Resume Tinjauan Umum Notaris


Tinjauan Umum Notaris

1.        Sejarah Singkat Notariat
Sejarah Notariat di Indonesia tidak terlepas dari sejarah lembaga notariat di Negara-negara Eropa pada umumnya dan negeri Belanda pada khususnya.[1] Dikatakan demikian oleh karena perundang-undangan Indonesia dibidang Notariat berarkar pada “Notariswet” dari negeri Berlanda 9 Juli 1842 (Ned.Stbl.No.20), sedangkan “Notariswet” itu sendiri pada gilirannya, sekalipun itu tidak merupakan terjemahan sepenuhnya, namun susunan dan isinya sebagian besar mengambil contoh dari Undang-Undang Notaris Perancis dari 25 ventosean XI (16 Maret 1803) yang dahulu pernah berlaku di negeri Belanda.
Notariat mulai masuk di Indoensia pada abada ke-17 dengan “Oost Ind. Compagnie” di indonesia. Pada tanggal 27 Agustus 1620, yaitu beberapa bulan setelah dijadikannya Jakarta sebagai ibu kota (tanggal 4 Maret 1621 di namakan Batavia), Melchior Kerchem, Sekretaris dari “College van schepenen” di Jakarta, diangkat sebagai notaris pertama di Indonesia. Cara pengangkatan notaris pada saat itu secara singkat dimuat suatu intruski yang menguraikan bidang pekerjaan dan wewenangnya, yakni untuk menjalankan tugas dan jabatannya demi kepentingan publik dengan sumpah setia yang diucapkan pada waktu pengangkatannya dihadapan Balju di Kasteel (yang sekarang dikenal sebagai Gedung Departemen Keuangan, Lapangan banteng) serta berkewajiban mendaftarkan semua dokumen dan akta yang dibuatnya.
Lima tahun kemudian, pada tanggal 16 Juni 1625, setelah jabatan Notaris publik dipisahkan dengan jabatan sekretaris dengan surat keputusan Gubernur Jendral tanggal 12 November 1620 dikeluarkanlah intruksi pertama untuk para Notaris di Indonesia yang berisikan 10 pasal, diantaranya ketentuan bahwa para Notaris terlebih dahulu diuji dan diambil sumpahnya.
Tahun 1822 (Stb.No 11) dikeluarkan “Inructie voor de Notarissen in Indonesia” yang terdiri dari 34 pasal. Jika diperhatikan ketentuan dalam instruksi tersebut ternyata tidak lain dari suatu resume dari peraturan-peraturan yang ada sebelumnya, suatu bunga rampai dari plakat-plakat yang lama. Selama 30 tahun lamanya instruksi tersebut tidak banyak mengalami perubahan. Pada tahun 1860 pemerintahan Belanda melakukan penyesuaian peraturan mengenai Peraturan Jabatan Notaris di Indonesia (Reglement op het Notarist ambt in Indonesia) dengan mengeluarkan Staatblad Nomor 3. Dan dihitung sejak 1 Juli 1860, staablad Nomor 3 berlaku hingga diundangkannya UUJN.
Perjalanan Notaris di Indonesia mengalami perkembangan sesuai dengan perkembangan Negara dan Bangsa Indonesia. Sejarah kontemporer Indonesia mencatat bahwa pada era reformasi terjadi perubahan lembaga notariat yang cukup signifikan. Perubahan tersebut ditandai dengan berhasilnya pemerintahan orde reformasi mengundangkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris. Undang-Undang Nomor 30 tahun 2004 tentang jabatan Notaris merupakan pengganti PJN (Staatblad 1860-3) dan  Reglemement op het Notaristambt in Indonesia (Staatblad 1860-3) yang merupakan Peraturan Pemerintah Kolonial Belanda.[2] Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris mulai berlaku di Indonesia pada tanggal 6 Oktober 2004.

