Resume Hukum Pidana adat Part 1
HUKUM
PIDANA ADAT
ISTILAH DAN PENGERTIAN HUKUM PIDANA
ADAT
Istilah hukum pidana adat diperkenalkan oleh Van
Vollenhoven yang merupakan terjemahan dari Bahasa Belanda yaitu Adat
Delictenrecht.
Menurut para ahli, I Made Widnyana menyebutkan hukum pidana adat adalah hukum yang hidup (the
living law), diikuti dan ditaati oleh masyarakat adat secara terus menerus,
dari satu generasi ke generasi berikutnya. Pelanggaran terhadap aturan tata
tertib tersebut dipandang dapat menimbulkan kegoncangan dalam masyarakat karena
dianggap mengganggu keseimbangan kosmis masyarakat, oleh sebab itu, bagi si
pelanggar diberikan reaksi adat, koreksi adat atau sanksi adat oleh masyarakat
melalui pengurus adatnya.
Hilman Hadikusuma menyebutkan hukum pidana adat adalah hukum yang hidup (living law) dan akan terus hidup selama ada
manusia budaya, ia tidak akan dapat dihapus dengan perundang-undangan.
Andaikata diadakan juga undang-undang yang menghapuskannya, akan percuma juga.
Malahan, hukum pidana perundang-undangan akan kehilangan sumber kekayaannya
oleh karena hukum pidana adat itu lebih erat hubungannya dengan antropologi dan
sosiologi dari pada perundang-undangan.
DASAR HUKUM BERLAKUNYA HUKUM PIDANA
ADAT
Dasar hukum keberlakuan hukum pidana adat dibedakan pada dua
sumber peraturan perundang-undangan yaitu:
1. Hukum Pidana Adat dalam Peraturan
Perundang-Undangan Hindia Belanda
Dasar perundang-undangan berlakunya hukum pidana adat pada
masa pemerintahan kolonial Hindia Belanda adalah Pasal 131 ayat (2) sub b Indische
Staatstregeling yang berisi:
Bagi
golongan hukum (rechts groep) Indonesia asli dan golongan timur asing
berlaku hukum adat mereka, tetapi bilamana kepentingan sosial mereka
membutuhkan, maka Pembuat Ordonansi ( yaitu suatu peraturan hukum adat yang
dibuat oleh Badan Legislatif Pusat/ Gubernur Jenderal bersama-sama dengan olksraad),
dapat menentukan bagi mereka:
a) Hukum
Eropa;
b) Hukum
Eropa yang telah diubah (gewijzigd Eropee Recht);
c) Hukum bagi
beberapa golongan bersama-sama (gemeenschappelijk recht);
d) Apabila
kepentingan umum memerlukannya dapat ditentukan bagi mereka;
e) Hukum baru
(nieuw recht) yaitu hukum yang memerlukan synteseantara
hukum adat dan hukum Eropa (van vollenhoven “ Fantasie-recht”
dan idsinga. “ Ambetenaren recht).
Pasal
ini hanya berlaku bagi hakim yang dulu disebut “Gouverments-Rechte”
(dalam hal ini Landraad adalah pengadilan yang diadakan oleh
pemerintah Hindia-Belanda) yang sekarang bertindak sebagai Pengadilan Negeri.
Sementara dasar perundang-undangan berlakunya hukum pidana adat bagi peradilan
adat. Hukum adat untuk daerah swapraja dan untuk hakim adat di Jawa dan Madura
diatur tersendiri dalam pasal-pasal.
a. Pasal 3 S.
1932 Nomor 80.
Pasal ini merupakan pasal dasar
perundang-undangan berlakunya hukum adat bagi peradilan adat (inheemse Recht
Spraak, yaitu peradilan adat yang berlaku bagi Bumi Putera).
Didaerah yang diberi nama “ Rechtstreeks-Bestuurd Gabien” (daerah
yang langsung dikuasai pemerintah Hindia- Belanda) yaitu daerah di luar Jawa
dan Madura.
b. Pasal 13
ayat (3) Zelfbestuurs-Regelen 1938, 1938, dan 1939
Nomor 529 dan didalam “ Lange Contracten”.
