Resume Konsep Peradilan Desa dan Peradilan Adat


Perundang-undangan Pemerintah Hindia Belanda mewariskan lima jenis peradilan, antara lain Gouvernments-rechtspraak (Peradilan Gubernemen), Inheemsche rechtspraak (Peradilan Pribumi atau Peradilan Adat), Zelfbestuur rechtspraak (Peradilan Swapraja), Godsdienstige rechtspraak (Peradilan Agama), dan Dropjustitie (Peradilan Desa).
Inheemsche rechtspraak diterjemahkan dengan istilah pengadilan adat atau peradilan adat. Sehingga disimpulkan yang dimaksud pengadilan adat atau peradilan adat dalam Undang-Undang Darurat Nomor 1 tahun 1951 adalah Inheemsche rechtspraak. Dasar perundang-undangan peradilan adat di jaman Hindia Belanda adalah Pasal 130 Indische Staatsregeling (IS) yang menyatakan bahwa di mana saja penduduk asli tidak dibiarkan mempunyai peradilan sendiri, di Indonesia dilakukan peradilan atas nama raja. Di mana penduduk dibiarkan mempunyai peradilan sendiri, di situ terdapat peradilan asli (peradilan adat). Pengaturan lebih lanjut terhadap peradilan adat ini terdapat dalam S. 1932 Nomor 80 yang dikenal dengan Regeling van de Inheemsche Rechtsspraak.
Proses penyelesaian secara adat lebih dikenal dengan nama peradilan adat, sehingga yang dimaksud dengan peradilan adat adalah acara yang berlaku menurut hukum adat dalam memeriksa, mempertimbangkan, memutuskan dan menyelesaikan suatu perkara kesalahan adat. Hukum adat tidak mengenal instansi Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan, dan Penjara. Tugas pengusutan, penuntutan, peradilan dilaksanakan oleh prowatin adat bersangkutan yang dibantu oleh orang-orang muda.
Konsep peradilan adat antara lain Peradilan adat adalah sistem peradilan yang hidup dalam kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat di Indonesia, Peradilan adat berdasarkan pada hukum adat, Peradilan adat bukan merupakan bagian dari sistem peradilan negara, Perdilan adat berwenang mengadili perkara-perkara adat, baik yang berupa sengketa maupun pelanggaran hukum adat, Peradilan adat berwenang mengadili perkara-perkara antara warga kesatuan masyarakat hukum adat.
Dalam masyarakat Indonesia di masa kolonial  terdapat peradilan bagi penduduk pribumi yang disebut Dropjustitie (Peradilan Desa). Dropjustitie adalah peradilan yang dilaksanakan oleh Hakim Desa atau disebut Hakim Adat, baik dalam lingkungan peradilan gubernemen, peradilan pribumi/peradilan adat, maupun peradilan swapraja di luar Jawa dan Madura, yang berwenang mengadili perkara-perkara kecil yang merupakan urusan adat atau urusan desa. Walaupun sesungguhnya peradilan desa sudah lama berlaku dalam kehidupan masyarakat di pedesaan, namun Pemerintah Hindia Belanda baru mengakuinya pada Tahun 1935, ketika disisipkannya Pasal 3a R.O. dengan Stb. 1935 No. 102. Menurut Hazairin, hakim desa adalah suatu lembaga desa yang kehadirannya dalam setiap masyarakat hukum adat merupakan conditio sine qua non sebagai alat perlengkapan kekuasaan desa selama desa itu sanggup mempertahankan wajah aslinya dan sifat-sifat keistimewaanya sebagai kesatuan sosial ekonomi yang dapat berdiri sendiri. Kekuasaan hakim desa tidak terbatas kepada perdamaian saja, tetapi meliputi kekuasaan memutuskan semua silang sengketa dalam semua bidang hukum tanpa membedakan antara pengertian pidana, perdata, publik dan sipil.
Menurut Abdul Rachman, dua bentuk peradilan tersebut sebenarnya tidak ada perbedaan yang prinsipil. Peradilan desa umumnya terdapat pada hampir seluruh Nusantara pada masyarakat hukum adat yang bersifat teritorial, namun peradilan adat ditemukan pada masyarakat hukum adat teritorial maupun geneologis.