2.        Pengertian Notaris
Notaris berasal dari kata “nota literaria” yaitu tanda tulisan atau karakter yang dipergunakan untuk menulisakan atau menggambarkan ungkapan kalimat yang disampaikan narasumber. Tanda atau karakter yang dimaksud merupakan tanda yang dipakai dalam penulisan cepat (stenografie). Awalnya jabatan Notaris hakikiatnya ialah sebagai pejabat umum (private notary) yang ditugaskan oleh kekuasaan umum untuk melayani kebutuhan masyarakat akan alat bukti autentik yang memberikan kepastian hubungan hukum perdata, jadi sepanjang alat bukti autentik tetap diperlukan oleh sistem hokum negara maka jabatan Notaris akan tetap diperlukan eksistensinya di tengah masyarakat.[3]
Pengertian tentang Notaris sebagaimana yang dimaksud pada Pasal 1 Peraturan jabatan notaris (Regleme ntop Het Notaris Ambt in Indonesia, Stb 860 Nomor 3) memberikan ketentuan tentang defenisi notaris yaitu :
De Notarissen zijn openbare ambtenaren, ulsluitend bevoeg om authentiekeakten op te maken wegens alle handelingen, overeenkomsten en beschikkingngen, waarvan eene algemeene verordening geschrift blijken zal, daarvan de dagtekening te verzekeren, de akten in bewaring te houden en daarvan grossen, afshriften en uittreksels uit te geven; alles voor zzover het opmaken dier akten ene algemene verorsdening niet ook aan andere ambtenaren of personen opgedragen of voorbehouden is.[4]\

