Resume Kesatuan Masyarakat Hukum Adat
Kesatuan Masyarakat Hukum Adat
Berkaitan dengan istilah “kesatuan
masyarakat hukum adat”, sampai saat ini terdapat beberapa istilah yang
digunakan oleh kalangan teoritisi, aktivis organisasi non pemerintah, ataupun
kalangan praktisi lembaga pemerintahan. Perbedaan istilah juga ditemukan dalam
peraturan perundang-undangan. Disamping istilah “kesatuan masyarakat hukum
adat”, istilah-istilah lain yang biasa digunakan adalah persekutuan hukum, masyarakat
hukum adat, masyarakat adat, masyarakat masyarakat tradisional, dan komunistas
adat terpencil.
1.
Persekutuan Hukum
Istilah
persekutuan hukum antara lain digunakan oleh R. Soepomo dan Hilman Hadikusuma.
Soepomo dalam bukunya yang berjudul “Bab-bab Tentang Hukum Adat” menulis
sebagai berikut: Bahwa
diseluruh kepulauan Indonesia pada tingkatan rakyat jelata, terdapat pergaulan
hidup di dalam golongan-golongan yang bertingkah laku sebagai kesatuan terhadap
dunia luar, lahir dan batin. Golongan-golongan itu mempunyai tata susunan yang
tetap dan kekal, dan orang-orang segolongan itu masing-masing mengalami
kehidupannya dalam olongan sebagai hal yang sewajarnya, hal menurut kodrat
alam. Tidak seorang pun dari mereka yang mempunyai pikiran akan kemungkinanpembubaran
golongan itu. Golongan manusia tersebut mempunyai pula pengurus sendiri dan
mempunyai harta benda, milik keduniawian dan alam gaib. Golongan-golongan
demikianlah yang bersifatpersekutuan hukum.
Dengan
demikian, dapat diitentifikasikan “persekutuan hukum” memiliki kriteria sebagai berikut:
·
Golongan-golongan yang bertingkah laku
sebagai kesatuan terhadap dunia luar
·
Mempunyai tata susunan yang tetap dan
kekal
·
Tidak ada seorang pun anggota golongan
mempunyai pikiran akan pembubaran golongan tersebut
·
Mempunyai pengurus sendiri
·
Mempunyai harta benda, milik keduniawian
dan gaib.
Kriteria
tersebut serupa dengan definisi “rechtsgemeenchappen”
yang dikemukakan oleh Ter Haar dalam bukunya yang berjudul “beginsel en Stelsel van het Adatrecht”.
Buku
tersebut sudah diterjemahkan oleh Ng Soebakti Poesponoto dengan judul
“Asas-asas dan Susunan Hukum Adat”, dalam buku tersebut istilah “rechtsgemeenchappen” diterjemahkan
dengan istilah “masyarakat hukum”
2. Masyarakat
Hukum Adat
Istilah yang digunakan oleh penulis
hukum adat seperti Soerjono Soekanto dan Soeleman B Taneko adalah istilah
“masyarakat hukum adat”. Menurut
Rikardo Simarta, istilah masyarakat hukum adat” merupakan terjemahan dari
istilahdalam bahasa Belanda yaitu “adatrechtgemeenscap”
. Menurut Hazairin, Masyarakat Hukum Adat sebagaimana dikutip oleh Soerjono
Soekanto adalah”… kesatuan-kesatuan kemasyarakatan yang mempunyai
kelengkapan-kelengkapan untuk sanggup berdiri sendiri yaitu mempunyai kesatuan
hukum, kesatuan penguasa dan kesatuan lingkungan hidup berdasarkan hak bersama
atas tanah dan air bagi semua anggotanya…”
·
Dalam peraturan perundang-undangan,
istilah masyarakat hukum adat lebih sering disebut kesatuan masyarakat hukum
adat.
Pasal
2 ayat (2) dan Pasal 3 UU No 5 Tahun 1960 (UUPA), Pasal 6 UU No. 39 tahun 1999
tentang HAM, Pasal 1 huruf f, Pasal 4 ayat (3), Pasal 5 ayat (4), Pasal 34,
Pasal 37, dan Pasal 67 UUNo. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan RI, Pasal 6 UU No.
7 Tahun 2004 tentang SA, Pasal 9 UU No. 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan, dan
lain-lain.
·
Dalam Undang-Undang Dasar 1945, istilah
yang digunakan adalah “kesatuan masyarakat hukum adat” seperti yang disebutkan
dalam pasal 18B ayat (2), penyebutan istilah secara eksplisit juga terdapat
dalam Pasal 51 ayat (1) UU No. 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi,Pasal
2 ayat (9) Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan daerah, Pasal
31 A ayat (1) UU No. 3 tahu 2009 tentang Mahkamah Agung, Pasal 54, Pasal 100
dan Pasal 101 Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa, Pasal 25
dan Pasal 26 Peraturan Pemerintah Nomor 73 tahun 2005 tentang Kelurahan, dalam
peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2008 tentang kecamatan tercantum pada
penjelasan umumnya.
