Resume Eksistensi Peradilan Desa Pada Masa Berlakunya UUDS 1950


Eksistensi Peradilan Desa Pada Masa Berlakunya UUDS 1950

Umur negara federal (RIS) tidak lama, karena segera setelah terjadinya penyerahan kedaulatann, RIS mengalami disintegrasi, dimana banyak negara bagian yang otonom menyerahkan diri ke negara bagian Republik Indonesia. Dalam waktu singkat , anggota RIS tinggal beberapa saja, ialah Republik Indonesia, Negara Indonesia Timur, Negara Sumatra Timur, Daerah Istimewa Kalimantan Barat dan Daerah Distrik Jakarta dan sekitarnya.Pada tanggal 17 Agustus 1950, satuan-satuan kenegaraan yang masih tersisa ini melebur diri menjadi sebuah negara republik kesatuan. Dengan berakhirnya RIS, tanggalo 17 Agustus 1950 Konstitusi Republik Indonesia Serikat diganti dengan Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 7 tahun 1950 yang biasa disingkat UUDS.
Pasal-pasal dalam UUDS yang berhubungan dengan peradilan adalah Pasal 78 dan Pasal 79 yang mengatur mengenai Mahkamah Agung, serta Pasal 101 sampai Pasal 108 yang secara langsung mengatur menegnai pengadilan. Pasal 101 ayat (1) menyatakan bahwa “Perkara perdata, perkara pidana sipil dan perkara pidana militer semata-mata masuk perkara yang diadili oleh pengadilan-pengadilan yang diadakan atau diakui dengan undang-undang atau atas kuasa undang-undang”. Dengan demikian sama dengan yang dianut KRIS, menurut UUDS terdapat dua golongan badan pengadilan yaitu (1) pengadilan yang diadakan; dan (2) pengadilan yang diakui dengan undang-undang atau atas kuasa undang-undang. Pada masa berlakunya KRIS yang termasuk badan pengadilan adalah: Peradilan Umum, Peradilan Militer, dan Peradilan Tata Usaha Negara; sedangkan yang termasuk peradilan yang diakui adalah Peradilan Swapraja, Peradilan Agama dan Peradilan Adat. Dengan demikian, berdasarkan ketentuan peralihan Pasal 142 dan Pasal 143 UUDS, eksistensi peradilan adat yang sudah ada dan masih berlaku sebelum 17 Agustus 1950 tetap diakui.
Dalam Negara Kesatuan Republiik Indonesia yang menggantikan RIS ini, susunan dan kekuasaan peradilan diletakkan pada Pasal 102 UUDS. Dari pasal ini diketahui bahwa politik hukum kekuasaan kehakiman sesuai UUDS menghendaki adanya pengaturan susunan dan kekuasaan peradilan dalam suatu kodifikasi kecuali pembentuk undang-undang mengehendaki pengaturan dalam undang-undang tersendiri. Memenuhi amanat pasal tersebut, pemerintah menyiapkan rancangan Undang-Undanguntuk mengganti undang-undang kekuasaan kehakiman yang telah ada sebelumnya dan langsung masih berlaku berdasarkan ketentuan aturan peralihan dalam Pasal 142 dan Pasal 143. Rancangan undang-undang itu mengandung asas unifikasi susunan, kekuasaan dan acara segala Pengadilan Negeri dan segala Pengadilan Tinggi dalam daerah Republik Indonesia. Rancangan Undang-Undang yang diberi nama “Undang-Undang Tentang Susunan, Kekuasaan Dan Acara Pengadilan-Pengadilan Negeri dan Pengedilan-Pengadilan Tinggi” tersebut telah diajukan kepada Dewan Menteri untuk dibahas.
Proses pembahasan suatu rancanga undang-undang sampai disahkan menjadi undang-undang membutuhkan beberapa tahapan. Dalam tahapan tersebut, diketahui susunan dan badan kekuasaan yang ada pada masa RIS ruwet, maka pemerintah mengambil tindakan darurat.
