Penggandaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan demi Kepentingan Umum (Hukum Agraria)
PENGGANDAAN
TANAH BAGI PELAKSANAAN PEMBANGUNAN DEMI KEPENTINGAN UMUM
A.
Bentuk
Pelaksanaan Ganti Rugi Menurut UU No. 2 Tahun 2012
Pengaturan
Pengadaan Tanah
Tahun
2012 telah hadir Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi
Pembangunan Untuk Kepentingan Umum. Dalam bagian menimbang dari Undang-undang
tersebut disebutkan bahwa dalam rangka mewujudkan masyarakat yang adil, makmur,
dan sejahtera berdasarkan Pancasila dan Tahun 1945, pemerintah perlu
melaksanakan pembangunan. Selanjutnya disebutkan bahwa untuk menjamin
terselenggaranya pembangunan untuk kepentingan umum, diperlukan tanah yang
pengadaannya dilaksanakan dengan mengedepankan prinsip kemanusiaan, demokratis,
dan adil.[1] Undang-Undang ini hadir
dengan membawa tujuan yakni adanya kepastian hukum terhadap persoalan
pembangunan negara. Menurut Supratman, R., kepastian hukum di sini adalah
kepastian mengenai ganti rugi dan kepastian mengenai pihak yang seharusnya
menerima ganti rugi tersebut. Sedangkan kepastian hukum bagi Pemerintah adalah
kepastian mengenai pelaksanaan pembangunan tersebut sehingga tidak merugikan
keuangan negara yang pada hakekatnya merupakan beban masyarakat juga.
Konkritnya
dengan kepastian dan perlindungan tersebut pelaksanaan pembangunan yang telah
menggunakan keuangan negara tidak terhambat hanya disebabkan timbulnya masalah
oleh beberapa pemilik tanah atau pihak lain yang memperoleh kuasa atas
peralihan hak tanah tersebut.[2]
Persoalan
pengadaan tanah maka dapat dilihat pengertian pengadaan tanah berdasarkan Pasal
1 angka 3 Peraturan Presiden No 36 Tahun 2005 adalah: “Pengadaan tanah adalah
setiap kegiatan untuk mendapatkan tanah dengan cara memberikan ganti rugi
kepada yang melepaskan atau menyerahkan tanah, bangunan, tanaman, dan
benda-benda yang berkaitan dengan tanah atau dengan pencabutan hak atas
tanah”. Dalam perbandingan dengan UU No.
2 Tahun 2012 khususnya Pasal 1 Angka 2 disebutkan bahwa Pengadaan tanah adalah
kegiatan menyediakan tanah dengan cara memberi ganti kerugian yang layak dan
adil kepada pihak yang berhak.[3] Sedangkan yang dimaksud
dengan kepentingan umum menurut Pasal 1 angka 5 Peraturan Presiden Nomor 36
Tahun 2005 adalah: “kepentingan umum adalah kepentingan sebagian besar lapisan
masyarakat.” Terkait dengan hal ini UU No. 2 Tahun 2012 khususnya dalam Pasal 1
Angka 6 menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan Kepentingan Umum adalah
kepentingan bangsa, negara, dan masyarakat yang harus diwujudkan oleh
pemerintah dan digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. UU No. 2
Tahun 2012 juga dijelaskan Tanah untuk Kepentingan Umum sebagaimana di maksud
dalam Pasal 4 ayat (1) digunakan untuk pembangunan:
a. pertahanan
dan keamanan nasional;
b. jalan
umum, jalan tol, terowongan, jalur kereta api, stasiun kereta api, dan
fasilitas operasi kereta api;
c. waduk,bendungan,
bendung, irigasi, saluran air minum, saluran pembuangan air dan sanitasi, dan
bangunan pengairan lainnya;
d. pelabuhan,
bandar udara, dan terminal;
e. infrastruktur
minyak, gas, dan panasbumi;
f.
pembangkit, transmisi, gardu, jaringan,
dan distribusi tenaga listrik;
g. jaringan
telekomunikasi dan informatika pemerintah;
h. tempat
pembuangan dan pengolahan sampah;
i.
rumah sakit pemerintah/pemerintah daerah;
j.
fasilitas keselamatan umum;
k. tempat
pemakaman umum Pemerintah/Pemerintah Daerah;
l.
fasilitas sosial, fasilitas umum, dan
ruang terbuka hijau publik;
m. cagar
alam dan cagar budaya[4]
Pelaksanaan pengadaan tanah menurut
Undang-Undang dilakukan dengan cara penyerahan/pelepasan hak ataupun pencabutan
hak atas tanah. Berdasarkan UU No. 2 Tahun 2012 Pasal 1 Angka 9, pelepasan hak
adalah kegiatan pemutusan hubungan hukum dari pihak yang berhak kepada negara
melalui Lembaga Pertahanan.[5] Dalam perbandingan dengan
Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 khususnya Pasal 1 angka 6
Pelepasan/Penyerahan hak adalah kegiatan melepaskan hubungan hukum antara
pemegang hak atas tanah dengan tanah yang di kuasainya dengan memberikan ganti
rugi atas dasar musyawarah.[6]
Sedangkan pihak yang melepaskan atau
menyerahkan tanah, bangunan, tanaman, dan benda-benda lain yang berkaitan
dengan tanah berdasarkan pasal 1 angka 7 Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005
adalah:
a. perseorangan;
b. badan
hukum;
c. lembaga,
unit usaha yang mempunyai hak penguasaan atas tanah dan/ atau bangunan serta
tanaman yang adah di atas tanah.
Selanjutnya, pencabutan hak atas tanah ditegaskan dalam
Pasal 3 ayat (2) Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 di mana pencabutan hak
atas tanah dilakukan berdasarkan ketentuan Undang-undang Nomor 20 Tahun 1961
tentang Pencabutan Hak-hak Atas Tanah Dan Benda-benda Yang Ada Di atasnya. Berkaitan
dengan hak-hak atas tanah tersebut di atas, di dalam Pasal 1 angka 8
Peraturan Presiden Nomor 36 tahun 2005 di tegaskan bahwa yang di maksud dengan
hak atas tanah itu adalah hak atas bidang tanah sebagaimana diatur dalam
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan dasar Pokok Agraria.
Berdasarkan Pasal 16 ayat (1) Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 sebagaimana yang
telah diisyaratkan oleh ketentuan pasal 1 angka 8 Peraturan Presiden Nomor 36
Tahun 2005, maka hak-hak atas tanah yang dimaksud adalah:
a. hak
milik
b. hak
guna usaha
c. hak
guna bangunan
d. hak
pakai
e. hak
sewa
f.
hak membuka tanah
g. hak
memungut hasil hutan
h. hak-hak
lain yang tidak termasuk hak-hak tersebut di atas yang akan ditetapkan dengan
undang-undang serta hak-hak yang sifatnya sementara sebagai yang disebutkan
dalam pasal.[7]
Bentuk
Ganti Rugi Menurut Undang-Undang
Ganti kerugian sebagaimana dimaksud dalam UU
Nomor 2 Tahun 2012 adalah: penggantian yang layak dan adil kepada pihak yang
berhak dalam proses pengadaan tanah.
Paragraf
3
Penilaian
Ganti Kerugian
Pasal
31
(1) Lembaga
Pertanahan menetapkan Penilai sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(2) Lembaga
Pertanahan mengumumkan Penilai yang telah ditetapkan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) untuk melaksanakan penilaian Objek Pengadaan Tanah.
Pasal
32
(1) Penilai
yang ditetapkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1) wajib bertanggung
jawab terhadap penilaian yang telah dilaksanakan.
(2) Pelanggaran
terhadap kewajiban Penilai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenakan sanksi
administratif dan/atau pidana sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan,
Ganti kerugian dimaksud diberikan
berdasarkan ketentuan Pasal 33, Penilaian besarnya nilai Ganti Kerugian oleh
Penilai sebagaimana dimaksud dalam pasal 32 ayat (1) dilakukan bidang
per-bidang tanah, meliputi:
Pasal
33
Penilaian besarnya nilai Ganti Kerugian
oleh Penilai sebagaimana dimaksud dalam pasal 32 ayat (1) dilakukan bidang
per-bidang tanah, meliputi:
a. tanah;
b. ruang
atas tanah dan bawah tanah;
c. bangunan;
d. tanaman;
e. benda
yang berkaitan dengan tanah;
f.
kerugian lain yang dapat dinilai[8]
Dalam
Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah
Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum diatur pula tentang Penilaian Ganti
Rugi yang tertuang di dalam Pasal 63 sampai dengan Pasal 65:
Penetapan Nilai
Pasal 63
(1) Penetapan
besarnya nilai ganti kerugian dilakukan oleh Ketua Pelaksana Pengadaan Tanah
berdasarkan hasil penilaian jasa penilai atau penilai publik.
