Resume Peradilan Adat Setelah Kemerdekaan
Peradilan Adat Setelah
Kemerdekaan
1.
Masa
Berlakunya UUD 1945 (I)
Tanggal
17 Agustus 1945 merupakan tonggak bersejarah dalam tata hukum Indonesia. Dengan
pembacaan naskah proklamasi kemerdekaan RI oleh Soekarno-Hatta, menandai
berdirinya sebuah negara baru dengan tata hukumnya sendiri yang bernama Negara
Republik Indonesia. Sehari setelah kemerdekaan, pada tanggal 18 Agustus 1945
Undang-Undang Dasar 1945 disahkan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia
sebagai Undang-Undang Dasar bagi Negara Indonesia.
UUD
1945 berlaku sampai tanggal 17 Agustus 1950 ini, ketentuan-ketentuan yang
berkaitan dengan peradilan di Indonesia diatur dalam bab kesembilan (IX) dibawah titel : “Kekuasaan Kehakiman”
yang hanya terdiri dari dua pasal, yakni Pasal 24 dan Pasal 25. Pasal 24
mengatur tentang pelaksana serta susunan dan kekuasaan badan-badan kehakiman,
sedangkan Pasal 25 mengatur syarat-syarat menjadi dan untuk memberhentikan sebagai
hakim yang ditetapkan dengan undang-undang.
Melalui
Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 yang berbunyi “segala badan negara dan
peraturan yang ada masih tetap berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut
Undang-Undang Dasar ini”, maka susunan, kekuasaan serta acara dari badan-badan
pengadilan yang berlangsung di awal kemerdekaan RI ini masih sama dengan
susunan, kekuasaan serta acara dari badan-badan pengadilan di jaman pendudukan
Jepang. Kecuali menghapusan Peradilan Swapraja melalui Undang-Undang Nomor 23
Tahun 1947, badan-badan peradilan yang ada pada masa awal kemerdekaan ini
meliputi Peradilan Umum , Peradilan Agama, PeradilanAdat, dan Peradilan Tata
Usaha, ditambah dengan Peradilan Ketentaraan melalui UU Nomor 7 Tahun 1946.
Dengan demikian periode ini tidak ada kesatuan peradilan, baik dalam arti
kesatuan dalam mengadili maupun kesatuan organisasi peradilan.
Pada
tahun 1947, sementara pengaturan susunan badan-badan Kehakiman beserta
kekuasaannya belum dapat diselenggarakan, maka tanggal 27 Februari 1947
pemerintah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 18947 tentang Susunan
mahkamah Agung dan Kejaksaan Agung.
Walaupun
Undang-Undang menempatkan Mahkamah Agung sebagai badan Kehakiman yang tertinggi
di Republik Indonesia yang berkedudukan di Ibu Kota Negara, namun undang-undang
ini meletakkan Mahkmah Agung sebagai peradilan kasasi yang menjamin adanya
kesatuan peradilan, baik mengenai persoalan prosedural maupun substantif.
Untuk
melaksanakan apa yang dikehendaki oleh pasal 24 Undang-Undang Dasar 1945,
kemudian pemerintah memandang perlu membentuk peraturan tentang susunan dan
kekuasaan badan-badan Kehakiman dan Kejaksaan yang materi muatannya sekaligus
mencakup materi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1947. Pada tanggal 8 Juni 1948
diumumkan UU Kekuasaan Kehakiman yang cukup lengkap, UU tersebut adalah UU No.
19 Tahun 1948 tentang Susunan dan Kekuasaan Badan-Badan Kehakiman yang terdiri
dari 6 bab, 72 Pasal. Undang-Undang ini mencabut UU sebelumnya , UU No. 7 Tahun
1947. Namun UU ini belum sempat diberlakukan dan akhirnya tidak pernah berlaku
menyusul kondisi Republik akibat agresi Belanda.
Berdasarkan Undang-Undang baru ini, peradilan diseluruh
wilayah Republik Indonesia dilakukan oleh Peradilan Negara, secara eksplisit
disebutkan dalam Pasal 1 yang menyatakan “Dalam seluruh daerah Negara
dilaksanakannPeradilan atas nama Negara Republik Indonesia”. Ketentuan ini
menegaskan arah politik kekuasaan kehakiman yang dituangkan melalui
undang-undang ini yang menghendaki adanya unifikasi sistem peradilan. Namun,
penegasan berlakunya peradilan Negara diseluruh wilayah Indonesia tidak
mengganggu eksistensi peradilan desa yang telah ada sebelumnya, sebab masih
diakui dalam undang-undang ini dalam Pasal 10. Pengakuan terhadap eksistensi
peradilan desa dalam pasal ini disertai dengan keleluasaan pihak yang
berperkara melakukan pilihan hukum, prinsipnya mirip dengan prinsip yang dianut
oleh Pasal 3a RO ketika pertama kali peradilan desa diakui eksistensinya dalam
sistem peradilan di jaman Hindia Belanda.