Artinya:
Notaris Adalah pejabat-pejabat umum khususnya berwenang untuk membuat akta-akta autentik mengenai semua perbuatan, persetujuan dan ketetapan-ketetapan, yang untuk itu diperintahkan oileh suatu undang-undang umum atau yang dikehendaki oleh orang-orang yang berkepentingan, yang akan terbukti dengan tulisan akta autentik, menjamin hari dan tanggalnya, menyimpan akte-akte dan mengeluarkan grosse-grosse, salinan-salinan dan kutipan-kutipannya; semuanya itu sejauh pembuatan akta-akta tersebut oleh suatu undang-undang umum tidak juga ditugaskan atau diserahkan kepada pejabat-pejabat atau orang-orang lain.
Pasal 1 angka 1 UUJN mengatur bahwa : Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta autentuik dan memiliki kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini atau berdasarkan undang-undang lainnya. Istilah Pejabat Umum[5] merupakan terjemahan dari istilah openbare ambtenaren yang terdapat dalam pasal 1 PJN[6] dan Pasal 186 Burgerlijk Wetboek (BW)[7]. Pengertian Pejabat umum pada kalimat “Notaris adalah pejabat umum…” dalam Pasal 1 PJN amaupun Pasal 1 angka 1 UUJN bukanlah Pegawai Negeri sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara, walaupun Notaris diangkat dan disumpah oleh pemerintah. Notaris adalah pejabat umum karena ia diangkat oleh pemerintah serta diberi wewenang untuk melayani publik tertentu.
Menurut Kamus Hukum salah satu arti dari Ambetenaren adalah Pejabat. Dengan demikian Openbare[8] Ambtenaren adalah pejabat yang mempunyai tugas yang bertalian dengan kepentingan publik, sehingga tepat jika Openbare Ambtenaren diartikan sebagai pejabat publik. Khusus berkaitan dengan Openbare Ambetenaren yang diterjemahkan sebagai pejabat umum diartikan sebagai pejabat yang diserahi tugas untuk membuat akta autentik yang melayani kepentingan publik, dan kualifikasi seperti itu diberikan kepada notaris.
Notaris adalah seorang pejabat Negara atau pejabat umum yang diangkat oleh Negara untuk melakukan tugas-tugas Negara sebagai pejabat pembuat akta autentik dalam hal keperdataan sehingga dalam memberikan pelayanan hukum kepada masyarakat demi tercapainya kepastian hukum. Yang dimaksud pejabat umum disini adalah orang yang diangkat untuk menduduki jabatan umum oleh penguasa umum untuk melakukan tyugas negara atau pemerintah. Notary public dalam Balck’s Law Dictionary didefenisiskan sebagai “A person authorized by state to administer oaths, certify documents, attest to the authenticity of signatures, and perfom officials acts in commercial matters”[9], dari pernyataan ini dapat dipahami bahwa Notaris dalah seseorang yang ditunjuk oleh negara untuk mengambil sumpah, menetapkan dengan resmi dokumen-dokumen, membuktikan keaslian tanda-tangan dan menjalankan pekerjaan resmi dalam hal komersil.
Setiap masyarakat membutuhkan seseorang (figur) yang keterangannya dapat diandalkan, dapat dipercaya yang tanda tangannya serta segelnya (capnya) memberikan jaminan dan sebagai alat bukti yang kuat. Seorang ahli yang tidak memihak dan penyuluh hukum yang tidak ada cacatnya, yang tutup mulut dalam membuat suatu perjanjian yang dapat melindungi di hari-hari mendatang. Hal ini berbeda dengan peran seorang advokat, dimana profesi advokat lebih menekankan pada pembelaan hak-hak seseorang ketika timbul suatu kesulitan, sedangkan profesi Notaris harus berperan untuk mencegah sedini mungkin kesulitan yang terjadi di masa yang akan datang.[10]
Definisi Notaris Menurut Pasal 1 Angka 1 UUJN yang menyebutkan bahwa Notaris adalah Pejabat Umum (openbare ambtenaar), ia bukan pegawai menurut undang-undang atau peraturan-peraturan kepegawaian negeri. Ia tidak menerima gaji, bukan bezoldigd staatsambt, tetapi menerima honorarium sebagai penghargaan atas jasa yang telah di berikan kepada masyarakat.[11] Notaris adalah pejabat umum sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 1868 KUH Perdata yaitu Suatu akta Autentik ialah suatu akta yang di dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau dihadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu di tempat dimana akta dibuatnya.
Pejabat umum adalah seseorang yang diangkat dan diberhentikan oleh pemerintah dan diberi wewenang dan kewajiban untuk melayani publik dalm hal-hal tertentu karena ia ikut serta melaksanakan suatu kekuasaan yang bersumber pada kewibawaan dari pemerintah. Dalam jabatannya tersimpul suatu sifat atau ciri khas yang membedakannya dari jabatan-jabatan lainnya dalam masyarakat. Sebagai pejabat umum, Notaris diangkat oleh negara dan bekerja untuk pelayanan kepentingan umum khususnya dalam bidang hukum perdata, walaupun Notaris bukan merupakan pegawain negeri yang menerima gaji dari Negara. Pelayanan kepentingan umum tersebut adalah dalam arti bidang pelayanan pembuatan akta dan tugas-tugas lain yang dibebankan kepada Notaris, yang melekat pada predikat sebagai pejabat umum dalam ruang lingkup tugas dan kewenangan Notaris. Pelayanan kepentingan umum merupakan hakekat tugas bidang pemerintahan yang didasarkan pada asas memberikan dan menjamin adanya rasa kepastian hukum bagi masyarakat. Dalam bidang tertentu, tugas itu oleh undang-undang diberikan dan dipercayakan kepada Notaris, oleh karenanya masyarakat juga harus percaya bahwaakta Notaris yang diterbitkan tersebut memberikan kepastian hukum baginya. Seorang Notasi diangkat dan diberhentikan oleh Menteri (Pasal 2 UUJN). Dalam Pasal 3 UUJN disebutkan bahwa syarat-syarat untuk diangkat menjadi Notaris adalah:
a.       warga negara Indonesia;
b.      bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
c.       berumur paling sedikit 27 (dua puluh tujuh) tahun;
d.      sehat jasmani dan rohani yang dinyatakan dengan surat keterangan sehat dari dokter dan psikiater;
e.       berijazah sarjana hukum dan lulusan jenjang strata dua kenotariatan;
f.        telah menjalani magang atau nyata-nyata telah bekerja sebagai karyawan Notaris dalam waktu paling singkat 24 (dua puluh empat) bulan berturut-turut pada kantor Notaris atas prakarsa sendiri atau atas rekomendasi Organisasi Notaris setelah lulus strata dua kenotariatan;
g.      tidak berstatus sebagai pegawai negeri, pejabat negara, advokat, atau tidak sedang memangku jabatan lain yang oleh undang-undang dilarang untuk dirangkap dengan jabatan Notaris; dan
h.      tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih.
Notaris merupakan pejabat yang menjalankan sebagian kekuasaan negara di bidang hukum privat dan mempunyai peran penting dalam pembuatan akta autentik yang mempunyai kekuatan pembuktian sempurna. Oleh karena jabatan Notaris merupakan jabatan kepercayaan dengan peran yang sangat penting, maka seorang Notaris dalam pelaksanaan jabatannya selain harus mendapatkan pengawasan juga perlu mendapatkan kepastian hukum. Kepastian Hukum dimaksud agar Notaris dalam melaksanakan jabatannya senantiasa mendapatkan keadilan juga perlindungan hukum dari peraturan perundang-undangan yang ada.