Disamping
itu dalam Pasal 28 I ayat (3) UUD 1945 disebutkan istilah “masyarakat
tradisional”.
3. Masyarakat
Tradisional
Pasal 28 I ayat
(3) UUD 1945 sering dikaitkan dengan
pengakuan kesatuan masyarakat hukum adat pada pasal 18 B ayat (2). Dalam UUD
1945 tidak diberikan defenisi terhadap istilah masyarakat tradisional dan
kesatuan masyarakat hukum adat.
·
Jimly Asshiddiqie mengatakan masyarakat
tradisional mempunyai pengertian yang lebih luas dari pengertian istilah
kesatuan masyarakat hukum adat, dan tidak semua masyarakat tradisional adalah
bagian dari kesatuan masyarakat hukum adat.
·
Dalam Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007
tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil , istilah masyarakat
tardisional disejajarkan dengan istilah masyarakat adat.
Pasal
1 angka 35 dirumuskan pengertian masyarakat tradisionla sebagai masyarakat
perikanan tradisional yang masih diakui hak tradisionalnya dalam melakukan
kegiatan penangkapan ikan atau kegiatan lainnya yang sah di daerah tertentu
yang berada dalam perairan kepulauan sesuai dengan kaidah hukum laut
internasional.
4. Masyarakat
Adat
Sebagian kalangan mengatakan istilah
masyarakat adat merupakan terjemahan langsung dari istilah “indigenous peoples”, namun sebagian juga
menganggapnya bukan merupakan terjemahan dari itu.
Jaringan Pembela hak-hak masyarakat (Japhama), pada tahun
1993 mendefinisikan masyarakat adat adalah kelompok masyarakat yang memiliki
asal-usul leluhur secara turun temurun) di wilayah geografis tertentu, serta
memiliki nilai, ideology, ekonomi, politik, budaya dan wilayah sendiri,
definisi ini diadopsi oleh Aliansi masyarakat adat nusantara(AMAN) pada Kongres
I di Tahun 1999.
Dalam Materi Uji
Sahih Rancangan UU tentang Perlindungan Masyarakat Adat versi Dewan Perwakiran Daerah republic Indonesia
juga digunakan istilah masyarakat adat. Dalam Pasal 1 angka (2) RUU PMA versi
DPDRI mendefinisikan Masyarakat adat adalah kelompok masyarakat yang secara
turun temurun hidup di wilayah geografis tertentu berdasarkan ikatan asal-usul
leluhur, mempunyai hak-hak yang lahir dari hubungan yang kuat dengan sumber
daya alam dan memiliki adat, nilai dan identitas budaya yang khas yang
menentukan pranata ekonomi, politik, social, dan hukum yang ditegakkan oleh lembaga-lembaga adat.
Dalam Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 Pasal 1 angka 3, yang dimaksud dengan
masyarakat adat adalah kelompok masyarakat pesisir yang secara turun temurun
bermukim di wilayah geografis tertentu karena adanya ikatan pada asal-usul
leluhur, adanya hubungan yang kuat dengan sumber daya pesisir dan pulau-pulau
kecil, serta adanya system nilai yang menentukan pranata ekonomi, politik,
social dan hukum.
5. Komunistas
Adat Terpencil.
Komunitas Adat Terpencil (KAT) adalah kelompok sosial
budaya yang bersifat lokal dan terpencar serta kurang atau belum terlibat dalam
jaringan dan pelayanan baik sosial, ekonomi, maupun politik (Keppres No. 111
Tahun 1999). Dalam hal ini pengertian tersebut mengandung arti bahwa komunitas
ini dipahami sebagai komunitas yang memiliki budaya atau adat tertentu yang
berbeda atau unik.
Komunitas ini biasanya adalah komunitas lokal asli
yang memiliki berbagai kelebihan yang harus dipertahankan seperti kerjasamanya,
budayanya, keguyubannya, dan interaksi sosialnya. Akan tetapi karena situasi
dan kondisi tertentu, komunitas ini kurang terlibat dalam jaringan pelayanan
sosial, ekonomi, maupun politik.
Ciri-ciri Komunitas Adat Terpencil (KAT) antara lain Berbentuk
komunitas kecil, tertutup, dan homogeny; Pranata sosial bertumpu pada hubungan kekerabatan
(bersifat informal dan kental dengan norma; Pada umumnya terpencil secara
geografis (relatif sulit dijangkau) dan terpencil secara sosial budaya; Pada umumnya masih hidup
dengan sistem ekonomi subsisten (berburu, meramu, peladang berpindah, nelayan); Peralatan teknologinya masih
sederhana; Ketergantungan pada lingkungan hidup dan sumber daya
alam setempat relatif tinggi; Terbatasnya akses pelayanan sosial dasar, ekonomi, dan
politik.
Comments
Post a Comment