Kewajiban Ingkar dan Hak Ingkar Notaris


KEWAJIBAN INGKAR DAN HAK INGKAR NOTARIS

Sekalipun istilah kewajiban ingkar (vershoningsplicht) dan hak ingkar (vershoningrescht) Notaris tidak tercantum dalam Undang-Undang Jabatan Notaris maupun peraturan perundang-undangan yang lain mengatur tentang jabatan notaris, namun dalam doktrin, demikian pula dalam dunia kenotarisan, istilah tersebut sudah sedemikian dikenal, dan dipahami maknanya.
Sebelum membahas lebih lanjut tentang kewajiban ingkar (vershoningsplicht) dan hak ingkar (vershoningrescht) Notaris, beberapa ketentuan yang terkait dengan kewajiban ingkar (vershoningsplicht) dan hak ingkar (vershoningrescht) Notaris tersebut, yaitu:
1.      Dalam Undang-Undang Jabatan Notaris
Pasal 4 ayat (2) :
     Sumpah/janji sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berbunyi sebagai berikut:
     “Saya bersumpah/berjanji:
     … bahwa saya akan merahasiakan isi akta dan keterangan yang diperoleh dalam pelaksanaan jabatan saya.
Pasal 16 ayat (1) huruf f:
     Dalam menjalankan jabatannya, Notaris berkewajiban:
     … f. merahasiakan segala sesuatu mengenai akta yang dibuatnya dan segala keterangan yang diperoleh guna pembuatan akta sesuai dengtan sumpah/janji jabatan, kecuali undang-undang menentukan lain;
Pasal 16 ayat (11)
     Notaris yang melanggar ketentuan sebagaimaan dimaksud pada ayat (1) huruf a sampai dengan huruf l dapat dikenal saksi berupa:
a.       peringatan tertulis;
b.      pemberhentian sementara;
c.       pemberhentian dengan hormat; atau
d.      pemberhentian dengan tidak hormat.
Pasal 54
Notaris hanya dapat memberikan, memperlihatkan, atau memberitahukan isi Akta, Grosse Akta, Salinan Akta atau Kutipan Akta, kepada orang yang berkepentingan langsung pada Akta, ahli waris, atau orang yang memperoleh hak, kecuali ditentukan lain oleh peraturan perundang-undangan

2.      Dalam KUH Perdata
(1)   Barang siapa dengan sengaja membuka rahasia yang wajib disimpannya karena jabatan atau pencariannya, baik yang sekarang maupun yang dahulu, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak sembilan ribu rupiah.
(2)   Jika kejahatan dilakukan terhadap seorang tertentu, maka perbuatan itu hanya dapat dituntut atas pengaduan orang itu.

3.      Dalam KUH Acara Pidana
(1)   Mereka yang karena pekerjaan, harkat martabat atau jabatannya diwajibkan menyimpan rahasia, dapat minta dibebaskan dari kewajiban untuk memberi keterangan sebagai saksi, yaitu tentang hal yang dipercayakan kepada mereka.
(2)   Hakim menentukan sah atau tidaknya segala alasan untuk permintaan tersebut.

4.      Dalam KUH Perdata dan HIR
Pasal 1909 dan Pasal 146
Semua orang yang cakap untuk menjadi saksi, wajib memberikan kesaksian di muka Hakim.
Namun dapatlah meminta dibebaskan dari kewajiban memberikan kesaksian:
1.      Siapa saja yang mempunyai pertalian keluarga sedarah dalam garis ke samping derajad kedua atau keluarga semenda dengan salah satu pihak;
2.      Siapa saja yang mempunyai pertalian darah dalam garis lurus tak terbatas dan dalam garis ke samping dalam derajad kedua dengan suami atau isteri salah satu pihak;
3.      Siapa saja yang karena kadudukannya, pekerjaannya atau jabatannya diwajibkan undang-undang untuk merahasiakan sesuatu, namun hanya mengenai hal-hal yang dipercayakan kepadanya karena kedudukan, pekerjaan dan jabatannya itu.