Pasal ini merupakan pasal dasar
perundang-undangan berlakunya hukum adat di daerah swapraja, yaitu Yogyakarta
dan Surakarta.
c. Pasal 3a
ROS. 1847 Nomor 23 Jo 1848 Nomor 47.
Pasal ini merupakan pasal dasar
perundang-undangan berlakunya untuk Hakim adat di Jawa dan Madura yang diberi
nama “ Dorpsrechter”( hakim desa, peradilan).
2. Hukum Pidana Adat dalam Peraturan
Perundang-Undangan Republik Indonesia
Terdapat beberapa Peraturan Perundang-undangan Republik
Indonesia yang mengatur berlakunya hukum pidana adat, diantaranya:
1) Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945)
Walaupun UUD NRI 1945 tidak
menetapkan dengan inplisit ketentuan khusus bagi hukum adat di dalamnya akan
tetapi secara tersirat hukum pidana adat dinyatakan berlaku seperti yang
tersirat dalam pembukaan dan penjelasan UUD NRI 1945. Karena hukum adat
merupakan satu-satunya hukum yang berkembang diatas kerangka dasar pandangan
hidup rakyat dan bangsa Indonesia maka hukum adat selanjutnya merupakan sumber
yang paling utama dalam pembinaan tata hukum nasional Negara Republik Indonesia.
2) Konstitusi
Republik Indonesia Serikat (RIS)
Didalam konstitusi RIS ada bagian
yang mengandung atau yang menjadi dasar berlakunya hukum pidana adat pada masa
itu:
a) Bagian
Mukaddimah/Pembukaan konstitusi RIS
Bagian pembukaan konstitusi RIS
merumuskan bahwa Pancasila sebagai dasar pandangan hidup bangsa Indonesia
seperti pada Pembuaan UUD NRI 1945. Jadi posisi hukum pidana adat masih tetap.
b) Pasal 146
Ayat (1) Konstitusi RIS
Pasal ini menjelaskan atau mengatur
tentang Peradilan di Indonesia pada saaat berlakunya Konstitusi RIS.
Pasal ini berbunyi :
“Segala
keputusan-keputusan kehakiman, harus berisi alasan-alasan dan dalam perkara
hukum harus menyebut aturan-aturan dan undang-undang hukum adat yang dijadikan
dasar hukuman itu”.
c) Pasal 192 Ayat
(1) Konstitusi RIS
Pasal ini mengatur tentang
aturan-aturan peralihan Konstitusi RIS. Pasal ini berbunyi:
“Semua
peraturan perundang-undangan dan ketentuan-ketentuan tata usaha yang sudah ada
pada saat Konstitusi ini berlaku, tetap berlaku dengan tidak berubah sebagai
peraturan-peraturan dan ketentuan-ketentuan RIS sendiri dan sekedar
perundang-undangan dan ketentuan-ketentuan itu tidak dicabut, ditambah atau
diubah oleh Undang-Undang dan ketentuan-ketentuan tata usaha atau kuasa
konstitusi ini”.
3) Undang-undang
Darurat nomor 1 Tahun 1951 L.N 9 / 1951 Pasal 5 ayat 3 sub b sebagai berikut :
“Hukum materiil sipil dan untuk sementara waktupun hukum
materiil pidana sipil yang sampai kini berlaku untuk kaula-kaula daerah
Swapraja dan orang-orang yang dahulu diadili oleh Pengadilan Adat, ada tetap
berlaku untuk kaula-kaula dan orang itu dengan pengertian bahwa
suatu perbuatan yang menurut hukum yang hidup harus dianggap perbuatan pidana,
akan tetapi tiada bandingnya dalam Kitab Hukum Pidana Sipil, maka dianggap
diancam dengan hukuman yang tidak lebih dari tiga bulan penjara dan/atau denda
lima ratus rupiah, yaitu sebagai hukuman pengganti bilamana hukuman adat yang
dijatuhkan tidak diikuti oleh pihak yang terhukum dan penggantian yang dimaksud
dianggap sepadan oleh Hakim dengan besar kesalahan terhukum, bahwa bilamana
hukuman adat yang dijatuhkan itu menurut pikiran hakim melampaui padanya dengan
hukuman kurungan atau denda yang dimaksud di atas, maka atas kesalahan terdakwa
dapat dikenakan hukuman pengganti setinggi 10 tahun penjara, dengan pengertian
bahwa hukuman adat yang menurut paham hakim tidak selaras lagi dengan jaman
senantiasa diganti seperti tersebut di atas, bahwa suatu perbuatan yang menurut
hukum yang hidup harus dianggap perbuatan pidana yang ada bandingnya dalam
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Sipil, maka dianggap diancam dengan hukuman
sama dengan hukuman bandingnya yang paling mirip kepada perbuatan pidana
tersebut”.