3.      Tugas dan Kewenangan Notaris
Pasal 1 Angka 1 UUJN selain menguraikan pengertian mengenai Notaris, juga menyebutkan kewenangan Notaris, yaitu sebagai pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta autentik dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 UUJN, antara lain sebagai berikut:
(1)          Notaris berwenang membuat Akta autentik mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan penetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam Akta autentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan Akta, menyimpan Akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan Akta, semuanya itu sepanjang pembuatan Akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh undang-undang.
(2)          Selain kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Notaris berwenang pula:
a.             mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus;
b.             membukukan surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus;
c.             membuat kopi dari asli surat di bawah tangan berupa salinan yang memuat uraian sebagaimana ditulis dan digambarkan dalam surat yang bersangkutan;
d.             melakukan pengesahan kecocokan fotokopi dengan surat aslinya;
e.             memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan Akta;
f.              membuat Akta yang berkaitan dengan pertanahan; atau g. membuat Akta risalah lelang.
(3)          Selain kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), Notaris mempunyai kewenangan lain yang diatur dalam peraturan perundangundangan.
Kewenangan lain sebagaimana yang disebutkan Pasal 15 ayat (3) adalah semua kewenangan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai kewenangan Notaris. Misalnya kewenangan membuat akta pendirian Perseroan Terbatan yang diatur dalam Pasal 7 UndangNomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas, atau seperti tercantung dalam Pasal 11 ayat (2) Undnag-Undang Nomor 28 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 Tentang Yayasan mengenai kewenangan untuk membuat akta pendirian yayasan. Pasal 1 angka 7 UUJN menguraikan definisi dari Akta Notaris sebagai akta autentik yang dibuat oleh atau dihadapan Notaris menurut bentuk dan tata cara yang ditetapkan dalam undang-undang ini. Pengertian tersebut membawa konsekwensi bagi setiap Notaris dalam pembuatan Akta agar memperhatikan ketentuan-ketentuan dalam UUJN. Berdasarkan pasal 1868 KUH Perdata, suatu akta autentik ialah suatu akta yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau dihadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu di tempat dimana akta dibuatnya. Pengertian tersebut sekaligus merupakan syarat-syarat suatu akta dapat disebut sebagai akta yang autentik.
Merujuk kepada pengertian Akta Notaris dalam Pasal 1 angka 7 UUJN dan syarat suatu akta autentik berdasarkan Pasal 1868 KUH Perdata, maka ketentuan-ketentuan dalam UUJN harus dilaksanakan oleh Notaris. Pengertian pembuatan “akta dihadapan” Notaris menunjukkan akta tersebut dibuat atas permintaan seseorang sedangkan akta yang dibuat “oleh” Notaris karena adanya suatu kejadian, pemeriksaan, keputudan, dan sebagainya (berita acara rapat, protes, wesel).[12]
Syarat lainnya adalah menyangkut kewenangan Notaris untuk maksud dan di tempat akta tersebut dibuat. Berwenang (bevoegd) artinya menyangkut jabatan dan jenis akta yang dibuatnya, hari dan tanggal pembuatan akta, dan tempat akta dibuat.[13] UUJN telah memberikan perluasan kewenangan kepada Notaris sebagai pejabat umum, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (2) huruf f. Kewenangan tersebut adalah kewenangan membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan. Kewenangan tersebut, walapun masih terjadi perdebatan harus dilaksanakan secara konsekuen sebagaimana ditegaskan oleh UUJN. Menurut Hamid Awaludin yang pernah menjabat sebagai Menkumham di era kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudoyono (2004-2007), menyatakan bahwa semua instansipemerintah dan institusi lainnya yang berada di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia harus tunduk dan patuh kepada hokum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku, termasuk harus tunduk dan patuh kepada semua materi UUJN.[14]
Kewenangan baru lainnya bagi Notaris adalah membuat akta risalah lelang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 Ayat (2) huruf g UUJN, yang sebelum UUJN merupakan kewenangan Juru Lelang pada Badan Urusan Utang Piutang dan Lelang Negara (BPUPLN) berdasarkan Undang-Undang Nomor 49 Prp Tahun 1960. Pemberian Kewenangan membuat akta risalah lelang kepada Notaris membeawa konsekwensi harus disertai dengan penambahan kemapuan dalam melaksanakan tugas tersebut.
Berkaitan dengan kewenangan Notaris ada tiga hal pokok yang penting dalam pelaksanakaan UUJN, yaitu mengenai kepastian, ketertiban, dan perlindungan hukum yang menjadi landasan filosofis dibentuknya UUJN. Kebutuhan akan kepastian, ketertiban dan perlindungan hukum dewasa ini makin meningkat sejalan dengan tuntutan perkembangan hubungan ekonomi dan social, baik pada tingkat nasional, regional maupun global.

