Tata Cara Pemeriksaan Notaris Terhadap Pemanggilan Dan Pemanggilan Fotokopi Minuta Akta Notaris
TATA CARA PEMERIKSAAN NOTARIS TERHADAP PEMANGGILAN DAN
PEMANGGILAN FOTOKOPI MINUTA AKTA NOTARIS
1. Kedudukan,
Keberadaan, dan Kewenangan Notaris
Dari
ketentuan yang tercantum dalam Pasal 1 angka 1 dan Pasal 15 Undang-Undang Nomor
2 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 30 tahun 2004 tentang
jabatan Notaris, yang untuk selanjutnya cukup saya sebut Undang-Undang Jabatan
Notaris atau UUJN, dapat kita simpulkan bahwa Notaris adalah pejabat umum yang
berwenang membuat akta autentik mengenai semua perbuatan, perjanjian dan
penetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undang dan/ atau yang
dikehendari oleh yang berekepentingan untuk dinyatakan dalam,
akta autentik, menjamin oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta
autentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan akta, menyimpan akta, memberikan
grosse, salinan dan kutipan akta, semuanya itu sepanjang pembuatan akta itu
tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain
yang ditetapkan oleh undang-undang, serta kewenangan lainnya yang diatur dalam
peraturan perundang-undangan.
Dalam
pengertian mengenai Notaris sebagaimana terurai diatas tidak hanya diatur
mengenai kedudukan dan kewenangannya, melainkan diatur pula mengenai
kewajibannya.
Keberadaan
Notaris tidak bias dilepaskan dari kepentingan masyarakat akan alat bukti
tertulis, khususnya yang berupa akta autentik untuk keperluan pembuktian atas
perbuatan hokum yang mereka lakukan. Dalam pengertian masyarakat disini tidak
hanya sebatas pada orang perseorangan, melainkan termasuk pula badan hukum,
misalnya : perseroan terbatas, yayasan dan perkumpulan.
Kedudukan
Notaris sebagai Pejabat Umum sebagaimana tercantum dalam UUJN di atas adalah
wajar, sebab dalam kedudukan tersebut Notaris mewakili Negara dalam menyediakan alat bukti, khususnya yang
berupa akta autentik, oleh karena itu wajar apabila akta autentik yang dibuat
oleh atau di hadapannya mempunyai kekuatan pembuktian sempurna.[1]
Mengenai
kewenangan Notaris telah saya kemukakan di atas, yang apabila diperinci sebagai
berikut:
a.
Kewenangan
umum, yaitu membuat akta autentik, sebagaimana diatur dalam Pasal 15 ayat (1)
UUJN;
b.
Kewenangan
tertentu, yaitu melakukan legalisasi atas surat di bawah tangan, melakukan waarmeking atas surat di bawah tangan;
membuat kopi asli darisurat di bawah tangan; melakukan pengesahan kecocokan
fotokopi dengan surat aslinya; dan lain-lain sebagaimana diatur dalam Pasal 15
ayat (2) UUJN; serta
c.
Kewenangan
lain-lain yang diatur dalam peraturan perundang-undangan, sebagaimana diatur
dalam Pasal 15 ayat (3) UUJN.
2. Ruang
Lingkup Kewenangan Notaris
Untuk
memahami ruang lingkup kewenangan Notaris, seyogyanya kita pahami terlebih
dahulu sistematika Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek voor Indonesie)[2],
yang dimulai dari buku kesatu sampai dengan buku keempat, yaitu:
Buku Kesatu -
Tentang Orang[3]
(VAN PERSONEN)
Buku Kedua –
Tentang Benda (VAN ZAKEN)
Buku Ketiga –
Tentang Perikatan (VAN VERBINDTENISSEN), dan
Buku Keempat
– Tentang Pembuktian dan Kadaluarsa (VAN BEWIJS EN VERJARING);
Dari
sistematika tersebut, dapat kita pahami bahwa KUH Perdata menitikberatkan
pengaturannya pada urusan atau kepentingan orang perseorangan (dan keluarga),
termasuk yang masih dalam kandungan, sepanjang lahir dalam keadaan hidup. Dalam
Pasal 1 s/d Pasal 3 KUH Perdata diatur secara tegas mengenai hal-hal sebagai
berikut:
Pasal 1
Menikmati
hak keperdataan / kewargaan tidak bergantung pada hak kenegaraan.
Pasal 2
Anak
dalam kandungan seorang wanita dianggap telah lahir, setiap kali kepentingannya
menghendakinya. Apabila telah mati waktu dilahirkan, dia dianggap tidak pernah
ada.
Pasal 3
Tiada
suatu hukuman pun yang yang mengakibatkan kematian perdata atau hilangnya segala hak kewargaan.
Apabila
buku kesatu mengatur tentang orang, termasuk keluarga, maka buku kedua mengatur
hubungan antara orang dengan benda, sedangkan buku ketiga mengatur hubungan
antara orang dengan orang mengenai atau dengan objek benda.
