam Pasal 54 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama yang menyatakan, bahwa “Hukum Acara yang berlaku pada Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama adalah Hukum Acara Perdata yang berlaku pada Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum, kecuali yang telah diatur secara khusus dalam Undang-undang ini”.
Pembuktian terjadinya perceraian yang diatur secara khusus dalam UU PA antara lain:
1.      Pembuktian dalam permohonan cerai talak.
-          Pasal 70 UU PA, bahwa “Pengadilan setelah berkesimpulan bahwa kedua belah pihak tidak mungkin lagi didamaikan dan telah cukup alasan perceraian, maka Pengadilan menetapkan bahwa permohonan tersebut dikabulkan”. Kata “berkesimpulan” apabila dikaitkan dengan pembuktian menurut Undang-Undang Peradilan Umum adalah menggunakan alat bukti persangkaan-persangkaan.
-          Menurut pasal 1915 BW, maka persangkaan adalah kesimpulan-kesimpulan yang oleh undang-undang atau hakim ditarik dari suatu peristiwa yang terang nyata ke arah peristiwa lain yang belum terang kenyataannya. Dalam pembuktian dengan alat bukti ini Pengadilan Agama secara khusus bukan menggunakan fakta-fakta apa yang harus disimpulkan, melainkan persangkaan-persangkaan yang disimpulkan hakim berdasarkan fakta yang diperoleh dipersidangan.
-          Contoh: hakim dalam menyimpulkan bahwa kedua belah pihak tidak mungkin lagi didamaikan menyimpulkan peristiwa-peristiwa selama proses perkara berlangsung, kedua belah pihak tidak serumah lai, pernah diusahakan perdamaia tetapi tidak berhasil. Dalam hal menarik kesimpulan telah cukup alasan perceraian, hakim dapat menarik dari peristiwa-peristiwa sebagai berikut: istri pemboros, isteri senang berjudi, istri banyak membuat hutang.
2.      Pembuktian cerai gugat atas alasan salah satu pihak mendapat pidana penjara
-          Pasal 74 UU PA, bahwa “Apabila gugatan perceraian didasarkan atas alasan salah satu pihak mendapat pidana penjara, maka untuk memperoleh putusan perceraian, sebagai bukti penggugat cukup menyampaikan salinan putusan Pengadilan yang berwenang yang memutuskan perkara disertai keterangan yang menyatakan bahwa putusan itu telah memperoleh kekuatan hukum tetap”.
-          Pembuktian disini menggunakan pembuktian dengan petunjuk, bahwa penggugat cukup menyampaikan salinan putusan dari pengadilan yang berwenang dengan disertai keterangan yang menyatakan bahwa putusan itu memperoleh kekuatan hukum tetap. Salinan putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, disamakan dengan akta autentik.
3.      Pembuktian cerai gugat atas alasan bahwa tergugat mendapat cacat badan atau penyakit
-          Pasal 75 UU PA, bahwa “Apabila gugatan perceraian didasarkan atas alasan bahwa tergugat mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai suami, maka Hakim dapat memerintahkan tergugat untuk memeriksakan diri kepada dokter”.
-          Gugatan perceraian dengan alasan ini diajukan oleh isteri. Pembuktian disini, cukup dengan surat keterangan dokter tentang penyakit tergugat sebagai bukti yang sempurna, untuk membuktikan tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai suami, dibebankan kepada isteri. Untuk membuktikan peristiwanya dapat diajukan saksi-saksi yang melihat sendiri kehidupan rumah tangganya. Seperti dari keluarga dekat atau orang yang dekat dengan pihak yang bercerai. Misalnya : anak, orang tua, menantu, mertua, pembantu rumah tangga atau tetangga.