(2) Jasa
Penilai atau Penilai Publik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diadakan dan
ditetapkan oleh Ketua Pelaksana Pengadaan Tanah.
(3) Pengadaan
jasa Penilai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan dibidang Pengadaan Barang/Jasa
Pemerintah.
(4) Pelaksanaan
pengadaan Penilai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan paling lama
30 (tiga puluh) hari kerja.
Pasal 64
Dalam
hal pemilihan Penilai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 tidak dapat
dilaksanakan, Ketua Pelaksana Pengadaan Tanah menunjuk Penilai Publik.
Pasal 65
(1)
Penilai bertugas melakukan penilaian besarnya Ganti Kerugian bidang per bidang
tanah, meliputi :
a. tanah;
b. ruang
atas tanah dan bawah tanah;
c. bangunan;
d. tanaman;
e. benda
yang berkaitan dengan tanah; dan/atau
f.
kerugian lain yang dapat dinilai.
(3) Dalam
melakukan tugasnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Penilai atau Penilai
Publik meminta peta bidang tanah, daftar nominatif dan data yang diperlukan
untuk bahan penilaian dari Ketua Pengadaan Tanah.
(4) Pelaksanaan
tugas Penilai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan paling lama 30
(tiga puluh) hari kerja sejak ditetapkannya Pnilai oleh Ketua Pelaksana
Pengadaan Tanah.
Bentuk
ganti kerugiannya diatur pada Pasal 36 UU Nomor 2 Tahun 2012 yang menyatakan
bahwa: Pemberian Ganti Kerugian dapat diberikan dalam bentuk:
a. uang;
b. tanah
pengganti;
c. pemukiman
kembali;
d. kepemilikan
saham; atau
e. bentuk
lain yang disetujui oleh kedua belah pihak
Dalam
Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah
Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum diatur pula tentang Pemberian Ganti
Rugi yang tertuang di dalam Pasal 74 Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2012:
Pemberian Ganti Kerugian
Pasal 74
(1)
Pemberian Ganti Kerugian dapat diberikan
dalam bentuk:
a. uang;
b. tanah
pengganti;
c. permukiman
kembali;
d. kepemilikan
saham; atau
e. bentuk
lain yang disetujui oleh kedua belah pihak.
(2) Bentuk
Ganti Kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (1), baik berdiri sendiri maupun
gabungan dari beberapa bentuk Ganti Kerugian, diberikan sesuai dengan nilai
Ganti Kerugian yang nominalnya sama dengan nilai yang ditetapkan oleh Penilai.
Adapun
muswawarah penetapan ganti kerugian yang dituangkan dalam Pasal 37 Undang-Undang No 2 Tahun 2012:
(1) Lembaga pertanahan melakukan
musyawarah dengan Pihak yang Berhak dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh)
hari sejak hasil penilaian dari Penilai disampaikan kepada Lembaga Pertanahan
untuk menetapkan bentuk dan/atau besarnya Ganti Kerugian berdasarkan hasil
penilaian Ganti Kerugian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34.
(2) Hasil kesepakatan dalam musyawarah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi dasar pemberian Ganti Kerugian
kepada Pihak yang Berhak yang dimuat dalam berita acara kesepakatan
Di dalam Peraturan Presiden Nomor
71 Tahun 2012 juga mengatur tentang pelaksanaan Musyawarah Penetapan Bentuk
Ganti Kerugian yang tertuang dalam pasal-pasal berikut:
Pasal 68
(1) Pelaksana Pengadaan Tanah
melaksanakan musyawarah dengan Pihak yang Berhak dalam waktu paling lama 30
(tiga puluh) hari kerja sejak hasil penilaian dari Penilai diterima oleh
Ketua Pelaksana Pengadaan Tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 ayat (3).
(2) Pelaksanaan musyawarah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan mengikutsertakan Instansi yang
memerlukan tanah.
(3) Musyawarah sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), dilakukan secara langsung untuk menetapkan bentuk Ganti
Kerugian berdasarkan hasil penilaian Ganti Kerugian sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 65 ayat (1).
(4) Dalam musyawarah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), Pelaksana Pengadaan Tanah menyampaikan besarnya Ganti
Kerugian hasil penilaian Ganti Kerugian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65
ayat (1).
Pasal 69
(1) Pelaksana Pengadaan Tanah
mengundang Pihak yang Berhak dalam musyawarah penetapan Ganti Kerugian dengan
menetapkan tempat dan waktu pelaksanaan.
(2) Undangan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) disampaikan paling lambat 5 (lima) hari kerja sebelum tanggal
pelaksanaan musyawarah penetapan Ganti kerugian.
(3) Musyawarah sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) dipimpin oleh Ketua Pelaksana Pengadaan Tanah atau pejabat yang
ditunjuk.
Pasal 70
(1) Pelaksanaan musyawarah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 68 dapat dibagi dalam beberapa kelompok dengan mempertimbangkan
jumlah Pihak yang Berhak, waktu dan tempat pelaksanaan musyawarah penetapan
Ganti Kerugian.
(2) Dalam hal belum tercapai
kesepakatan, musyawarah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilaksanakan
lebih dari 1 (satu) kali.
(3) Musyawarah sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan ayat (2) dilaksanakan dalam waktu paling lama 30 (tiga
puluh) hari kerja sejak hasil penilaian dari Penilai disampaikan kepada Ketua
Pelaksana Pengadaan Tanah.
Pasal 71
(1) Dalam hal Pihak yang Berhak
berhalangan hadir dalam musyawarah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68, Pihak
yang Berhak dapat memberikan kuasa kepada:
a. seorang dalam hubungan darah ke
atas, ke bawah atau ke samping sampai derajat kedua atau suami/istri bagi
Pihak yang Berhak berstatus perorangan;
b. seorang yang ditunjuk sesuai
dengan ketentuan anggaran dasar bagi Pihak yang Berhak berstatus badan hukum;
atau
c. Pihak yang Berhak lainnya.
(2) Pihak yang Berhak hanya dapat
memberikan kuasa kepada 1 (satu) orang penerima kuasa atas 1 (satu) atau
beberapa bidang tanah yang terletak pada 1 (satu) lokasi Pengadaan Tanah.
(3) Dalam hal Pihak yang Berhak telah
diundang secara patut tidak hadir dan tidak memberikan kuasa, Pihak yang
Berhak dianggap menerima bentuk dan besarnya Ganti Kerugian yang ditetapkan
oleh Pelaksana Pengadaan Tanah.
Pasal 72
(1) Hasil kesepakatan dalam musyawarah
menjadi dasar pemberian Ganti Kerugian kepada Pihak yang Berhak yang
dituangkan dalam berita acara kesepakatan.
(2) Berita acara kesepakatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), memuat:
a. Pihak yang Berhak yang hadir atau
kuasanya, yang setuju beserta bentuk Ganti Kerugian yang disepakati;
b. Pihak yang Berhak yang hadir atau
kuasanya, yang tidak setuju; dan
c. Pihak yang Berhak yang tidak hadir
dan tidak memberikan kuasa.
(3) Berita acara sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) ditandatangani oleh Pelaksana Pengadaan Tanah dan Pihak yang
Berhak yang hadir atau kuasanya.
Pasal 73
(1) Dalam hal tidak terjadi
kesepakatan mengenai bentuk dan/atau besarnya Ganti Kerugian, Pihak yang
Berhak dapat mengajukan keberatan kepada Pengadilan Negeri setempat dalam
waktu paling lama 14 (empat belas) hari kerja setelah ditandatangani Berita
Acara hasil musyawarah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 72 ayat (3).
(2) Pengadilan Negeri memutus bentuk
dan/atau besarnya Ganti Kerugian dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari
kerja sejak diterimanya pengajuan keberatan.
(3) Pihak yang keberatan terhadap
putusan Pengadilan Negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dalam waktu
paling lama 14 (empat belas) hari kerja dapat mengajukan kasasi kepada
Mahkamah Agung.
