Analisis Disharmonisasi Norma Pada Pasal Dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2016 Tentang Merek Dan Indikasi Geografis


Analisis Disharmonisasi Norma Pada Pasal Dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2016 Tentang Merek Dan Indikasi Geografis

Dalam melakukan suatu penelitian hukum normatif, salah satu hal yang biasanya diteliti adalah permasalah mengenai disharmonisasi norma. Disharmonisasi norma dapat berupa adanya norma yang kosong, norma yang kabur, dan norma yang bertentangan dalam pasal  yang terdapat dalam suatu peraturan perundang-undangan. Norma kosong merupakan suatu keadaan dimana pembentuk undang-undang tidak dapat memprediksikan apa yang akan terjadi di masa yang akan datang mengenai adanya suatu perbuatan melanggar/melawan hukum yang seharusnya diatur dalam suatu norma. Namun atas ketidakmampuannya untuk memprediksikan hal tersebut sehingga muncullah suatu keadaan dimana tidak adanya norma yang mengatur atau disebut juga norma kosong.
Norma kabur merupakan suatu keadaan dimana pembentuk undang-undang tidak memberikan batasan pengertian yang jelas terhadap suatu norma sehingga menimbulkan adanya multitafsir terhadap norma yang dibuatnya.  Atas keadaan ini, para pembaca sulit untuk mengerti maksud dari pada norma yang dibuatnya, sehingga dalam penerapannya sering menimbulkan salah dalam menafsiran maksud dari isi norma tersebut. Norma yang bertentang merupakan suatu keadaan dimana antara norma yang satu dengan norma yang lainnya terjadi ketidaksinkronisasi.
Dalam tulisan ini kami akan menganalisis mengenai ada tidaknya disharmonisasi norma dalam Undang-Undang No. 20 tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis. Adapun hasil analisis kami akan kami paparkan sebagai berikut ;
A.  Norma Kosong
a.      Pasal 100 ayat (1) dan ayat (2)
(1)   Setiap Orang yang dengan tanpa hak menggunakan Merek yang sama pada keseluruhannya dengan Merek terdaftar milik pihak lain untuk barang dan/atau jasa sejenis yang diproduksi dan/atau diperdagangkan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).
(2)   Setiap Orang yang dengan tanpa hak menggunakan Merek yang mempunyai persamaan pada pokoknya dengan Merek terdaftar milik pihak lain untuk barang dan/atau jasa sejenis yang diproduksi dan/atau diperdagangkan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).
Analisis :
Dalam ketentuan pasal ini mengatur mengenai ketentuan pidana bagi orang yang melakukan perbuatan melawan hukum terhadap merek. Pada ayat 1 mengatur mengenai larangan dan pidana yang diberikan bagi setiap orang yang dengan tanpa hak menggunakan Merek yang sama pada keseluruhannya dengan Merek terdaftar milik pihak lain untuk barang dan/atau jasa sejenis yang diproduksi dan/atau diperdagangkan dan pada ayat 2 mengatur mengenai larangan dan pidana yang diberikan bagi setiap orang yang dengan tanpa hak menggunakan Merek yang mempunyai persamaan pada pokoknya dengan Merek terdaftar milik pihak lain untuk barang dan/atau jasa sejenis yang diproduksi dan/atau diperdagangkan. Kekosongan norma dalam pasal ini terletak pada tidak diaturnya ketentuan pidana bagi setiap orang yang melakukan perbuatan melawan hukum terhadap merek kolektif. Padahal dalam beberapa pasal dalam undang-undang ini juga mengatur mengenai merek kolektif. Mengingat bahwa merek yang dimaksud dalam undang-undang ini hanyalah merek dagang dan merek jasa sebagaimana tercantum dalam Pasal 2 ayat (2) jo ayat (1), maka ketentuan dalam pasal 100 dapat kita lihat bahwa ketentuan pidana hanya untuk merek dagang dan merek jasa. Atas dasar hal ini, maka kami berpendapat bahwa adanya kekosongan norma dalam pasal ini.
b.      Pasal 52 ayat (4)
Ketentuan lebih lanjut mengenai pendaftaran Merek internasional berdasarkan Protocol Relating to the Madrid Agreement Concerning the International Registration of Marks diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Analisis:
Kekosongan norma ini dikarenakan belum adanya Ketentuan lebih lanjut mengenai pendaftaran Merek internasional berdasarkan Protocol Relating to the Madrid Agreement Concerning the International Registration of Marks yang diatur dengan Peraturan Pemerintah.
c.       Pasal 74 ayat (2)
“Alasan Merek tidak digunakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku dalam hal adanya:
a.    larangan impor;
b.    larangan yang berkaitan dengan izin bagi peredaran barang yang menggunakan Merek yang bersangkutan atau keputusan dari pihak yang berwenang yang bersifat sementara; atau
c.    larangan serupa lainnya yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Analisis:
Kekosongan norma ini dikarenakan dalam PP No. 23 Tahun 1993 tentang Tata Cara Permintaan Pendaftaran Merek Bagian Kelima tentang Permintaan Penghapusan Merek Terdaftar Oleh Pemilik Merek tidak memuat ketentuan lebih lanjut mengenai larangan-larangan serupa yang menjadikan alasan merek tidak digunakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku.