4.      Pembuktian cerai gugat atas alasan syiqaq
-          Pasal 76 ayat (1) UU PA, bahwa “Apabila gugatan perceraian didasarkan atas alasan syiqaq, maka untuk mendapatkan putusan perceraian harus didengar keterangan saksi-saksi yang berasal dari keluarga atau orang-orang yang dekat dengan suami istri”.
-          Dalam syiqaq, suami istri berselisih dan sudah tidak mungkin rukun kembali, tetapi pihak isteri tidak mempunyai alasan yang kuat untuk bercerai. Sedang suami bersiteguh tidak mau menceraikannya. Oleh karena itu, gugatan perceraian dengan alasan syiqaq diajukan oleh pihak isteri. Untuk membuktikan peristiwa syiqaq menggunakan ketentuan Pasal 76 ayat (1) UU PA, dipergunakan keterangan saksi-saksi yang berasal dari keluarga atau orang-orang yang dekat dengan suami istri, misalnya: anak, orang tua, ipar, mertua, pembantu dan tetangga.
5.      Pembuktian Cerai dengan alasan zina
-          Pasal 87 ayat (1) UU PA, bahwa “Apabila permohonan atau gugatan cerai diajukan atas alasan salah satu pihak melakukan zina, sedangkan pemohon atau penggugat tidak dapat melengkapi bukti-bukti dan termohon atau tergugat menyanggah alasan tersebut, dan Hakim berpendapat bahwa permohonan atau gugatan itu bukan tiada pembuktian sama sekali serta upaya peneguhan alat bukti tidak mungkin lagi diperoleh baik dari pemohon atau penggugat maupun dari termohon atau tergugat, maka Hakim karena jabatannya dapat menyuruh pemohon atau penggugat untuk bersumpah“.
-          Pasal 87 ayat (2) UU PA, bahwa “Pihak termohon atau tergugat diberi kesempatan pula untuk meneguhkan sanggahannya dengan cara yang sama”.
-          Pasal 88 ayat (1) UU PA, bahwa “Apabila sumpah sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 87 ayat (1) dilakukan oleh suami, maka penyelesaiannya dapat dilaksanakan dengan cara li'an”.
-          Pasal 88 ayat (2) UU PA, bahwa “Apabila sumpah sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 87 ayat (1) dilakukan oleh istri maka penyelesaiannya dilaksanakan dengan hukum acara yang berlaku”.
-          Berdasarkan ketentuan Pasal 87 dan Pasal 88 UU PA pada pokoknya menyatakan, perbuatan zina sulit dibuktikan dengan surat atau saksi-saksi, sehingga undang-undang memberi petunjuk, bahwa peristiwa zina dapat dibuktikan dengan sumpah. Apabila sumpah diberikan kepada suami maka penyelesaiannya dengan cara li’an, yang diatur dalam al-quran (surat an-nur), kemudian si isteri diberi kesempatan untuk bersumpah sehingga terhindar dari hukuman, walaupun si isteri telah terbebas dari tuduhan dan ancaman hukuman, hubungan perkawinan tetap terputus karena ada li’an. Sebaliknya menurut Pasal 88 ayat (2) UU PA, jika sumpah ini diberikan kepada isteri, sumpahnya bukan sumpah li’an, tetapi sumpah yang berlaku pada ketentuan hukum acara Peradilan Umum.
Referensi:
-          Gatot Supramono, 1995, Hukum Pembuktian di Peradilan Agama, Bandung: Alumni.
-          H. Chatib Rasyid dan Syaifuddin, 2009, Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktik pada Peradilan Agama, Yogyakarta: UII Press Yogyakarta.
-          I Gusti Ayu Agung Ari Krisnawati, 2016, Kekhususan Pengaturan Pemeriksaan dan Pembuktian Perceraian dalam Hukum Acara Peradilan Agama, Denpasar: Kertha Patrika.

Comments

Popular posts from this blog

Surat Atas Tunjuk dan Surat Atas Pengganti (Hukum Dagang)

Perbedaan Surat atas Tunjuk (Aan Toonder) dan Surat atas Pengganti (Aan Order)

OBJEK-OBJEK HUKUM TATA NEGARA