(4) Mahkamah,Agung wajib memberikan
putusan dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak permohonan
kasasi diterima.
|
|
Di dalam Pasal 38 UU No 2 Tahun
2012 dinyatakan bahwa:
|
|
(1) Dalam hal tidak terjadi
kesepakatan mengenai bentuk dan/atau besarnya Ganti Kerugian, Pihak yang
Berhak dapat mengajukan keberatan kepada pengadilan negeri setempat dalam
waktu paling lama 14 (empat belas) hari kerja setelah musyawarah penetapan
Ganti Kerugian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1).
(2) Pengadilan negeri memutus bentuk
dan/atau besarnya Ganti Kerugian dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari
kerja sejak diterimanya pengajuan keberatan
(3) Pihak yang keberatan terhadap
putusan pengadilan negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dalam waktu
paling lama 14 (empat belas) hari kerja dapat mengajukan kasasi kepada
Mahkamah Agung Republik Indonesia.
(4) Mahkamah Agung wajib memberikan
putusan dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak permohonan
kasasi diterima.
(5) Putusan pengadilan negeri/Mahkamah
Agung yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap menjadi dasar pembayaran
Ganti Kerugian kepada pihak yang mengajukan keberatan.
Pada Pasal 39 dijelaskan bahwa: Dalam hal Pihak yang Berhak menolak
bentuk dan/atau besarnya Ganti Kerugian, tetapi tidak mengajukan keberatan
dalam waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (1), karena hukum Pihak
yang Berhak dianggap menerima bentuk dan besarnya Ganti Kerugian sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1).
|
Tentang
ganti rugi dalam hal bentuk dan besarannya mendapat penegasan lewat Peraturan
Presiden Nomor 71 Tahun 2012. Dari aspek pengertiannya ganti kerugian menurut
ketentuan Pasal 1 dari Peraturan Presiden
tersebut disebutkan sebagai “Penggantian yang layak dan adil kepada
pihak yang berhak dalam proses Pengadaan Tanah”. Dalam Pasal 65 Penilai
bertugas melakukan penilaian besarnya Ganti Kerugian bidang per bidang tanah, meliputi:
a.
tanah;
b.
ruang atas tanah dan bawah tanah;
c.
bangunan;
d.
tanaman;
e.
benda yang berkaitan dengan tanah;
dan/atau
f.
kerugian lain yang dapat dinilai.[9]
Adapun
bentuk ganti rugi yang dapat diberikan dalam proses pengadaan tanah untuk
kepentingan umum tersebut, berdasarkan Pasal 74 Peraturan Presiden Nomor 71
Tahun 2012 adalah sebagai berikut:
a. uang
b. tanah
pengganti
c. pemukiman
kembali
d. kepemilikan
Saham; atau
e. bentuk
lain yang disetujui oleh kedua belah pihak[10]
Terkait
dengan ini maka Subekti menyatakan bahwa :
“yang dimaksudkan kerugian yang dapat diminta penggantian itu, tidak
hanya berupa biaya-biaya yang sungguh-sungguh telah dikeluarkan (konsten), atau
kerugian yang sungguh-sungguh menimpa harta benda si berpiutang (schaden),
tetapi juga berupa kehilangan keuntungan (interressen) yaitu keuntungan yang
akan didapat seandainya si berhutang tidak lalai (winstderving)”.
Perbandingan
dengan ketentuan perundang-undangan lainnya yang mengatur tentang hal yang sama
seperti bentuk-bentuk ganti kerugian
yang dapat diberikan dalam proses pengadaan tanah untuk kepentingan umum
berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006 adalah sebagai berikut;
a. Dalam
bentuk uang; dan/atau
b. tanah
pengganti; dan/atau
c. pemukiman
kembali dan/atau
d. Gabungan
dari dua atau lebih bentuk ganti kerugian sebagaimana yang di maksud dalam huruf
a, huruf b, dan huruf c.
e. bentuk
lain yang disetujui oleh pihak-pihak yang bersangkutan, sementara itu, dalam
proses pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum,
tidak senantiasa berjalan lancar terutama yang berkaitan dengan penentuan
bentuk maupun jumlah ganti kerugian.
Secara
teknis bentuk ganti kerugian lebih mendetail diatur dalam Perpres No. 71 Tahun
2012 tentang Penyelengaraan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan
Umum. Bentuk ganti kerugian meliputi uang, tanah pengganti, pemukiman kembali.
Kepemilikan saham atau bentuk lain yang disetujui oleh kedua belah pihak. Ganti
kerugian dalam bentuk uang diberikan dalam bentuk mata uang rupiah.[11] Pemberian ganti kerugian
dilakukan paling lama 7 hari kerja sejak penetapan bentuk ganti kerugian oleh pelaksana
pengadaan tanah.[12]
Tahapan
Pelaksanaan Pengadaan Tanah
Proses pelaksanaan pengadaan tanah
dijelaskan dalam Pasal 27 ayat (2) UU Nomor 2 Tahun 2012 ayat (1) yang
prosesnya meliputi tahapan: inventarisasi dan identifikasi penguasaan,
pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah; penilaian ganti kerugian;
musyawarah penetapan Ganti Kerugian; pemberian Ganti Kerugian; dan pelepasan
tanah Instansi. Dalam ayat (3) pasal yang sama dijelaskan bahwa setelah
penetapan lokasi pembangunan untuk Kepentingan Umum sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 26 ayat (1), Pihak yang berhak hanya dapat mengalihkan
hak atas tanahnya kepada instansi yang memerlukan tanah melalui Lembaga
Pertanahan. Selanjutnya dalam ayat (4)
menjelaskan beralihnya hak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan dengan
memberikan Ganti Kerugian yang nilainya ditetapkan saat nilai pengumuman
penetapan lokasi.[13] Dalam perbandingan dengan
Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2012 khususnya Pasal 2 dijelaskan bahwa
Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum diselenggarakan melalui tahapan: a.
perencanaan; b. persiapan; c. pelaksanaan; dan d. penyerahan hasil.
Pada tahapan perencanaan sebagaimana
dimaksud diatas, lewat Pasal 3 Perpres No. 71 Tahun 2012 tersebut dijelaskan
bahwa setiap instansi yang memerlukan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan
umum membuat rencana pengadaan tanah yang didasarkan pada Rencana Tata Ruang
Wilayah dan Prioritas Pembangunan yang tercantum dalam rencana pembangunan
jangka menengah, rencana strategis dan rencana kerja pemerintah instansi yang
bersangkutan.
Tahapan persiapan maka satu hal yang
sangat penting untuk diperhatikan ialah adanya kewajiban untuk memberitahukan
rencana pembangunan kepada masyarakat pada lokasi rencana pembangunan. Hal ini
secara tegas dijelaskan dalam Pasal 11 ayat 1 Perpres dimaksud. Pasal 11 ayat 2
menjelaskan bahwa pemberitahuan rencana pembangunan sebagaimana dimaksud ayat 1
dilaksanakan dalam waktu paling lama 20 hari kerja sejak dokumen perencanaan
pengadaan tanah diterima secara resmi oleh gubernur. Mengenai cara
pemberitahuan dijelaskan dalam Pasal 12 ayat 2 yakni dilakukan dengan cara
sosialisasi, tatap muka atau surat pemberitahuan. Hal yang pasti disini ialah
adanya kewajiban pemberitahuan yang tidak bisa dilanggar.
Mekanisme
Penyelesaian Hukum Masalah Ganti Rugi
Tanggal 3 Mei 2005 diterbitkan Peraturan
Pemerintah Nomor 36 Tahun 2005 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan
Pembangunan Untuk Kepentingan Umum menggantikan Keppres 55 Tahun 1993. Perpes
ini mengamatkan perhatian yang lebih besar kepada pemegang hak atas tanah yang
sah untuk mendapatkan keadilan atas ganti rugi, sekaligus menjaga penghormatan
hak atas tanah serta kebutuhan pembangunan kepentingan umum yang jauh lebih
luas manfaatnya. Kepentingan umum yang dimaksud dalam Keppres ini intinya
adalah pemerintah dalam melaksanakan pengadaan tanah tidaklah mencari
keuntungan.
Melakukan penyempurnaan terhadap Perpes 36
Tahun 2005, diterbitkanlah Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2006 tentang
Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 Tentang Pengadaan Tanah
Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum. Dalam Perpres 65 tahun
2006. Ditetapkannya Perpes 65 Tahun 2006 karena Perpes 36 Tahun 2005 dianggap
akan menimbulkan banyak kerugian bagi pemegang hak atas tanah yang terkena
proyek pengadaan tanah, misalnya dengan adanya unsur pemaksaan bagi pemegang
hak atas tanah dengan adanya pencabutan hak atas tanah di dalam upaya perolehan
hak dalam pengadaan tanah.