B.  Norma Kabur
a.      Pasal 2 ayat (2)
Merek sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi:
a.      Merek Dagang; dan
b.      Merek Jasa.
Analisis :
Kekaburan norma ini terletak pada pembagian jenis merek yang dibagi menjadi dua yaitu merek dagang dan merek jasa. Merek kolektif yang merupakan salah satu jenis merek tidak dimasukkan ke dalam pembagian jenis merek dalam Pasal 2 ayat (2). Sehingga dalam pasal-pasal berikutnya tidak ada kejelasan mengenai apakah merek yang dimaksud termasuk merek kolektif atau tidak.
b.      Pasal 22
Terhadap Merek terdaftar yang kemudian menjadi nama generik, setiap Orang dapat mengajukan Permohonan Merek dengan menggunakan nama generik dimaksud dengan tambahan kata lain sepanjang ada unsur pembeda
Analisis :
Kekaburan norma ini terletak pada tidak di jelaskannya secara lebih lengkap apa yang dimaksud dengan “nama generik”. Dalam penjelasan pasalnya hanya menyebutkan bahwa pasal 22 ini cukup jelas. Namun kami sebagai pembaca tidaklah jelas memahami maksud isi pasal ini dikarenakan tidak dicantumkannya secara lebih jelas pengertian “nama generik” yang dimaksud oleh pembentuk undang-undang. Sehingga atas kurang jelasnya maksud pasal ini dapat menimbulkan adanya multi tafsir.
Seharusnya dijelaskan lebih lanjut mengenai pengertian nama generik tersebut dalam UU ini menurut analisa penulis seperti dalam halnya obat-obatan, Nama Generik adalah nama yang umum digunakan untuk mengidentifikasi obat, sebagai lawan dari nama merk yang digunakan oleh perusahaan tertentu untuk pemasarannya (misalnya pgylated interferon adalah nama generik dari obat yang dipasarkan di bawah nama merek Peg-Intron dan Pgasys)
c.       Pasal 23 ayat (3) dan (4)
Pasal 23 ayat (3)
Dalam hal tidak terdapat keberatan dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) Hari terhitung sejak tanggal berakhirnya pengumuman, dilakukan pemeriksaan substantif terhadap Permohonan
Pasal 23 ayat (4)
Dalam hal terdapat keberatan dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) Hari terhitung sejak tanggal berakhirnya batas waktu penyampaian sanggahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17, dilakukan pemeriksaan substantif terhadap Permohonan
Analisis:
Dalam ketentuan pasal 23 ayat (3) mengatur mengenai apabila tidak terdapat keberatan dalam jangka waktu 30 hari maka akan dilakukan pemeriksaan substantif terhadap permohonan dan dalam ketentuan pasal 23 ayat (4) mengegaskan kembali apabila terdapat keberatan dalam jangka waktu paling lama 30 hari terhitung sejak tanggal berakhirnya batas waktu penyampaian sanggahan maka akan dilakukan pemeriksaan substantif terhadap Permohonan. Namun terhadap kedua ketentuan tersebut maupun ketentuan lainnya dalam pasal 23 tidak mengatur secara lebih lanjut apabila setelah melebihi jangka waktu 30 hari tersebut, keberatan baru diajukan apakah akan berpengaruh terhadap proses pemeriksaan substantif atau tidak. Berdasarkan atas hal ini maka, kami beranggapan bahwa telah terjadinya kekaburan atau kekurangjelasan maksud isi pasal tersebut.
d.      Pasal 49 ayat (1)
Pengalihan hak Merek Kolektif terdaftar wajib dimohonkan pencatatannya kepada Menteri dengan dikenai biaya
Analisis :