Rumusan pasal 5 ayat 3 b UU Darurat No. 1 tahun 1951
memberikan pemahaman :
a. Tentang
tindak pidana diukur menurut hukum yang hidup dalam masyarakat. Tindak pidana
demikian itu bila terjadi, maka pidana adatlah sebagai sanksinya;
b. Apabila
terpidana adat tidak mengikuti putusan pengadilan adat tersebut, maka pengadilan
negeri setempat dapat memutus perkaranya berdasar tiga kemungkinan. Tidak ada
bandingnya dalam KUHP· Hakim beranggapan bahwa pidana adat melampui dengan
pidana penjara dan/atau denda seperti tersebut dalam kemungkinan;
c. Bahwa
berlaku tidaknya legalitas materiil ditentukan oleh sikap atau keputusan
terpidana untuk mengikuti atau tidak mengikuti putusan pengadilan adat. Jika
putusan pengadilan adat diikuti oleh terpidana, maka ketika itulah legalisasi
materiil berfungsi. Berfungsinya legalisasi materiil disini merupakan hal yang
wajar karena tindak pidana yang dilakukan pelaku adalah murni bertentangan
dengan hukum yang hidup dalam masyarakat (hukum tidak tertulis).
4) UU No. 4
Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman
a) Pasal 5
ayat 1 berbunyi:
” Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak
membeda-bedakan orang”.
Kata “menurut hukum” dapat diartikan
secara luas mencakup legalisasi formil dan materiil. Pasal tersebut merupakan
petunjuk bagi hakim untuk senantiasa memperhatikan peraturan tertulis dan hukum
yang benar-benar hidup dalam masyarakat, apabila hendak menegakkan keadilan.
b) Pasal 14
ayat 1 berbunyi:
”Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa dan
mengadili suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak atau kurang
jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya”.
Jika “hukum” yang dimaksud dalam
rumusan diatas adalah hanya yang tertulis, sedangkan hakim wajib memeriksa dan
mengadili perkara yang diajukan kepadanya meskipun hukum tertulis tidak secara
nyata mengaturnya. Dengan demikian hakim harus menggali hukum yang tidak
tertulis (hukum yang hidup).
c) Pasal 16
ayat (1):
“Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili,
dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau
kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya”.
d) Pasal 23
ayat 1 berbunyi:
”Segala putusan pengadilan selain harus memuat alasan-alasan
dan dasar-dasar putusan itu, juga harus memuat pula pasal-pasal tertentu dari
peraturan-peraturan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang
dijadikan dasar untuk mengadili”.
e) Pasal 25
ayat (1):
“Segala putusan pengadilan selain harus memuat alasan dan
dasar putusan tersebut, memuat pula pasal tertentu dari peraturan perundang-undangan
yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk
mengadili”.
f) Pasal
27 ayat (1) berbunyi:
“Hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib menggali,
mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat”.
g) Pasal. 28
ayat (1):
“Hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai
hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat”.