Pemberian Ganti Kerugian dalam UU Nomor 2
Tahun 2012 Pasal 40, Pemberian Ganti Kerugian atas Objek Pengadaan Tanah
diberikan langsung kepada pihak yang berhak. Dalam Penjelasan Pasal 40
Pemberian Ganti Kerugian pada prinsipnya harus diserahkan langsung kepada Pihak
yang Berhak atas Ganti Kerugian. Apabila berhalangan, Pihak yang Berhak karena
hukum dapat memberikan kuasa kepada pihak lain atau ahli waris. Penerima kuasa
hanya dapat menerima kuasa dari satu orang yang berhak atas Ganti Kerugian,
Yang berhak antara lain: a. Pemegang hak atas tanah; b. pemegang hak
pengololaan; c. nadzir, untuk tanah wakaf; d. pemilik tanah bekas milik adat;
e. masyarakat hukum adat; f. pihak yang menguasai tanah negara dengan itikad
baik; g. pemegang dasar penguasaan atas tanah; dan/atau h. pemilik bangunan,
tanaman atau benda lain yang berkaitan dengan tanah. selanjutnya pada pasal 41
dinyatakan bahwa:
Pasal 41
(1) Menyebutkan
Ganti Kerugian diberikan kepada Pihak yang Berhak berdasarkan hasil penilaian
yang ditetapkan dalam musyawarah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (2)
dan/atau putusan pengadilan negeri/Mahkamah Agung sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 38 ayat (5).
(2) Pada saat pemberian Ganti Kerugian pihak yang
berhak menerima ganti kerugian wajib:
a. melakukan
pelepasan hak dan
b. menyerahkan
bukti penguasaan atau kepemilikan Objek Pengadaan Tanah kepada instansi yang
memerlukan tanah melalui Lembaga Pertanahan.
(3) Bukti
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b merupakan satu-satunya alat bukti
yang sah menurut hukum dan tidak dapat diganggu gugat di kemudian hari.
(4) Pihak
yang Berhak menerima Ganti Kerugian bertanggung jawab atas kebenaran dan
keabsahan bukti penguasaan atau kepemilikan yang diserahkan. (5) Tuntutan pihak
lain atas Objek Pengadaan Tanah yang telah diserahkan kepada instansi yang
memerlukan tanah sebagaimana dimaksud pada ayat 2 menjadi tanggung jawab Pihak
yang berhak menerima Ganti Kerugian. (6) setiap orang yang melanggar ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat 4 dikenai sanksi pidana sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.[14]
Pasal
41 ayat (2) dan ayat (3) tersebut di atas yang menyatakan bahwa Pihak yang
Berhak harus menyerahkan bukti penguasaan atau kepemilikan yang merupakan
satu-satunya bukti yang sah menurut hukum dan tidak dapat diganggu gugat di
kemudian hari hal ini mencerminkan Undang-Undang ini represif. Kalimat “tidak dapat diganggu gugat di
kemudian hari “ini bertentangan dengan fakta hukum yang sedang berlangsung di
Indonesia dalam hal ini Pasal 19 ayat 2 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960
tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria sebagai berikut:
Pasal 19 UUPA
(1) Untuk
menjamin kepastian hukum oleh Pemerintah diadakan pendaftaran tanah diseluruh
wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan-ketentuan yang diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
(2) Pendaftaran
tersebut dalam ayat (1) pasal ini meliputi:
a. pengukuran
perpetaan dan pembukuan tanah;
b. pendaftaran
hak-hak atas tanah dan peralihan hak-hak tersebut;
c. pemberian
surat-surat tanda bukti hak, yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat.
Bahwa
Pasal 19 ayat (2) huruf c. UUPA menegaskan surat-surat tanda bukti hak sebagai
alat pembuktian yang kuat, dalam hal ini belum sebagai alat pembuktian yang
mutlak. Alat bukti kepemilikan tanah di Indonesia yang sudah berupa Sertipikat
Hak Atas Tanah saja setiap saat atau di
kemudian hari masih dapat diganggu gugat. Terhadap kalimat Pasal 41 ayat (3)
ini perlu dilakukan “yudicial review”, dengan menghapus kalimat “tidak dapat
diganggu gugat di kemudian hari “. Pemerintah sendiri yang menerbitkan
sertipikat hak atas tanah tidak pernah menjamin bahwa sertipikat itu tidak
dapat digugat di kemudian hari, bagaimana mungkin pemilik tanah yang tanahnya
wajib diserahkan bagi pembangunan untuk kepentingan umum menjamin sertipikat
itu tidak dapat diganggu gugat di kemudian hari.
Lebih jelas lagi Pemberian Ganti Kerugian
menurut UU Nomor 2 Tahun 2012 Pasal 42:
(1) dalam
hal Pihak yang Berhak menolak bentuk dan/atau besarnya Ganti Kerugian berdasarkan
hasil musyawarah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37, atau putusan pengadilan
negeri/Mahkamah Agung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38, Ganti Kerugian
dititipkan di pengadilan negeri setempat.
(2) Penitipan Ganti Kerugian selain sebagaimana dimaksud
pada ayat 1, juga dilakukan terhadap: Pihak yang Berhak menerima Ganti Kerugian
tidak diketahui keberadaannya; atau objek Pengadaan Tanah yang akan diberikan
Ganti Kerugian:
1. Sedang
menjadi objek perkara di pengadilan;
2. Masih
dipersengketakan kepemilikannya;
3. diletakkan
sita oleh pejabat yang berwenang atau
4. Menjadi
jaminan di bank.
Pada Pasal 43 dijelaskan bahwa:
Pada saat pelaksanaan pemberian Ganti
kerugian dan Pelepasan Hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat 2 huruf a
telah dilaksanakan atau pemberian pemberian Ganti Kerugian sudah dititipkan di
pengadilan negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat 1, kepemilikan atau
Hak Atas Tanah dari Pihak yang Berhak menjadi hapus dan alat bukti haknya
dinyatakan tidak berlaku dan tanahnya menjadi tanah yang di kuasai langsung
oleh negara.
Dalam UU Nomor 2 Tahun 2012 Pasal 44
menyatakan tentang pemberian insentif perpajakan kepada pihak yang berhak
menerima ganti kerugian:
(1) Pihak
yang berhak menerima Ganti Kerugian atau instansi yang memperoleh tanah dalam Pengadaan
Tanah untu Kepentingan Umum dapat diberikan insentif perpajakan.
(2) Ketentuan
lebih lanjut mengenai insentif perpajakan diatur oleh Pemerintah atau
Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya.[15]
Secara
teknis bila terjadi penolakan atas bentuk dan besaran ganti rugi maka pihak
yang berhak dapat mengajukan keberatan kepada pengadilan negeri setempat dalam
waktu paling lama 14 hari kerja setelah ditandatangani berita acara hasil
musyawarah. Hal ini dijelaskan dalam Pasal 73 ayat 1 Perpres No. 71 Tahun 2012
Tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan
Umum. Dalam ayat 2 pasal tersebut
diterangkan selanjutnya bahwa Pengadilan Negeri berhak memutus bentuk dan/atau
besarnya ganti kerugian dalam waktu paling lama 30 hari kerja sejak diterimanya
pengajuan keberatan. Sementara ayat 3 menjelaskan bahwa pihak yang keberatan
terhadap putusan Pengadilan Negeri sebagaimana dimaksud pada ayat 2 dalam waktu
paling lama 14 hari kerja dapat mengajukan kasasi kepada Mahkamah Agung. Ayat 4
menjelaskan bahwa Mahkamah Agung wajib memberikan putusan dalam waktu paling
lama 30 hari kerja sejak permohonan kasasi diterima.[16]
Di
dalam Pasal 43 UU No. 2 Tahun 2012 dinyatakan bahwa pada saat pelaksanaan
pemberian Ganti Kerugian dan Pelepasan Hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41
ayat (2) huruf a telah dilaksanakan atau pemberian Ganti Kerugian sudah
dititipkan di pengadilan negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (1),
kepemilikan atau Hak Atas Tanah dari Pihak yang Berhak menjadi hapus dan alat
bukti haknya dinyatakan tidak berlaku dan tanahnya menjadi tanah yang dikuasai
langsung oleh negara.