5.      Undang-Undang  Nomor 5 Tahun 1986, diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004, diubah kembali dengan Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009
Pasal 89
(1)   Orang yang dapat meminta pengunduran diri dari kewajiban untuk memberikan kesaksian ialah:
a.       Saudara laki-laki dan perempuan, ipar laki-laki dan perempuan salah satu pihak;
b.      Setiap orang yang karena martabat, pekerjaan atau jabatannya diwajibkan merahasiakan segala sesuatu yang berhubungan dengan martabat, pekerjaan atau jabatannya itu.
(2)   Ada atau tidak adanya dasar kewajiban untuk merahasiakan segala sesuatu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b, diserahkan kepada pertimbangan Hakim.

6.      Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007
Pasal 35 ayat (2)
Dalam hal pihak-pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terikat oleh kewajiban merahasiakan, untuk keperluan pemeriksaan, penagihan pajak, atau penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan, kewajiban merahasiakan tersebut ditiadakan, kecuali untuk bank, kewajiban merahasiakan ditiadakan atas permintaan tertulis dari Menteri Keuangan.
Dari ketentuan-ketentuan yang terurai diatas, sesungguhnya sangat sulit untuk memisahkan antara hak dengan kewajiban ingkar, sebab hak ingkar baru ada dan mempunyai arti setelah ada kewajibaningkar. Oleh karena itu, sesungguhnya yang utama bagi notaris atau siapapun yang karena pekerjaann, harkat martabat atau jabatannya diwajibkan menyimpan rahasia dibebani kewajiban ingkar.
Apabila kita berkenan memperhatikan secara cermat, ketentuan-ketentuan diatas dapat dibedakan menjadi dua golongan, yaitu yang mengatur kewajuban ingkar, dan yang mengatur hak ingkar. Yang mengatur kewajiban ingkar adalah yang tercantum dala, : Undang-Undang Jabatan Notaris dan dalam KUH Pidana, sedangkan ketentuan lainnya mengatur hak ingkar.
Untuk memperjelas tentang apa yang dimaksud dengan hak-hak ingkar dan kewajiban ingkar, makna dari istilah : hak, wewenang, kewajiban; dan larangan; sebagaimana terurai di bawah ini:
Hak terkandung pengertian sebagai sesuatu yang karena kodratnya dan/atau karena peraturan perundang-undangan dinikmati atau digunakan oleh seseorang. Inisiatif penggunaan suatu hak diserahkan kepada pemiliknya, dengan beberapa macam pembatasannya.
Suatu hak yang dilengkapi dengan kekuasaan yang sah menimbulkan suatu wewenang. Sedangkan kewajiban adalah sesuatu yang harus dilakukan, di mana mengenai apa yang harus dilakukan dibedakan menjadi dua, yaitu yang bersifat positif, dan yang bersifat negative. Adapun larangan merupakan sesuatu yang tidak boleh dilakukan.
Dengan pertimbangan yang terurai di atas, maka akan dibahas mengenai kewajiban ingkar. Salah satu makna yang terkandung dakam ketentuan peraturan perundang-undangan yang terurai diatas adalah adanya suatu pengakuan bahwa sesungguhnya Notaris tidak mempunyai kewajiban untuk berbicara, dan bahkan berkewajiban untuk tidak berbicara (lebih tepatnya memberikan informasi). Tentang hal ihwal yang terkait dengan pelaksanaan yang diperkenankan atau bahwan diperintahkan oleh undang-undang, misalnya kepada: orang yang berkepentingan langsung pada akta; Majelis Pengawas Daerah (Laporan Bulanan), Daftar Pusat Wasiat (Laporan Bulanan tentang daftar wasiat); Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (permohonan Pengesahan akta pendirian, persetujuan perubahan anggaran dasar, dan pemberitahuan perubahan data Perseroan Terbatas atau Yayasan).