Selanjutnya disebutkan, bahwa dengan
bertolak dari kebijakan perundang-undangan nasional seperti dikemukakan di atas
(Undang-undang No. 1 /Drt/ 1951 dan Undang-undang Kekuasaan Kehakiman), dapat
dikatakan bahwa perluasan asas legalitas secara materiil di dalam konsep
sebenarnya bukanlah hal baru, tetapi hanya melanjutkan dan mengimplementasikan
kebijakan/ide yang sudah ada. Bahkan kebijakan/ ide perumusan asas legalitas
secara material pernah pula dirumuskan sebagai "kebijakan
konstitusional" di dalam Pasal 14 ayat (2) UUDS'50 yang berbunyi:
"Tiada seorang jua pun boleh dituntut untuk dihukum atau dijatuhi hukuman,
kecuali karena aturan hukum yang sudah ada dan berlaku terhadapnya." Dalam
pasal tersebut digunakan istilah "aturan hukum"(Recht) yang
tentunya lebih luas pengertiannya dari sekadar aturan
"undang-undang" (Wet), karena dapat berbentuk
"hukum tertulis" maupun "hukum tidak tertulis".
5) Dalam Konsep
KUHP Baru Tahun 1999 / 2000
Dalam Pasal 1 ayat 3 berbunyi :
”Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak
mengurangi berlakunya hukum yang hidup atau hukum adat yang menentukan bahwa
menurut adat setempat seseorang patut dipidana walaupun perbuatan tersebut
tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan”.
6) International
Covenant on Civil and Political Right (ICCPR) Pasal 15.
“ Nothing in this article shall prejudice the trial
and punishment of any person for any act or omission which, at the time when it
was committed, was criminal according to the general principle of law
recognized by the community of nations”.
Yang artinya bahwa:
“Tidak ada aturan yang mengatur dan memutus seseorang
bersalah, ketika komite/pengadilan tidak berdasarkan pada prinsip hukum yang
hidup dan mendapat pengakuan dari masyarakat dari suatu bangsa. Dalam kondisi
ini jelas hukum yang diakui masyarakat adalah hukum adat”.
SIFAT HUKUM PIDANA ADAT
a.
Menyeluruh
dan menyatukan
Karena dijiwai oleh sifat kosmis maka satu sama lain saling
berhubungan, dimana tidak membeda-bedakan pelanggaran yang bersifat pidana
maupun perdata
b.
Ketetntuan
yang terbuka
Atas dasar ketidakmampuan memperkirakan apa yang akan
terjadi sehingga bersifat tidak pasti, maka ketentuannya selalu terbuka untuk
segala peristiwa yang mungkin terjadi
c.
Membeda-bedakan
permasalahan
Bila terjadi pelanggaran tidak semata-mata melihat dari
perbuatan dan akibatnya tetapi melihat pula latar belakang dan siapa pelakunya,
mengakibatkan penyelesaian dalam suatu peristiwa menjadi berbeda-beda
d.
Peradilan
dengan permintaan
Pelanggaran adat sebagian besar berdasarkan adanya
permintaan atau pengaduan, tuntutan atau gugatan dari pihak yang dirugikan
e.
Tindakan
rekasi atau koreksi
Reaksi tidak hanya dapat dikenakan pada pelaku tetapi juga
kerabat atau keluarga bahkan pada masyarakat yang bersangkutan untuk
mengembalikan keseimbangan yang terganggu
SUMBER-SUMBER HUKUM PIDANA ADAT
1.
Sumber
Hukum Tertulis berupa semua peraturan perundang-undangan yang dituliskan diatas
lontar, kulit atau bahan lainnya.
Di
bali, sumber hukum tertulis ditemukan dalam:
o
Manawa
Dharmasastra/Weda Smrti
o
Kitab
Catur Agama (Kitab Agama, Kitab Adi Agama, Kitab Purwa Agama, Kitab Kutara
Agama)
o
Awig-Awig
(aturan masyarakat hukum adat setempat yang dibuat dan disahkan melalui suatu
musyawarah yang dituliskan diatas daun lontar/kertas)
2.
Sumber
Hukum tidak tertulis berupa kebiasaan-kebiasaan yang timbul, diikuti dan
ditaati secara terus menerus dan turun temurun oleh masyarakat ada yang
bersangkutan
Literatur :
Kapita Selekta Hukum Pidana Adat, Penulis: Prof. I Made
Widnyana.
Comments
Post a Comment