Pelepasan
Tanah Instansi diatur dalam Pasal 45, yang menyatakan bahwa
(1) Pelepasan
Objek Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum yang dimiliki pemerintah dilakukan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur pengelolaan
barang milik negara/daerah
(2) Pelepasan
Objek Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum yang dikuasai oleh pemerintah atau
dikuasai/dimiliki oleh Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah
dilakukan berdasarkan Undang-Undang ini.
(3) Pelepasan
Objek Pengadaan Tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilakukan
oleh pejabat yang berwenang atau pejabat yang diberi pelimpahan kewenangan
untuk itu.
Pasal 46
(1) Pelepasan
Objek Pengadaan Tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (1) dan ayat (2)
tidak diberikan Ganti Kerugian, kecuali:
a. Objek
Pengadaan Tanah yang telah berdiri bangunan yang dipergunakan secara aktif
untuk penyelenggaraan tugas pemerintahan;
b. Objek
Pengadaan Tanah yang dimiliki/dikuasai oleh Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha
Milik Daerah; dan/atau
c. Objek
Pengadaan Tanah kas desa.
(2) Ganti
Kerugian atas Objek Pengadaan Tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a
dan huruf c diberikan dalam bentuk tanah dan/atau bangunan atau relokasi.
(3) Ganti
Kerugian atas objek Pengadaan Tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b
dapat diberikan dalam bentuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36.
(4) Nilai
Ganti Kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) didasarkan atas
hasil penilaian Ganti Kerugian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (2).
Pasal
47
(1) Pelepasan
objek Pengadaan Tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 dan Pasal 46
dilaksanakan paling lama 60 (enam puluh) hari kerja sejak penetapan lokasi
pembangunan untuk Kepentingan Umum.
(2) Apabila
pelepasan objek Pengadaan Tanah belum selesai dalam waktu sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) tanahnya dinyatakan telah dilepaskan dan menjadi tanah negara dan
dapat langsung digunakan untuk pembangunan bagi Kepentingan Umum.
(3) Pejabat
yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi
administratif sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan
B.
Bentuk
Pelaksanaan Ganti Rugi Menurut Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961 tentang
Pencabutan Hak-Hak Atas Tanah Dan Benda-Benda Yang Ada Diatasnya.
Pencabutan hak atas tanah untuk
kepentingan umum sebagaimana diatur di dalam UU No. 20 tahun 1961 dapat
dilakukan dengan baik acara biasa (pasal 2 sampai dengan 5 UU No. 20 tahun
1961) maupun dengan acara luar biasa (pasal 6 sampai dengan 8 UU No. 20
tahun1961)
Pasal
2
(1) Permintaan
untuk melakukan pencabutan hak atas tanah dan/atau benda tersebut pada pasal 1
diajukan oleh yang berkepentingan kepada Presiden dengan perantaraan Menteri
Agraria, melalui Kepala Inspeksi Agraria yang bersangkutan.
(2) Permintaan
tersebut pada ayat 1 pasal ini oleh yang berkepentingan disertai dengan:
a. rencana
peruntukannya dan alasan-alasannya, bahwa untuk kepentingan umum harus dilakukan
pencabutan hak itu.
b. keterangan
tentang nama yang berhak (jika mungkin) serta letak, luas dan macam hak dari
tanah yang akan dicabut haknya serta benda-benda yang bersangkutan.
c. rencana
penampungan orang-orang yang haknya akan dicabut itu dan kalau ada, juga
orang-orang yang menggarap tanah atau menempati rumah yang bersangkutan.
Pasal
3
(1) Setelah
menerima permintaan yang dimaksud dalam pasal 2 maka Kepala Inspeksi Agraria
segera:
a. meminta
kepada para Kepala Daerah yang bersangkutan untuk memberi pertimbangan mengenai
permintaan pencabutan hak tersebut, khususnya, bahwa untuk kepentingan umum
harus dilakukan pencabutan hak itu dan tentang penampungan orang-orang sebagai
yang dimaksudkan dalam pasal 2 ayat 2 huruf c.
b. meminta
kepada Panitia Penaksir tersebut pada pasal 4 untuk melakukan penaksiran
tentang ganti kerugian mengenai tanah dan/atau benda-benda yang haknya akan
dicabut itu.
(2) Di
dalam waktu selama-lamanya tiga bulan sejak diterimanya permintaan Kepala
Inspeksi Agraria tersebut pada ayat 1 pasal ini maka:
a. para
Kepala Daerah itu harus sudah menyampaikan pertimbangannya kepada Kepala
Inspeksi Agraria.
b. Panitia
Penaksir harus sudah menyampaikan taksiran ganti kerugian yang dimaksudkan itu
kepada Kepala Inspeksi Agraria.
(3) Setelah
Kepala Inspeksi Agraria menerima pertimbangan para Kepala Daerah dan taksiran
ganti kerugian sebagai yang dimaksud dalam ayat 2 pasal ini, maka ia segera
menyampaikan permintaan untuk melakukan pencabutan hak itu kepada Menteri
Agraria, dengan disertai pertimbangannya pula.
(4) Jika
di dalam waktu tersebut pada ayat 2 pasal ini pertimbangan dan/atau taksiran
ganti kerugian itu belum diterima oleh Kepala Inspeksi Agraria, maka permintaan
untuk melakukan pencabutan hak tersebut diajukan kepada Menteri Agraria, dengan
tidak menunggu pertimbangan Kepala Daerah dan/atau taksiran ganti kerugian
Panitia Penaksir.
(5) Dalam
hal tersebut pada ayat 4 pasal ini, maka Kepala Inspeksi Agraria di dalam
pertimbangannya mencantumkan pula keterangan tentang taksiran ganti kerugian
itu.
(6) Oleh
Menteri Agraria permintaan tersebut di atas dengan disertai pertimbangannya dan
pertimbangan Menteri Kehakiman serta pertimbangan Menteri yang bersangkutan,
segera diajukan kepada Presiden untuk mendapat keputusan.
Pasal 4
Susunan,
Honorarium dan tata kerja Panitia Penaksir yang dimaksud dalam pasal 3
ditetapkan oleh Menteri Agraria.
Pasal 5
Dengan
tidak mengurangi ketentuan dalam pasal 6 dan 8 ayat 3, maka penguasaan tanah
dan/atau bendabenda yang bersangkutan baru dapat dilakukan setelah ada surat
keputusan pencabutan hak dari Presiden sebagai yang dimaksudkan dalam pasal 1
dan setelah dilakukan pembayaran ganti kerugian, yang jumlahnya ditetapkan
dalam surat keputusan tersebut serta diselenggarakannya penampungan sebagai
yang dimaksudkan dalam pasal 2 ayat 2 huruf c.
Pasal 8
(1) Jika
yang berhak atas tanah dan/atau benda-benda yang haknya dicabut itu tidak
bersedia menerima ganti kerugian sebagai yang, ditetapkan dalam surat keputusan
Presiden tersebut pada pasal 5 dan 6, karena dianggapnya jumlahnya kurang
layak, maka ia dapat minta banding kepada Pengadilan Tinggi, yang daerah
kekuasaannya meliputi tempat letak tanah dan/ benda tersebut, agar pengadilan
itulah yang menetapkan jumlah ganti kerugiannya. Pengadilan Tinggi memutus soal
tersebut dalam tingkat pertama dan terakhir.
(2) Acara
tentang penetapan ganti kerugian oleh Pengadilan Tinggi sebagai yang dimaksud
dalam ayat (1) pasal ini diatur dengan Peraturan Pemerintah.
(3) Sengketa
tersebut pada ayat 1 pasal ini dan sengketa-sengketa lainnya mengenai tanah
dan/atau bendabenda yang bersangkutan tidak menunda jalannya pencabutan hak dan
penguasannya.
(4) Ketentuan
dalam ayat 1 dan 2 pasal ini berlaku pula, jika yang bersangkutan tidak
menyetujui jumlah ganti kerugian yang dimaksudkan dalam pasal 6 ayat 3.
Pasal 9
Setelah
ditetapkannya surat keputusan pencabutan hak tersebut pada pasal 5 dan 6 dan
setelah dilakukannya pembayaran ganti kerugian kepada yang berhak, maka tanah
yang haknya dicabut itu menjadi tanah yang dikuasai langsung oleh Negara, untuk
segera diberikan kepada yang berkepentingan dengan suatu hak yang sesuai.