Kekaburan dalam norma ini terletak pada tidak dijelaskannya lebih lanjut mengenai pengalihan hak merek kolektif. Dalam pasal 41 menjelaskan bahwa pengalihan hak atas merek dapat beralih atau dialihkan karena pewarisan, wasiat, wakaf, hibah, dan perjanjian. Namun ketentuan pasal 41 hanya dapat digunakan untuk merek dagang dan merek jasa sebagaimana halnya diatur dalam Pasal 2 ayat (2) jo ayat (1). Apabila kita melihat dalam penjelasan pasal 49 ayat (1) menyebutkan bahwa ketentuan pasal ini cukup jelas dan tidak diaturnya mengenai pengalihan apa saja yang dapat dikatakan sebagai pengalihan hak Merek Kolektif. Atas dasar ini, maka kami berpendapat bahwa ketentuan pasal ini mengalami kekaburan norma.
e.       Bab VII tentang Permohonan Pendaftaran Merek Internasional
Analisis :
Bab VII mengatur mengenai permohonan pendaftaran merek internasional. Dalam ketentuan pasalnya, dalam penjelasan pasalnya dan dalam ketentuan umum tidak ada satupun yang menyebutkan pengertian dari Merek Internasional dan kualifikasi merek yang dikatakan merek Internasional. Kami sebagai pembaca tentunya akan tidak memahami secara lebih lengkap maksud isi bab ini dikarenakan tidak adanya pengertian merek internasional dan kualifikasi merek yang dikatakan merek Internasional oleh pembentuk undang-undang. Atas dasar ini, maka kami berpendapat bahwa bab ini mengalami kekaburan norma.
Menurut analisa penulis mengenai pengertian dan kualifikasi merk intenasional adalah merek-merek yang memiliki nama sama dan strategi pemasaran terkoordinasi yang sama di banyak negara, seperti McDonald’s, Yahhoo!, Google, dll.
f.        Pasal 66 huruf c
Pemakaian Indikasi Geografis yang dapat menyesatkan masyarakat sehubungan dengan asal-usul geografis barang itu
Analisis :
Kekaburan dalam norma ini terletak pada tidak dijelaskannya lebih lanjut mengenai apa yang menjadi kualifikasi “dapat menyesatkan masyarakat”. Apabila kita melihat kedalam penjelasan pasalnya hanya menyebutkan bahwa ketentuan pasal ini cukup jelas. Namun kami sebagai pembaca berpendapat bahwa norma yang terdapat dalam pasal ini tidak jelas. Sehingga atas kurang jelasnya maksud pasal ini dapat menimbulkan adanya multi tafsir. Atas dasar tersebut kami berpendapat bahwa adanya kekaburan norma dalam pasal ini.
Menurut analisa penulis, kategori menyesatkan masyarakat apabila dalam keadaan tertentu masyarakat dapat tertipu atas suatu informasi atau membentuk opini yang tidak benar. Contoh pemberian indikasi geografis pada Kopi Kintamani. Sebuah perusahaan pembuatan kopi memakai indikasi geografis berupa Kopi Kintamani pada kopi buatannya, padahalnya itu termasuk kopi arabika biasa dan bukan hasil khas daerah Kintamani, oleh karena ini tindakan perusahaan tersebut yang menggunakan indikasi geografis dalam kopi buatannya dapat menyesatkan masyarakat.
g.      Pasal 100 ayat (3)
“Setiap Orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), yang jenis barangnya mengakibatkan gangguan kesehatan, gangguan lingkungan hidup , dan/atau kematian manusia, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah)”
Analisis :