Pada tanggal 13 Januari 1951 pemerintah mengeluarkan Undang-Undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951 tentang Tindakan-Tindakan Sementara untuk menyelenggarakan Kesatuan Susunan Kekuasaan dan Acara Pengadilan-Pengadilan Sipil. Pemerintah memandang bahwa keadaan sudah sangat mendesak untuk menyelenggarakan kesatuan sistem peradilan sehingga perlu dilakukan peraturan yang bersifat darurat. Alasan “keadaan mendesak” yang menjadi pertimbangan dikeluarkannya peraturan ini diintrodusir dalam konsideran Undnag-Undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951 seperti dapat dilihat pada point “menimbang”, yang menyatakan:
Menimbang bahwa perlu diadakan peraturan tentang tindakan-tindakan sementara untuk menyelenggarakankesatuan susunan, kekuasaan dan acar pengadilan-pengadilan sipil;
Menimbang pula, bahwa dengan keadaan-keadaan yang mendesak, peraturan ini perlu segera diadakan.
Dari rumusan dasar pertimbangan dikeluarkannya UU Darurat Nomor 1 Tahun 1951 kentara sekali kuatnya keinginan untuk melaksanakan unifikasi badan-badan pengadilan, suatu ambisi yang telah dicita-citakan oleh politisi kaum liberal pada jaman pemerintahan kolonial Hindia Belanda.
Pada intinya, UU Darurat ini berisi 4 hal pokok, yaitu:
(1)          Pengahpusan beberapa peradilan pengadilan yang tidak lagi sesuai dengan susunan negara kesatuan
(2)          Penghapusan secara berangsur-angsur pengadilan swapraja di daerah-daerah tertentu dan semua pengadilan adat
(3)          Melanjutkan peradilan agama dan peradilan desa, sepanjang pengadilan tersebut merupakan bagian yang tersendiri atau terpisah dari pengadilan adat.
(4)          Pembentukan pengadilan negeri dan kejaksaan ditempat dimana dihapuskan landrgrecht.
Mengenai penghapusan peradilan adat, ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (2) Undnag-Undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951 yang menyatakan sebagai berikut:
Pada saat yang berangsur-angsur akan ditentukan oleh Menteri Kehakiman dihapuskan:
a.              Segala Pengadilan Swapraja dalam Negara Sumatera Timur dahulu, Karesidenan Kalimantan Barat dahulu dan Negara Indonesia Timurdahulu, kecuali peradilan agama jika peradilan itu menurut hukum yang hidup merupakansatu bagian tersendiri dari peradilan Swapraja;
b.             Segala Pengadilan Adat kecuali peradilan agama jika peradilan itu menurut hukum yang hidup merupakansatu bagian tersendiri dari peradilan adat.
Dari penjelasan UU Darurat Nomor 1 Tahun 1951 dapat diketahui dasar pertimbangan penghapusan peradilan adat, yaitu (1) Peradilan adat tidak memenuhi persyaratan sebagai alat perlengkapan pengadilan sebagaimana yang dikehendaki oleh UUDS; dan (2) tidak dikehendaki lagi oleh rakyat. Sedangkan mengenai alasan mengapa pengahpusan pengadilan swapraja dan semua peradilan adat dilaksanakan secara berangsur-angsur, tiada lain karena tidak mungkin penghapusan itu dijalankan seketika pada saat pengundangan UU Darurat No. 1 Tahun 1951, oleh karena keterbatasan tenaga hakim pada pengadilan-pengadilan negeri yang besar dan luas pula bidang tugasnya.
Sebagai pelaksanaan Undang-Undang Darurat ini, Pemerintah (Menteri Kehakiman) kemudian mengeluarkan peraturan-peraturan untuk menghapuskan peradilan swapraja dan peradilan adat.Walaupun tidak semua peradilan swapraja dan peradilan adat dihapuskan, namun dengan tindakan tersebut, kehendak menyelenggarakan unifikasi sistem peradilan sebagai bentuk politik hukum kekuasaan kehakiman telah diwujudkan, dimana tugas peradilan swapraja dan peradilan adat tersebut selanjutnya dilaksanakan oleh Pengadilan Negeri. Walaupun penghapusan dilakukan secara berangsur-angsur, namun ada jaminan bahwa tidak ada lagi peradilan resmi yang boleh diselenggarakan kecuali peradilan yang diselenggarakan oleh negara. Pendirian ini sebelumnya telah digunakan ketika Pemerintah Republik Indonesia mengeluarkan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1948 yang tidak sempat diberlakukan.