Pasal 10
Jika
di dalam penyelesaian persoalan tersebut di atas dapat dicapai persetujuan jual
beli atau tukar-menukar, maka penjelasan dengan jalan itulah yang ditempuh,
walaupun sudah ada surat keputusan pencabutan hak.
Pasal 11
Jika
telah terjadi pencabutan hak sebagai yang dimaksudkan dalam pasal 5 dan 6,
tetapi kemudian ternyata, bahwa tanah dan/ atau benda yang bersangkutan tidak
dipergunakan sesuai dengan rencana peruntukannya, yang mengharuskan
dilakukannya pencabutan hak itu, maka orang-orang yang semula berhak atasnya
diberi prioritas pertama untuk mendapatkan kembali tanah dan/atau benda
tersebut.
Pencabutan
hak atas tanah untuk kepentingan umum sebagaimana diatur di dalam UU No. 20
tahun 1961 dapat dilakukan dengan baik acara biasa (pasal 2 sampai dengan 5 UU
No. 20 tahun 1961)
1.
Dengan
acara biasa
Dalam acara biasa pihak
pemohon (instansi yang membutuhkan tanah) menyampaikan permohonan kepada
Presiden RI denganperantara Menteri Dalam negeri /drijen Agraria setempat
dengan disertai alasan-alasan dan syarat-syarat seperti ditentukan pasal 2 ayat
2 UU No. 20 tahun 1961 yaitu:
a. rencana
peruntukannya dan alasan-alasannya, bahwa untuk kepentingan umum harus
dilakukan pencabutan hak itu.
b. keterangan
tentang nama yang berhak (jika mungkin) serta letak, luas dan macam hak
dari tanah yang akan dicabut haknya serta benda-benda yang
bersangkutan.
c. rencana
penampungan orang-orang yang haknya akan dicabut itu dan kalau ada, juga orang-orang yang menggarap tanah
atau menempati rumah yang bersangkutan.
2.
Dengan
acara luar biasa.
Adapun dengan acara luar
biasa yang diatu dalam pasal 6 sampai dengan 8 UU No. 20 tahun 1961
Dalam keadaan mendesak pencabutan
hak atas tanah dapat dilakuakan dengan acara luar biasa atau acara khusus yang
memungkinkanya dilakukan secara lebih cepat. Keadaan mendesak ini misalnya
dalam hal berjangkitnya wabah penyakit dan timbulnya alam dimana di perluakan
tempat penampungan segera. (Lihat pasal 6 UU No. 20 tahun1961)
a. Menyimpang
dari ketentuan pasal 3, maka dalam keadaan yang sangat mendesak yang memerlukan
penguasaan tanah dan/ atau benda-benda yang bersangkutan dengan segera, atas
permintaan yang berkepentingan Kepala Inspeksi Agraria menyampaikan permintaan
untuk melakukan pencabutan hak tersebut pada pasal 2 kepada Menteri Agraria,
tanpa disertai taksiran gantn ikerugian Panitya Penaksir dan kalau perlu juga
dengan tidak menunggu diterimanya pertimbangan Kepala Daerah.
b. Dalam
hal tersebut pada ayat 1 pasal ini, maka Menteri Agraria dapat mengeluarkan surat
keputusan yang memberi perkenan kepada yang berkepentingan untuk menguasai
tanah dan/atau benda-benda yang bersangkutan. Keputusan penguasaan tersebut
akan segera diikuti dengan keputusan Presiden mengenai dikabulkan atau
ditolaknya permintaan untuk melakukan pencabutan hak itu.
c. Jika
telah dilakukan penguasaan atas dasar surat keputusan tersebut pada ayat 2
pasal ini,maka bilamana kemudian permintaan pencabutan haknya tidak dikabulkan,
yang berkepentingan harus mengembalikan tanah dan/atau bendabenda yang
bersangkutan dalam keadaan semula dan/atau memberi gantikerugian yang sepadan
kepada yang mempunyai hak.
Tata
Cara Penetapan Ganti Rugi
Apabila
penetapan bentuk dan besarnya ganti kerugian atas tanah tidak diterima oleh
pemegang hak atas tanah akibat pencabutan sesuai ketentuan dalam pasal 8 UU No
20 tahun 1961, pengadilan berkewajiban untuk melakukan pemeriksaan kasus tersebut.
Hal ini diatur dalam Peraturan Pemerintah
dalam Nomor 39 tahun 1973 tentang acara penetapan ganti kerugian oleh pengadilan
tinggi sehubungan dengan hak-hak atas tanah dan benda-benda yang ada di atasnya[17].
Dalam pasal 1 PP Nomor 39 tahun 1973
dinyatakan sebagai berikut: “permintaan banding tersebut pada pasal 1 peraturan
pemerintah ini diajukan kepada pengadilan tinggi yang daerah kekuasanya
meliputi tanah dan benda-benda yang haknya di cabut, selambat-lambatnya dalam
waktu 1 (bulan) terhitung sejak tanggal keputusan presiden itu di maksud dalam
pasal 5 dan 6 UU Nomor 20 tahun 1961 tersebut di sampaikan kepada yang
bersangkutan”
Dalam
kaitanya dengan ketentuan dalam pasal 2 di atas, maka pemohon banding
mengajukan permohonan baik tertulis maupun secara lisan. Hal ini sesuai dengan
ketentuan dalam pasal 3 PP Nomor 39 Tahun 1973 dinyatakan sebagai berikut:
“permintaan banding disampaikan dengan surat atau dengan lisan kepada panitera
pengadilan tinggi dimaksud dalam pasal 1 peraturan pemerintah yang diajukan
oleh yang bersangkutan yang disampaikan secara lisan permintaan banding
diterimah apabila terlebih dahulu dibayar biaya perkara yang di tetapkan oleh
ketua pengadilan tinggi apakah pemita banding tidak mampu, maka atas
pertimbangan ketua pengadilan tinggi ia dapat dibebaskan dari pembayaran biaya
perkara tersebaut pada pasal ( 2) ayat ini.
Untuk
kelancaran dan kecepatan pemeriksaan terhadap permohonan banding tersebut, maka
pengadilan tinggi menentukan jangka waktu lamanya pemeriksaan. Dalam pasal 4
dinyatakan bahwa selambat-lambatnya dalam waktu satu (1) bulan setelah
diterimahnya banding, perkara tersebut harus sudah di periksa oleh pengadilan
tinggi yang berwsangkutan. Pemeriksaan dan putusan di jatuhkan dalam waktu yang
sesingkat-singakatnya.
Berkaitan
dengan perkara tersebut, untuk memperlancar jalannya pemeriksaan, maka
pengadilan tinggi dapat memanggil para pihak untuk di dengar keterangannya
masing-masing (pasal 5 ayat (1)). Selanjutnya permintaan keterangan dari para
pihak dapat di limpahkan oleh pengadilan tinggi ke pengadilan negeri, di mana
tanah dan benda-benda tersebut terletak (ayat (2)).
Pertimbangan
pemerintah memberikan kesempatan kepada para pemegang hak atas tanah, tidak mau
menerima besarnya ganti kerugian walaupun sudah mendapat keputusan dari
presiden, dimaksudkan agar pelaksanaan pencabutan ini dilakukan secara bijak
dan hati-hati. Sebab dengan dilakukanya pencabutan, maka para pemegang hak atas
tanah semula telah melepaskan haknya tersebut. Prinsip kehati-hatian ini membuat Presiden mengeluarkan Instruksi nomor
9 tahun 1973 tentang pelaksanaan
pencabutan hak-hak atas tanah dan benda-benda diatasnya.[18] Dalam intruksi tersebut
di tujukan kepada kepada semua mentri dan gubernur di seluruh indonesia, bahwa:
“Pencabutan hak-hak atas tanah dan benda-benda yang ada diatasnya supaya hanya
dilaksanakan benar-benar untuk kepentingan umum dan dilakukan dengan hati-hati
serta denangan hati-hati serta dengan cara-cara yang adil dan bijaksana, segala
sesuatunya sesuai dengan ketentuan-ketentuan perundang-perundangan yang
berlaku.
(2)
Bentuk-bentuk kegiatan Pembangunan yang mempunyai sifat, kepentingan umum
sebagai dimaksud dalam ayat (1) pasal ini meliputi bidang-bidang : a.
Pertanahan; b. Pekerjaan Umum; c. Perlengkapan Umum; d. Jasa Umum; e.