Untuk
mebuktikan (mempertahankan perbuatan, penetapan, dan perjanjian yang diatur dalam
buku kesatu s/d buku ketiga di atas diperlukan alat bukti, sebagaimana diatur
dalam Pasal 1866 KUH Perdata, Pasal 164 HIH, dan Pasal 284 RBg, yang meliputi:
Bukti
tertulis;
Bukti Saksi;
Persangkaan;
Pengakuan;
Sumpah.
Urutan-urutan
dalam penyebutan alat bukti sebagaimana yang diatur dalam pasal 1866 KUH
Perdata maupun pasal 164 HIR serta Pasal 284 RBg tersebut ternyata berbeda
dengan ketentuan yang mengatur tentang urutan-urutan penyebutan alat bukti
dalam Hukum Acara Pidana[4],
yang menempatkan sanksi dalam urutan pertama.
Pengaturan
mengenai susunan penyebutan (urutan-urutan) alat bukti yang berbeda antara
hokum perdata dan hukum pidana (hukum acara pidana) merupakan hal yang wajar
dan/atau sudah semestinya, mengingat secara umum dapat dipahami bahwa setiap
orang mempunyai kecendrungan untuk mengamankan haka tau kepentingannta dalam
lapangan hukum perdata dengan membuat atau minta dibuatkan alat bukti tertentu,
khusunya alat bukti surat/tulisan. Sebaliknya, setiap orang akan cenderung
menghilangkan alat bukti atas pelanggaran atau kejahatan yang dilakukan,
sehingga sangataneh bila yang bersangkutan sengaja membuat dan meninggalkan
alat bukti atas perbuatannya tersebut, lebih-lebih yang berupa alat bukti
surat/ tulisan.
Kewenangan
Notaris dalam pembuatan akta autentik mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan
penetapan terbatas dalam ruang lingkup hukum perdata (hukum acara perdata),
dalam hal ini hukum pembuktian. Untuk lebih jelasnya akan saya sampaikan
penjelasan sebagai berikut:
Dalam
hukum pembuktian dikenal istilah beban pembuktiab, dimana Setiap orang yang
mengaku mempunyai suatu hak, atau menunjuk suatu peristiwa untuk meneguhkan
haknya itu atau untuk membantah suatu hak orang lain, wajib membuktikan adanya
hak itu atau kejadian yang dikemukakan itu.[5]
Pembuktian tersebut menggunakan alat bukti
yang berupa : bukti tertulis; bukti saksi; persangkaan; pengakuan dan sumpah,
sebagaimana telah saya kemukakan sebelumnya.
Bukti
tertulis dibedakan menjadi dua, yaitu akta autentik dan akta di bawah tangan. Yang
dimaksud akta autentik adalah akta dalam bentuk yang ditentukan undang-undang,
dibuat oleh atau di hadapan pejabat umum yang berwenang di tempat di mana akta
tersebut dibuat.[6]
Adapun akta di bawah tangan adalah seluruh akta yang tidak memenuhi syarat sebagai
akta autentik.
Dari
uraian diatas terlihat bahwa perbuatan, perjanjian, dan penetapan yang
dinyatakan dalam akta Notaris adalah sebatas dalam ruang lingkup hukum perdata.
3. Manfaat
Keberadaan Notaris
Dari
uraian yang tercantum dalam point 1 dan 2, terlihat secara jelas bahwa manfaat
paling utama dari keberadaan Notaris adalah membuat alat bukti tertulis yang
berupa akta autentik yang mempunyai kekuatan sempurna.
Selain
manfaat tersebut, masih ada manfaat lainnya, misalnya:
a.
Dalam
pemasukan uang ke dalam kas Negara atau daerah; dan
b.
Dalam
pemberian nasihat hukum, khususnya kepada kliennya dalam kaitannya dengan
pembuatan akta.
Mengenai
manfaat keberadaan Notaris dalam pemasukan uang ke dalam kas Negara atau kas
daerah, terlihat antara lain dalam jual-beli, hibah, tukar menukar atas
bangunan, dimana sebelum akta Notaris yang berkenaan dengan hal tersebut
ditandatangani, Pajak Penghasilan dan Bea Perolehan atas Tanah dan/atau
bangunan tersebut harus telah dibayar oleh pihak yang berkepentingan, dengan beberapa
pengecualiannya. Yang tidak kalah pentingnya adalah pemberian nasihat hukum,
khususnya kepada kliennya dalam kaitannya dengan pembuatan akta, di mana
nasihat hukum ini mempunyai makna yang sedemikian penting dalam mencegah
terjadinya kesalahan dalam perbuatan, perjanjian dan penetapan yang dimuat atau
dinyatakan ke dalam akta. Selain dalam rangka pembuatan akta, Notaris
berkewajiban pula untuk memberikan nasihat hukum kepada orang yang memerlukan
dan meminta kepadanya, di mana hal ini sesuai dengan Putusan Arrest Hoge Raad tanggal 31 Januari 1919
yang berkewajiban setiap orang, apalagi Notaris untuk memperhatikan kepentingan
orang lain, yang meliputi kepentingan pribadi maupun harta kekayaannya.
[3] Ada yang
menyebut sebagai Hukum orang dan keluarga. Hal ini wajar, sebab sebagian besar
isinya mengatur tentang hal ihwal yang berkenaan atau terkait dengan keluarga.
Comments
Post a Comment