Berdasarkan Pasal 6 UU Nomor 9 Tahun 1948, dalam Negara
Republik Indonesia dikenal tiga lingkungan peradilan yaitu peradilan umum ,
peradilan tata usaha pemerintahan dan peradilan ketentaraan. Kemudian dalam
Pasal 7 disebutkan bahwa kekuasaan kehakiman dalam peradilan umum dilakukan
oleh Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung . Maka, melihat
pada ketentuan Pasal 6 dan Pasal 10 diatas, maka dapat disimpulkan berdasarkan
UU No. 9 Tahun 1948, lingkungan peradilan yang diakui adalah peradilan umum,
peradilan tata usaha pemerintahan, peradilan ketentaraan dan peradilan desa.
Mengenai keberadaan peradilan agama yang diakui pada masa sebelumnya, tidak
diakomodir lagi dalam uu ini.
Kekuasaan Mahkamah Agung tidak lagi hanya melaksanakan
fungsi-fungsi pengawasan terehadap badan kehakiman dan hakim serta
menyelesaikan perselisihan kewenangan mengadili badan-badan peradilan,
melainkan juga meletakkan Peradilan Mahkamah Agung sebagai peradilan Kasasi.
Arah politik dalam masa ini adalah menghapuskan pluralisme sistem peradilan
demi unifikasi hukum. Upaya yang
dilakukan pemerintah adalah mengundangkan UU No. 23 Tahun 1947 yang
menghapuskan peradilan swapraja di Jawa dan Sumatra.
Perkembangan hukum di Indonesia dalam era pergolakan
antara 1945-1950 memang mengalami sedikit komplikasi ketika Republik Indonesia
diproklamirkan tanggal 17 Agustus 1945 itu bukan satu-satunya negara dan
pemerintahan yang boleh menuntut pengakuan sebagai satu-satunya kekuasaan
politik yang sah di keulauan Nusantara. Jatuhnya Jepang pada akhir perang
Pasifik segera dimanfaatkan oleh kekuasaan Hindia Belanda mengklaim dirinya
secara de jure sebagai penguasa politik satu-satunya. Kekuasaan pemerintah RI
tidak diakui , kemudian diakuinya secara secara terbatas sebagai kekuasaan de
facto.
Di daerah kekuasaan Hindia Belanda pasca perang, hukum
lama diteruskan berlakunya tanpa membuat aturan peralihan apapun. Produk
perundang-undangan militer Jepang tidak lagi dinyatakan berlaku. Perundangan
baru yang dihasilkan dan diundangkan sebagian berupa peraturan yang dibuat oleh
“negara boneka” di bawah kekuasaan sentral Hindia Belanda, seperti Negara
Indonesia Timur, Negara Pasundan, Negara Madura, dan lainnya. Kemudian Negara
itu kembali direbut Indonesia karena dianggap bertentangan dengan ketentraman
dan ketertiban umum.
2. Masa
Berlakunya Konstitusi RIS
Melalui Konperensi Meja Bundar di Belanda tanggal 27
desember 1949, dua kekuasaan yang berebut kedaulatan di Indonesia pasca perang
dunia kedua yaitu Republik Indonesia dan Pemerintah Pendudukan Belanda berakhir
seiring dengan pengakuan kedaulatan Republik Indonesia oleh Belanda atau
penyerahan kedaulatan oleh Belanda kepada RIS. Sebagai gantinya, lahirlah sebuah
republik federal yang dinamakan Republik Indonesia Serikat, dimana Republik
Indonesia menjadi salah satu negara bagian bersama-sama negara-negara bagian
lain yang semula berstatus sebagai negara semi independen di bawah kekuasaan
Belanda. Sejak itu berlaku di negara federal tersebut berlaku Konstitusi
Republik Indonesia.
Sebagai
negara federal, maka keseluruhan sistem peradilannya tidaklah menunjukkan
adanya kesatuan. Menurut Pasal 155 KRIS, negara-negara bagian RIS berhak
mengatur kekuasaan peradilan-peradilan yang diakui dengan atau atas kekuasaan
pengadilan-pengadilan yang diakui dengan atau atas kekuasaan
pengadilan-pengadilan yang diakui dengan atau atas kuasa undang-undang daerah
bagian. Dnegan melihat Pasal 147 dan Pasal 151 KRIS, di Republik Indonesia
Serikat terdapat dua macam lingkungan peradilan yaitu peradilan feredal dan
peradilan daerah bagian. Baik peradilan federal maupun pengadilan daerah bagian
masing-masing dilakukan oleh badan-badan pengadilan yang diadakan atau diakui
dengan atau atas kuasa undang-undang. Yang dimaksudkan dengan badan pengadilan
yang diadakan adalah badan-badan pengadilan yang diselenggarakan oleh
pemerintah RIS, sedangkan termasuk dalam lingkungan pengadilan yang diakui
dengan atau atas nama kuasa undang-undang adalah peradilan swapraja, peradilan
adat dan peradilan agama (Pasal 144 ayat (1) KRIS). Ketentuan-ketentuan lebih
lanjut mengenai hal ini tidak dijumpai, sehingga berdasarkan Pasal 192 KRIS,
ketentuan-ketentua n mengenai peradilan swapraja, peradilan adat dan peradilan
agama yang sudah ada sebelum KRIS tetap berlaku. Dengan demikian, pada masa RIS
masih berlaku dualisme bahkan pluralisme sistem peradilan.
Comments
Post a Comment