Keagamaan; f. Ilmu Pengetahuan dan Seni Budaya; g. Kesehatan; h. Olahraga; i.
Keselamatan Umum terhadap bencan alam; j. Kesejahteraan Sosial; k.
Makam/Kuburan; l. Pariwisata dan rekreasi; m. Usaha-usaha ekonomi yang
bermanfaat bagi kesejahteraan umum.
(3) Presiden
dapat menentukan bentuk-bentuk kegiatan pembangunan lainnya kecuali sebagai
dimaksud dalam ayat (1) pasal ini, yang menurut pertimbangannya perlu bagi
kepentingan umum.
a. kepentingan Bangsa dan
Negara, dan/atau b. kepentingan masyarakat luas, dan/atau c. kepentingan rakyat
banyak/bersama, dan/atau d. kepentingan Pembangunan.
Dalam
Instruksi Presiden Pasal 1 ayat (1) telah di tentukan bahwa pembangunan yang
bersifat kepentingan umum, yaitu apabila kegiatan tersebut menyangkut:
a. Kepentingan
Bangsa dan Negara, dan/atau
b. Kepentingan
masyarakat luas, dan/atau
c. Kepentingan
rakyat banyak/bersama, dan/atau
d. Kepentingan
Pembangunan.
Berkaitan dengan poin di atas, menyangkut
kegiatan yang dapat dikategorikan sebagai kepentingan umum, maka dalam Instruksi
Presiden tersebut telah di tetapkan bidang bangunan yang masuk dalam kategori
sifat kepentingan umum pada Pasal 1 ayat (2) sebagai berikut:
a. Pertahanan;
b. Pekerjaan
umum;
c. Jasa
umum;
d. Keagamaan;
e. Ilmu
pengetahaun dan seni budaya;
f.
Kesehatan;
g. Olahraga;
h. Perlengkapan
umum;
i.
Keselamatan umum terhadap bencana;
j.
Kesejahteraan sosial;
k. Makam/kuburan
l.
Pariwisata dan rekriasi;
m. Usaha-usaha
ekonomi yang bermanfaat bagi kesejahteraan umum
Suatu hal yang dapat disalut dari adanya Instruksi
Presiden Nomor 9 Tahun 1973 ini menyangkut mengenai penghargaan terhadap
pemegang hak atas tanah yang akan dicabut dengan alasan demi kepentingan umum,
karena alasan sangat mendesak. Hal ini di atur dalam Pasal 4 Instruksi Presiden
Nomor 9 Tahun 1973 .
Dengan tetap memperhatikan
kepentingan pemegang hak atas tanah yang bersangkutan, naka penguasaan atas
tanah dalam keadaan yang sangat mendesak sebagai di maksud dalam pasal 6 UU
Nomor 20 tahun 1961 (lembaran negara tahun 1961 nomor 288) hanya dapat
dilakukan apabila kepentingan umum menghendaki keadaan sangat mendesak, di mana
penundaan pelaksanaanya dapat menimbulkan bencana alam yang dapat menimbulkan
bencana alam yang mengancam keselamatan umum; (b) penyediaan tanah tersebut
sangat di perlukan dalam suatu suatu kegiatan pembangunan yang oleh pemerintah
dan atau pemerintah daerah maupun masyarakat luas pelaksanaanya di anggap tidak
dapat di tunda-tunda lagi.
1.
Pasal
18 UUPA No. 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria.
“untuk kepentingan umum,
termasuk kepentingan bangsa dan Negara serta kepentingan bersama dari rakyat,
hak-hak atas tanah dapat dicabut, dengan memberi ganti kerugian yang layak dan
menurut cara yang diatur dengan undang-undang.
2. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961
tentang Pencabutan Hak-Hak Tanah dan Benda-Benda yang ada di atasnya.
Pasal
8
(1) Jika
yang berhak atas tanah dan/atau benda-benda yang haknya dicabut itu tidak
tersedia menerima ganti kerugian sebagai yang ditetapkan dalam surat keputusan
Presiden tersebut pada Pasal 5 dan 6, karena dianggapnya jumlahnya kurang
layak, maka ia dapat minta banding kepada Pengadilan Tinggi, yang daerah
kekuasaannya meliputi tempat letak tanah dan/atau benda tersebut, agar
pengadilan itulah yang menetapkan jumlah ganti-kerugiannya. Pengadilan Tinggi
memutus soal tersebut dalam tingkat pertama dan terakhir.
(2) Acara
tentang penetapan ganti-kerugian oleh Pengadilan Tinggi sebagai yang dimaksud
dalam ayat (1) pasal ini diatur dengan Peraturan Pemerintah.
(3) Sengketa
tersebut pada ayat (1) pasal ini dan sengketa-sengketa lainnya mengenai tanah
dan/atau benda-benda yang bersangkutan tidak menunda jalannya pencabutan hak
dan penguasaannya.
(4) Ketentuan
dalam ayat (1) dan (2) ini berlaku pula, juka yang bersangkutan tidak
menyetujui jumlah ganti-kerugian, yang dimaksudkan dalam pasal 6 ayat (3)
3.
Instruksi
Presiden Nomor 9 Tahun 1973 tentang pedoman-pedoman pelaksanaan pencabutan
hak-hak atas tanah dan benda-benda yang ada diatasnya.
Pasal
1:
(1) Suatu
kegiatan dalam rangka pelaksanaan Pembangunan mempunyai sifat kepentingan umum,
apabila kegiatan tersebut menyangkut:
a. Kepentingan
Bangsa dan Negara, dan/atau
b. Kepentingan
Masyarakat luas, dan/atau
c. Kepentingan
rakyat banyak/bersama, dan/atau
d. Kepentingan
Pembangunan
(2) Bentuk-bentuk
kegiatan Pembangunan yang mempunyai sifat kepentingan umum sebagai dimaksud dalam
ayat (1) pasal ini meliputi bidang-bidang:
a. Pertahanan;
b. Pekerjaan
Umum;
c. Perlengkapan
Umum;
d. Jasa
Umum;
e. Keagamaan;
f.
Ilmu Pengetahuan dan Seni Budaya;
g. Kesehatan;
h. Olahraga;
i.
Keselamatan Umum terhadap bencana alam;
j.
Kesejahteraan Sosial;
k. Makam/Kuburan;
l.
Pariwisata dan Rekreasi;
m. Usaha-usaha
ekonomi yang bermanfaat bagi kesejahteraan umum.
Pasal 2
(1) Suatu
proyek pembangunan dinyatakan mempunyai bentuk kegiatan sebagai dimaksud dalam
Pasal 1 di atas, apabila sebelum-nya proyek tersebut sudah termasuk dalam
Rencana Pembangunan yang telah diberitahukan kepada masyarakat yang
bersangkutan.
(2) Jika
suatu Proyek Pembangunan Daerah akan dinyatakan mempunyai bentuk kegiatan
sebagai dimaksud dalam Pasal 1 di atas, maka sebelumnya proyek tersebut harus
sudah termasuk dalam Rencana Induk Pembangunan dari daerah yang bersangkutan
dan yang telah mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Setempat.
(3) Rencana
Induk Pembangunan sebagai dimaksud dalam ayat (2) pasal ini harus bersifat
terbuka untuk umum.
Pasal 3
(1) Yang
berhak menjadi subyek atau pemohon untuk mengajukan permintaan pencabutan hak
atas tanah adalah Instansi-instansi Pemerintah/Badan-badan Pemerintah maupun
usahausaha Swasta, segala sesuatunya dengan memperhatikan persyaratan untuk
dapat memperoleh sesuatu hak atas tanah sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang
berlaku.
(2) Usaha-usaha
Swasta sebagai dimaksud dalam ayat (1) pasal ini, rencana proyeknya harus
disetujui oleh Pemerintah dan atau Pemerintah Daerah sesuai dengan Rencana
Pembangunan yang telah ada.
Pasal 4
Dengan tetap memperhatikan kepentingan
pemegang hak atas tanah yang bersangkutan, maka penguasaan atas tanah dalam
keadaan yang sangat mendesak sebagai dimaksud dalam Pasal 6 Undang-undang Nomor
20 Tahun 1961 (Lembaran Negara Tahun 1961 Nomor 288) hanya dapat dilakukan
apabila kepentingan umum menghendaki
adanya :
a. penyediaan
tanah tersebut diperlukan dalam keadaan sangat mendesak, dimana penundaan
pelaksanaannya dapat menimbulkan bencana alam yang mengancam keselamatan umum.
b. penyediaan
tanah tersebut sangat diperlukan dalam suatu kegiatan pembangunan oleh
Pemerintah dan atau Pemerintah Daerah maupun masyarakat luas pelaksanaannya
dianggap tidak dapat ditunda-tunda lagi.