Namun demikian, penghapusan peradilan adat berdasarkan Pasal 1 ayat (2) ternayta tidak menggangun eksistensi peradilan desa. Penegasan tetap berlangsungnya peradilan desa dapat dilihat pada ayat (3) Pasal 1 UU Darurat Nomor 1 Tahun 1951 yang menyatakan bahwa “Ketentuan tersebut dalam ayat (1) tidak sedikitpun juga mengurangi hak kekuasaan yang sampai selama ini telah diberikan kepada hakim-hakim perdamaian di desa-desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3a RO”  penegasan ini kontradiktif dengan pernyataan yang tercantum dalam penjelasan UU Darurat No. 1 Tahun 1951, yang menyatakan “dalam seluruh daerah Indonesia segala pengadilan-pengadilan sipil daei Negara yang memeriksa dan memutus perkara-perkara perdata dan (atau) pidana, jika pengadilan-pengadilan itu khusus terdiri dari para hakim yang bukan hakim karena jabatannya, lagi pula segala kekuasaan hakim-hakim desa, harus dihapuskan”.
Namun, dengan pembacaan yang lengkap terhadap penjelasan umum UU Darurat No. 1 Tahun 1951 diketahui bahwa pernyataan dalam penjelasan yang menginginkan penghapusan kekuasaan hakim-hakim desa sama sekali tidak ada kaitannya dengan Pasal 1 ayat (3), karena pernyataan tersebut hanya menjelaskan pendirian yang dianut oleh Rancangan UU Darurat No 1 Tahun 1951 yang telah berproses dan di taruh di bagian penjelasan.
Kehendak dalam menyelenggarakan unifikasi badan-badan peradilan belum dapat dipahami dari pertimbangandikeluarkannya UU Darurat No. 1 Tahun 1951 belum sepenuhnya dapat dilakukan. Unifikasi peradilan baru bisa dilakukan di peradilan umum. Pada masa itu terdapat lima lingkungan peradilan yaitu Peradilan Umum, Peradilan Tentara, Peradilan Agama, Peradilan Ekonomi, Perdailan Tata Usaha Khusus Mengenai Pajak. Tidak adanya jaminan kesatuan peradilan juga disebabkan karena pada waktu itu Mahkamah Agung bukan satu-satunya peradilan kasasi.
Walaupun berdasarkan Pasal 105 UUDS Mahkamah Agung diberikan kewenangan kasasi, tetapi hanya dilingkungan peradilan umum.pada masa ini, disamping Mahkamah Agung sebagai pengadilan Negara Tertinggi dilingkungan peradilan umum, masih ada Mahkamah Islam Tinggi dan Mahkamah Tentara Agung. Mahkamah Islam Tinggi kecuali memutus sebagai hakim tertinggi atas perselisihan tentang kekuasaan antara Pengadilan Agama yang dimintakan banding. Sedangkan Mahkamah Tentara Agung berwenang mengadili dalam tingkat peradilan pertama dan terakhir semuaperselisihan tentang kekuasaan mengadili antara pengadilan-pengadilan tentara, mengadili dalam tingkat peradilan pertama dan terakhir perkara kejahatan dan pelanggaran yang berhubungan dengan jabatan yang dilakukan oleh Sekretaris Jendral Kementerian Pertahan, mengadili dalam peradilan tingkat kedua segala perkara yang telah diputus oleh Pengadilan Tentara Tinggi dlaam peradilan tingkat pertama dan yang dimintakan pemeriksaan ulang.


Comments

Popular posts from this blog

Surat Atas Tunjuk dan Surat Atas Pengganti (Hukum Dagang)

Perbedaan Surat atas Tunjuk (Aan Toonder) dan Surat atas Pengganti (Aan Order)

OBJEK-OBJEK HUKUM TATA NEGARA