4.      Kewajiban dan Larangan Notaris
Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya selain diberikan wewenang, juga harus taat kepada kewajiban yang diatur dalam UUJN dan Kode Etik Notaris serta diwajibkan untuk menghindari larangan-larangan dalam menjalankan jabatannya. Sebagai Jabatan dan Profesi yang terhormat Notaris mempunyai kewajiban-kewajibanyang harus dilaksanakan baik berdasarkan peraturan perundang-undangan yang khusus mengatur mengenai Notaris, UUJN maupun peraturan perundang-undangan lainnya, misalnya Undang-Undang Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.
Notaris diangkat oleh penguasa untuk kepentingan publik. Wewenang dari Notaris diberikan oleh undang-undang untuk kepentingan publik bukan untuk kepentingan diri Notaris sendiri. Oleh karena itu kewajiban-kewajiban Notaris adalah kewajiban jabatan (ambtsplicht). Menurut UUJN, dalam menjalankan jabatannya Notaris mempunyai kewajiban yang diatu dalam Pasal 16, yaitu:
Dalam menjalankan jabatannya, Notaris wajib:
a.         bertindak amanah, jujur, saksama, mandiri, tidak berpihak, dan menjaga kepentingan pihak yang terkait dalam perbuatan hukum;
b.        membuat Akta dalam bentuk Minuta Akta dan menyimpannya sebagai bagian dari Protokol Notaris;
c.         melekatkan surat dan dokumen serta sidik jari penghadap pada Minuta Akta;
d.        mengeluarkan Grosse Akta, Salinan Akta, atau Kutipan Akta berdasarkan Minuta Akta;
e.         memberikan pelayanan sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini, kecuali ada alasan untuk menolaknya;
f.          merahasiakan segala sesuatu mengenai Akta yang dibuatnya dan segala keterangan yang diperoleh guna pembuatan Akta sesuai dengan sumpah/janji jabatan, kecuali undang-undang menentukan lain;
g.        menjilid Akta yang dibuatnya dalam 1 (satu) bulan menjadi buku yang memuat tidak lebih dari 50 (lima puluh) Akta, dan jika jumlah Akta tidak dapat dimuat dalam satu buku, Akta tersebut dapat dijilid menjadi lebih dari satu buku, dan mencatat jumlah Minuta Akta, bulan, dan tahun pembuatannya pada sampul setiap buku;
h.        membuat daftar dari Akta protes terhadap tidak dibayar atau tidak diterimanya surat berharga;
i.          membuat daftar Akta yang berkenaan dengan wasiat menurut urutan waktu pembuatan Akta setiap bulan;
j.          mengirimkan daftar Akta sebagaimana dimaksud dalam huruf i atau daftar nihil yang berkenaan dengan wasiat ke pusat daftar wasiat pada kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dalam waktu 5 (lima) hari pada minggu pertama setiap bulan berikutnya;
k.        mencatat dalam repertorium tanggal pengiriman daftar wasiat pada setiap akhir bulan;
l.          mempunyai cap atau stempel yang memuat lambang negara Republik Indonesia dan pada ruang yang melingkarinya dituliskan nama, jabatan, dan tempat kedudukan yang bersangkutan;
m.      membacakan Akta di hadapan penghadap dengan dihadiri oleh paling sedikit 2 (dua) orang saksi, atau 4 (empat) orang saksi khusus untuk pembuatan Akta wasiat di bawah tangan, dan ditandatangani pada saat itu juga oleh penghadap, saksi, dan Notaris; dan
n.        menerima magang calon Notaris.
1.        Kewajiban menyimpan Minuta Akta sebagaimana dimaksud ayat (1) huruf b tidak berlaku, dalam hal Notaris mengeluarkan Akta in originali.
Pengecualian terhadap kewajiban pembacaan akta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b tidak wajib dilakukan, jika penghadap menghendaki agar akta tidak dibacakan karena penghadao telah membaca sendiri, mengtahui, dan memahami isinya, dengan ketentuan bahwa hal tersebut dinyatakan dalam penutup akta serta pada setiap halaman Minuta Akta diparaf oleh penghadap, saksi dan Notaris. Jika ketentuan tersebut tidak dipenuhi, maka berdasarkan ketentuan Pasal 16 ayat (9) UUJN, akta yang bersangkutan hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan.
Kewajiban-kewajiban Notaris disertai pula dengan larangan-larangan bagi Notaris dalam menjalankan jabatannya sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 17 UUJN sebagai berikut:
(1)      Notaris dilarang:
a.             menjalankan jabatan di luar wilayah jabatannya;
b.             meninggalkan wilayah jabatannya lebih dari 7 (tujuh) hari kerja berturut-turut tanpa alasan yang sah;
c.             merangkap sebagai pegawai negeri;
d.             merangkap jabatan sebagai pejabat negara;
e.             merangkap jabatan sebagai advokat;
f.              merangkap jabatan sebagai pemimpin atau pegawai badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah atau badan usaha swasta;
g.             merangkap jabatan sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah dan/atau Pejabat Lelang Kelas II di luar tempat kedudukan Notaris;
h.             menjadi Notaris Pengganti; atau
i.               melakukan pekerjaan lain yang bertentangan dengan norma agama, kesusilaan, atau kepatutan yang dapat mempengaruhi kehormatan dan martabat jabatan Notaris.
Larangan-larangan tersebut dimaksudkan untuk menjamin kepentingan masyarakat yang memerlukan jasa Notaris. Selanjutnya, larangan dalam ketentuan Pasal 17 huruf a UUJN dimaksudkan untuk memberi kepastian hukum kepada masyarakat dan sekaligus mencegah terjadinya persaingan tidak sehat antar Notaris dalam menjalankan jabatannya.
Salah satu upaya dalam pencegahan persaingan tersebut, Notaris hendaknya memperhatikan ketentuan mengenai honoranium yang merupakan hak Notaris atas jasa hukum yang diberikan sesuai dengan kewenangannya (Pasal 36 UUJN) dengan tidak memungut biaya yang terlampau murah di banding rekan-rekan Notaris lainnya, namun dengan tetap melaksanakan kewajiban dalam memberikan jasa hokum di bidang kenotariatan secara cuma-cuma kepada orang yang tidak mampu, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 37 ayat 1 UUJN.
Terkait kedudukan dan wilayah jabatan Notaris, Pasal 18 UUJN menyatakan bahwa Notaris mempunyai tempat kedudukan di daerah kabupaten atau kota, dan mempunyai wilayah jabatan meliputi seluruh wilayah provinsi dari tempat kedudukannya. Selanjutnya Pasal 19 ayat (1) UUJN menyatakan, bahwa Notaris wajib mempunyai hanya satu kantor, yang di tempat kedudukannya. Notaris tidak berwenang secara berturut-turut dengan tetap menjalankan jabatan diluar tempat kedudukannya. (Pasal 19 ayat (3) UUJN). Dengan hanya mempunyai satu kantor, notaris dilarang mempunyai kantor cabang, perwakilan, dan/bentuk lainnya,sehingga akta Notaris sedapat-dapatnya dilangsungkan di kantor Notaris kecuali perbuatan akta-akta tertentu, misalnya Akta Risalah Rapat.
Larangan bagi Notaris selain diatur dalam ketentuan Pasal 17 UUJN, juga diatur dalam Pasal 18 Keputusan Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M-01.HT.03.01 Tahun 2003 Tentang KeNotarisan yaitu:
(1)   Notaris dilarang :
a.     membuka. kantor cabang atau mempunyai kantor lebih dari satu;
b.    melakukan tindakan atau perbuatan yang dapat merendahkan martabat jabatan Notaris;
c.     meninggalkan daerah kerja lebih dari tiga hari, kecuali ada izin dari Pejabat yang berwenang atau dalam keadaan cuti;
d.    mengadakan promos:i yang menyangkut jabatan Notaris melalui media cetak maupun media elektronik;
e.     membacakan dan menandatangani akta di luar wilayah kerja Notaris yang bersangkutan;
f.     menyimpan protokol setelah Notaris yang bersangkutan diberhentikan oleh Menteri;
g.    merangkap jabatan sebagai ketua atau anggota lembaga tinggi negara tanpa mengambil cuti jabatan.
h.    merangkap jabatan sebagai pemimpin atau pegawai badan usaha milik Negara/badan usaha millik daerah, pegawai swasta;
i.     merangkap jabatan sebagai pejabat pembuat akta tanah di luar wilayah kerja Notaris.
j.     menolak calon Notaris magang di kantornya.
(2)   Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf f, berlaku juga bagi ahli waris Notaris yang bersangkutan.
(3)   Dalam hal Notaris akan menJabat jabatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf g, wajib memperoleh izin terlebih dahulu dari Menteri.
(4)   Dalam hal Notaris melakukan pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), maka Menteri dapat memberikan sanksiberupa:
a.    surat teguran;
b.    surat peringatan;
c.    pemberhentian sementara;
d.    pemberhentian,tetap.