Pasal 5
(1) Panitia
Penaksir sebagai dimaksud dalam Pasal 4 Undang-undang Nomor 20 Tahun 1961
(Lembaran Negara Tahun 1961 Nomor 288) dalam menetapkan besarnya ganti rugi
atas tanah/bangunan/ tanaman yang berada di atasnya harus menaksir secara
obyektif dengan tidak merugikan kedua belah pihak dan dengan mengguna-kan
norma-norma serta memperhatikan harga-harga penjualan tanah/bangunan/tanaman di
sekitarnya yang terjadi dalam tahun yang sedang berjalan.
(2) Dalam
menggunakan norma-norma sebagai dimaksud dalam ayat (1) pasal ini, Panitia
Penaksir harus tetap memperhatikan pedoman-pedoman yang ada dan yang lazim
dipergunakan dalam mengada-kan penaksiran harga/ganti rugi atas tanah/bangunan
yang berlaku dalam daerah yang bersangkutan.
Pasal 6
(1) Pembayaran
ganti rugi kepada orang-orang yang hak atas tanahnya dicabut, oleh yang
berkepentingan harus dilakukan secara tunai dan dibayarkan langsung kepada yang
berhak.
(2) Rencana
penampungan orang-orang yang hak atas tanahnya dicabut sebagai dimaksud dalam
Pasal 2 ayat (2) huruf c, Undang-undang Nomor 20 Tahun 1961 (Lembaran Negara
Tahun 1961 Nomor 288), oleh yang berkepentingan harus diusahakan sedemikian
rupa agar mereka yang dipindahkan itu tetap dapat menjalankan kegiatan
usahanya/mencari nafkah kehidupan yang layak seperti semula.
4.
PP
No. 39 Tahun 1973 tentang acara penetapan ganti rugi oleh Pengadilan Tinggi
sehubungan dengan pencabutan hak-hak atas tanah dan benda-benda yang ada di
atasnya.
Dalam rangka pelaksanaan ketentuan-ketentuan dalam
Pasal 8 Undang-undang Nomor 20 Tahun 1961 tentang Pencabutan Hak-hak atas Tanah
dan Benda-benda yang ada diatasnya perlu ditetapkan Peraturan Pemerintah
tentang Acara Penetapan Ganti Kerugian oleh Pengadilan Tinggi sehubungan dengan
Pencabutan Hak-hak atas Tanah dan Benda-benda yang ada diatasnya.
Mengingat Pasal 5 ayat (2) jo. Pasal 23 ayat (3)
Undang-Undang Dasar 1945; Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1960 Nomor 104) tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok
Agraria; dan Undang-undang Nomor 20 Tahun 1961 (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1961 Nomor 288) tentang Pencabutan Hak-hak atas Tanah dan
Benda-benda yang ada diatasnya
Pasal 1
Terhadap keputusan mengenai jumlah ganti
kerugian yang tidak dapat diterima karena dianggap kurang layak, sehubungan
dengan pencabutan hak-hak atas tanah dan benda-benda yang , ada diatasnya,
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 dan 6 Undang-undang Nomor 20 Tahun 1961 tentang
Pencabutan Hak-hak atas Tanah dan Benda-benda yang ada diatasnya (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1961 Nomor 288), dapat dimintakan banding
kepada Pengadilan Tinggi.
Pasal 2
Permintaan banding tersebut pada Pasal I
Peraturan Pemerintah ini diajukan kepada Pengadilan Tinggi yang daerah
kekuasaannya meliputi tanah dan atau benda-benda yang haknya dicabut,
selambat-lambatnya dalam waktu 1 (satu) bulan terhitung sejak tanggal Keputusan
Presiden dimaksud dalam Pasal 5 dan 6 Undang-undang Nomor 20 Tahun 1961
tersebut disampaikan kepada yang bersangkutan.
Pasal 3
(1)
Permintaan banding disampaikan dengan
surat atau dengan lisan kepada Panitera Pengadilan Tinggi dimaksud dalam Pasal
1 Peraturan Pemerintah ini. Panitera membuat catatan tentang permintaan banding
yang diajukan oleh yang bersangkutan yang disampaikan secara lisan.
(2)
Permintaan banding diterima apabila
terlebih dahulu telah dibayar biaya perkara yang ditetapkan oleh Ketua
Pengadilan Tinggi.
(3)
Apabila ternyata peminta banding tidak
mampu, maka atas pertimbangan Ketua Pengadilan Tinggi, ia dapat dibebaskan dari
pembayaran biaya perkara tersebut pada ayat (2) pasal ini.
Pasal 4
Selambat-lambatnya
dalam waktu 1 (satu) bulan setelah diterimanya permintaan banding, perkara
tersebut harus sudah diperiksa oleh Pengadilan Tinggi yang bersangkutan.
Pemeriksaan dan putusan dijatuhkan dalam waktu yang sesingkat-singkatnya.
Pasal 5
(1)
Pengadilan Tinggi dapat mendengar secara
langsung semua pihak yang bersangkutan dengan pelaksanaan pencabutan hak atas
tanah dan atau benda-benda diatasnya tersebut.
(2)
Pendengaran pihak-pihak sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) pasal ini dapat dilimpahkan oleh Pengadilan Tinggi
kepada Pengadilan Negeri dimana tanah dan atau benda-benda tersebut terletak.
Pasal 6
(1)
Putusan Pengadilan Tinggi diberitahukan
kepada pihak-pihak yang bersangkutan, selambat-lambatnya 1 (satu) bulan setelah
tanggal putusan perkara.
(2)
Putusan dimaksud dalam ayat (1) pasal ini
diumumkan dalam Berita Negara Republik Indonesia, dengan biaya yang dibebankan
kepada peminta banding dan atau yang berkepentingan atas pertimbangan Ketua
Pengadilan Tinggi.
(3)
Biaya perkara dibebankan kepada peminta
banding dan atau yang berkepentingan atas pertimbangan Ketua Pengadilan Tinggi.
DAFTAR
PUSTAKA
BUKU
Supratman
R., Implementasi Peraturan Presiden No.
36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk
Kepentingan Umum, Jakarta, 2005,
Iman
Soetiknjo, Politik Agraria Nasional, Gajahmada University Press, Jogyakarta, 1983.
UNDANG-UNDANG
1. Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan
Untuk Kepentingan Umum
2. Peraturan
Presiden Republik Indonesia Nomor 71 Tahun 2012 Tentang Penyelenggaraan
Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum
3. Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 1961 Tentang Pencabutan Hak-Hak Atas Tanah
Dan Benda-Benda Yang Ada Diatasnya
4. Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1973 Tentang Acara Penetapan Ganti Kerugian Oleh
Pengadilan Tinggi Sehubungan Dengan
Pencabutan Hak-Hak Atas Tanah Dan Benda-Benda Yang Ada Di Atasnya
5.
Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor
9 Tahun 1973 Tentang Pelaksanaan
Pencabutan Hak-Hak Atas Tanah Dan
Benda-Benda Yang Ada Di Atasnya
[1]
Undang-undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk
Kepentingan Umum
[2]
Supratman R., Implementasi Peraturan Presiden No. 36 Tahun 2005 tentang
Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum,
Jakarta, 2005, hal 2.
[3] UU No. 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah
Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum
[4]
Ibid
[5]
Ibid
[6] Peraturan Presiden No. 36 Tahun 2005
[7]
Iman Soetiknjo, Politik Agraria
Nasional, Gajahmada University
Press, Jogyakarta, 1983, hal 111
[8] UU Nomor 2 Tahun 2012
[9] Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun
2012 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan
Umum
[10] Perpres Nomor 71 Tahun 2012
[11] Perpres No. 71 Tahun 2012
[13] UU Nomor 2 Tahun 2012
[15] Ibid
[16]
Peraturan Presiden No. 71
Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan
Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum
[17] Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1973
tentang acara penetapan ganti kerugian oleh
pengadilan tinggi sehubungan denagan hak-hak atas tanah dan benda-benda yang
ada di atasnya
[18] Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun
1973 tentang Pelaksanaan Pencabutan
Hak-Hak Atas Tanah dan Benda-Benda Di
Atasnya
Comments
Post a Comment