Dari perspektif UU Nomor 1 dart Tahun 1951 dimana eksistensi Pengadilan Adat mulai tidak diakui dan dihapuskan yang berlanjut setelah dikodifikasikan Undang-Undang Pokok Kekuasaan Kehakiman (UU Nomor 14 Tahun 1970), yang kemudian dirubah dengan UU Nomor 35 Tahun 1999, jis UU Nomor 4 Tahun 2004, UU Nomor 48 Tahun 2009) tidak dikenal lagi eksistensi Pengadilan Adat. Pada ketentuan Pasal 1 ayat (2) UU drt 1 Tahun 1951 disebutkan bahwa, “Pada saat yang berangsur-angsur akan ditentuan oleh Menteri Kehakiman dihapuskan...segala Pengadilan Adat (Inheemse rechtspraak in rechtstreekbestuurd gebied) kecuali peradilan agama jika peradilan itu menurut hukum yang hidup merupakan satu bagian tersendiri dari peradilan Adat”.
Penjelasan otentik pasal tersebut menyebutkan dasar pertimbangan penghapusan peradilan adat karena peradilan adat tidak memenuhi persyaratan sebagai alat perlengkapan pengadilan sebagaimana yang dikehendaki oleh UUDS dan tidak dikehendaki rakyat. Akan tetapi, penghapusan peradilan adat dalam konteks di atas, hakikatnya tidak menghapuskan jenis peradilan adat dalam bentuk lain yaitu peradilan desa (dorpjustitie). Aspek dan dimensi ini bertitik tolak sebagaimana ketentuan Pasal 1 ayat (3) UU drt 1 Tahun 1951 yang menegaskan bahwa, “Ketentuan yang tersebut dalam ayat (1) tidak sedikitpun juga mengurangi hak kekuasaan yang sampai selama ini telah diberikan kepada hakim-hakim perdamaian di desa-desa sebagaimana dimaksud dalam pasal 3a Rechterlijke Organisatie”.
Konklusi dasar konteks di atas, tersirat dan tersurat menentukan peradilan adat yang dihapuskan berdasarkan undang-undang darurat adalah peradilan adat dalam arti inheemsche rechtspraak,sedangkan kewenangan peradilan adat yang dilakukan oleh kepala-kepala kesatuan masyarakat hukum adat yaitu peradilan desa (dorpjustitie) tetap dilanjutkanPadahal sebelumnya, pada zaman Hindia Belanda Peradilan Adat dikenal dalam dua bentuk yaitu Peradilan Pribumi atau Peradilan Adat(Inheemsche rechtspraak) dan Peradilan Desa (Dorpjustitie). Kemudian dimensi ini berlanjut pada zaman pendudukan Jepang peradilan adat tetap diakui dan berlangsung, walaupun UU Nomor 14 Tahun 1942 (dirubah dengan UU Nomor 34 Tahun 1942), telah menyederhanakan sistem peradilan dimana perbedaan peradilan gubernemen dan peradilan untuk orang pribumi telah dihapuskan.
Akan tetapi walaupun kebijakan formulatif secara nasional tidak mengakui eksistensi peradilan adat fakta aktual dan faktual kebijakan aplikatif melalui Yurisprudensi Mahkamah Agung RI eksistensi peradilan adat tetap mengakuinya. Misalnya, sebagai salah satu contohnya pada Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 1644 K/Pid/1988 tanggal 15 Mei 1991 dimana dalam ratio decidendi putusan disebutkan bahwa apabila seseorang melanggar hukum adat kemudian Kepala dan Para Pemuka Adat memberikan reaksi adat (sanksi adat/obat adat) maka yang bersangkutan tidak dapat diajukan lagi (untuk kedua kalinya) sebagai terdakwa dalam persidangan Badan Peradilan Negara (Pengadilan Negeri) dengan dakwaan yang sama melanggar hukum adat dan dijatuhkan pidana penjara menurut ketentuan KUH Pidana (Pasal 5 ayat (3) sub b UU drt Nomor 1 Tahun 1951) sehingga dalam keadaan demikian pelimpahan berkas perkara serta tuntutan Kejaksaan di Pengadilan Negeri harus dinyatakan tidak dapat diterima (niet ontvankelijk Verklaard).

Comments

Popular posts from this blog

Surat Atas Tunjuk dan Surat Atas Pengganti (Hukum Dagang)

Perbedaan Surat atas Tunjuk (Aan Toonder) dan Surat atas Pengganti (Aan Order)

OBJEK-OBJEK HUKUM TATA NEGARA