Berdasarkan Ketentuan Peralihan Pasal 86 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, peraturan pelaksanakaan yang berkaitan dengan Jabatan Notaris tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan atau belum diganti berdasarkan Undang-Undang ini. Kepmenkeh Nomor M-01.HT.03.01 Tahun 2003 Tentang KeNotarisan merupakan salah satu peraturan pelaksanaan yang dimaksud, salah satu yang sudah diganti adalah mengenai larangan meninggalkan daerah kerja lebih dari 3 (tiga) hari, sekarang berdarkan Pasal 17 Undang Undang Nomor 2 Tahun 2014 (UUJN), adalah 7 (tujuh) hari kerja berturut-turut tanpa alas an yang sah meninggalkan wilayah jabatan.


[1] Luman Tobing G.H.S., Peraturan Jabatan Notaris, Cetakan ketiga, Penerbit Erlangga, Jogjakarta, h. 10.
[2] Abdul Ghofur Ansroni, 2010, Lembaga Kenotariatan Indonesia, UII Press, Jogjakarta, h. 13.
[3] Lumban Tobing G.H.S., Op.cit., h.41.
[4][4] Engelbrecht De Wetboeken Wetten En Veroordeningen, Benevens De Grondwet Van De Republiek Indonesie, 1998, IchtiarBaru, Van Voeve, Jakarta, h.882.
[5] Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MKRI) dengan putusan Nomor 009-014/PUU-111/2005, tanggal 13 September 2005, mengistilahkan pejabat umum sebagai public sebagai public official.
[6] Istilah Openbare Ambtenaren yang terdapat dalam Art.1 dalam Reglement op het Notaris Ambt in Indonesia (Ord. Van Jan. 1860). S.1860-3, diterjemahkan menjadi Pejabat Umum oleh G.H.S. Lumban Tobing. Op. Cit., h.5.
[7] Istilah Openbare Ambtenaren yang terdapat dalam Pasal 186 BW diterjemahkan menjadi Pejabat Umum oleh R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, 1983, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Pradnya Paramita, Jakarta, h. 7.
[8] Saleh Adiwinata, A. Teloeki, H. Boerhanoeddin St. Batoeah, Kamus istilah Hukum Fockema Andreae Belanda Indonesia, 1983, Binacipta, Jakarta, h. 363, istilah Openbare diterjemahkan sebagai umum.
[9] Henry Campbell Black, 1991, Black’s Law Dictionary, West publishing & Co, St. Paul, Minnesota, h. 1085
[10] Tan Thong Kie, 2000, Buku I Studi Notariat – Beberapa Mata Pelajaran dan Serba Serbi Praktek Notaris, Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, h. 102.
[11] Komare Andasasmita, 1981, Notaris dengan Sejarah, Peranan, Tugas Kewajiban, Rahasia Jabatannya, Sumur, Bandung, h.45.
[12] Tan Thong Kie, Op.ciyt., h.155.
[13] Tan Thong Kie, Op.ciyt., h.155.
[14] Hamid Awaludin, 2006, Semua Institusi Pemerintah Harus Tunduk Pada Pasal 15.2.f., Kongres XIX 1.N.1., Renvoi Nomor 9.33.III, h.7.

Comments

Popular posts from this blog

Surat Atas Tunjuk dan Surat Atas Pengganti (Hukum Dagang)

Perbedaan Surat atas Tunjuk (Aan Toonder) dan Surat atas Pengganti (Aan Order)

OBJEK-OBJEK HUKUM TATA NEGARA