Kekaburan dalam norma ini terletak pada tidak dijelaskannya lebih lanjut mengenai apa yang menjadi kualifikasi hal-hal yang “mengakibatkan gangguan kesehatan dan gangguan lingkungan hidup”. Apabila kita melihat kedalam penjelasan pasalnya hanya menyebutkan bahwa ketentuan pasal ini cukup jelas. Namun kami sebagai pembaca berpendapat bahwa norma yang terdapat dalam pasal ini tidak jelas. Sehingga atas kurang jelasnya maksud gangguan kesehatan dan gangguan lingkungan hidup yang dimaksud oleh pembentuk undang-undang dalam pasal ini dapat menimbulkan adanya multi tafsir. Atas dasar tersebut kami berpendapat bahwa adanya kekaburan norma dalam pasal ini.
Menurut analisa penulis, yang dimaksud dengan gangguan kesehatan adalah sebuah gangguan yang dapat menyerang fisik manusia yang dapat dibuktikan dalam penelitian di bidang kesehatan, contoh dalam hal ini akibat adanya barang tersebut menimbulkan penyakit bagi manusia sedangkan ganguan lingkungan hidup adalah gangguan terhadap segala sesuatu yang ada disekitar manusia yang memengaruhi perkembangan kehidupan manusia baik secara langsung maupun tidak langsung, dalam hal ini akibat adanya barang tersebut mengakibatkan pencemaran lingkungan hidup.
C.  Norma yang Bertentangan
a.      Pasal 21 ayat (1) huruf d dengan Pasal 56 ayat (2) huruf b
Pasal 21 ayat 1 huruf d
Permohonan ditolak jika Merek tersebut mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan :
d.      Indikasi Geografis terdaftar”
Pasal 56 ayat 2 huruf b
“Permohonan Indikasi Geografis ditolak jika :
b.      memiliki persamaan pada keseluruhannya dengan Indikasi Geografis yang sudah terdaftar”
Analisis :
Pertentangan dalam norma ini terlihat pada disatu sisi permohonan merek ditolak jika memiliki persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan indikasi grografis terdaftar namun disatu sisi permohonan indikasi geografis ditolak jika hanya memiliki persamaan pada keseluruhannya dengan indikasi geografis yang terdaftar. Permasalahannya dalam kedua pasal ini adalah disatu sisi menggunakan kriteria persamaan pada pokoknya atau persamaan pada keseluruhan sedangkan dilain sisi hanya mengunakan kriteria persamaan pada keseluruhannya. Menurut asumsi kami maksud dari pembentuk undang-undang terhadap kedua pasal ini adalah ingin menjelaskan terdapatduakriteria tersebut dimanadisatu sisi menggunakan persamaan pada pokoknya atau persamaan pada keseluruhan sedangkan disatu sisi hanya menggunakan persamaan pada keseluruhannya dan tidak ada menyebutkan persamaan, pada pokoknya yang dapat diartikan bahwa persamaan pada pokoknya atau persamaan pada keseluruhan merupakan dua hal yang berbeda dan bersifat alternatif ataukah sebaliknya. Namun apabila kita melihat dalam penjelasan masing-masing pasalnya pembentuk undang-undang hanya menyebutkan pengertian persamaan pada pokoknya dalam penjelasan Pasal 21 ayat (1) dan tidak ada menyebutkan pengetian persamaan pada keseluruhan dalam Pasal 56. Atas hal tersebut diatas kami sebagai pembaca merasa kebingungan untuk memahami maksud dari ketentuan permohonan ditolaknya indikasi geografis dan kami sebagai pembaca berpendapat adanya ketidaksingkronisasi antara kedua pasal tersebut. Sehingga kami berpendapat bahwa terlah terdapatnya pertentangan norma dalam kedua pasal tersebut.

Comments

Popular posts from this blog

Surat Atas Tunjuk dan Surat Atas Pengganti (Hukum Dagang)

Perbedaan Surat atas Tunjuk (Aan Toonder) dan Surat atas Pengganti (Aan Order)

OBJEK-OBJEK HUKUM TATA NEGARA