Kewajiban ingkar merupakan salah satu isi sumpah atau janji yang harus diucapkan sebelum seseorang melaksanakan tugas jabatan Notaris, yang berupa kewajiban”merahasiakan segala sesuatu mengenai akta yang dibuatnya dan keterangan yang diperoleh dalam pelaksanaan jabatnnya, sebagaimana diatur dalam pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Jabatan Notaris.
Tatkala mulai melaksanakan tugas jabatan, seorang Notaris dibebani kewajiban yang sama dengan sumpah, jabatan (beroepseed) tersebut, sekaligus larangan, disertai ancaman sanksinya, manakala dilanggar, yang secara berturut-turut dalam pasal 16 ayat (1) huruf f, pasal 16 ayat (11), dan pasal 54 Undang-Undang Jabatan Notaris.
Berbeda dengan kewajiban ingkar yang tercantum dalam pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Jabatan Notaris, kewajiban ingkar yang diatur dalam pasal 17 Reglement op Het Notaris Ambt, S. 1860 Nomor 3 menyatakan sebagai berikut: “… bahwa saja akan merahasiakan serapat-rapatnya isi akta-akta, selaras dengan ketentuan peraturan-peraturan itu”. Terhadap isi sumpah Notaris ini timbul pertanyaan : “apakah dengan isi sumpah tersebut, Notaris tidak berkewajiban merahasiakan segala keterangan yang diperoleh guna pembuatan akta?”.
Sebagian besar para penulis pada waktu itu berpendapat bahwa sekalipun tidak dinyatakan secara tegas dalam sumpah jabatan, tidak berarti bahwa Notaris tidak berkewajiban merahasiakan informasi lain yang diperolehnya dalam rangka pembuatan akta.
Kewajiban ingkar (kewajiban merahasiakan) Notaris yang diatur dalam sekian banyak peraturan perundang-undangan memberikan petunjuk kepada kita, beta pentingnya rahasia jabatan yang harus dijaga notaris. Hal ini adalah wajar, sebab kewajiban ingkar dimaksudkan untuk melindungi kepentingan umum (masyarakat), yang ada di dalamnya terkandung kepentingan individu-individu yang memerlukan jasa Notaris, khususnya dalam pembuatan alat bukti tertulis, yang berupa akta autentik, oleh karena itu suda pada tempatnya apabila ketentuan kewajiban ingkar bersifat memaksa.
Selanjutnya dijelaskan tentang hak ingkar notaris. Hak ingkar notaris baru ada dan mempunyai arti setelah ada kewajiban ingkar. Dari ketentuan yang tercantum dalam : pasal 1909 KUH Perdata, pasal 146 HIR, pasal 170 KUHP, serta pasal 89 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 dapat kita ketahui bahwa hak ingkar merupakan suatu hak untuk dibebaskan dari kewajiban memberikan kesaksian (mengenai akta yang dibuat dan segala keterangan yang diperoleh dalam pelaksanaan jabatan).
Menurut penjelasan pasal 89 ayat (1) huruf b dan ayat (2) Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986, Pekerjaan atau jabatan yang menentukan adanya kewajiban menyimpan rahasia ditentukan oleh peraturan perundang-undangan. Jika tidak ada ketentuan perundang-undangan yang mengatur pekerjaan atau jabatan dimaksud, maka seperti yang ditentukan oleh ayat ini, hakim yang menentukan sah atau tidaknya alasan yang dikemukakan untuk mengundurkan diri yang berkaitan dengan martabat.
Dasar hukum pembebasan Notaris dari kewajiban memberikan kesaksian telah ada dan sangat kuat, yaitu Undang-Undang Jabatan Notaris yang mewajibkan Notaris untuk merahasiakan isi akta dan keterangan yang diperoleh dalam pelaksanaan jabatan, vide pasal 4 (2), pasal 16 ayat (1) huruf f, dan pasal 54 Undang-Undang jabatan Notaris. Selain itu terdapat ancaman sanksi pidana maupun sanksi administrasi bagi Notaris yang melanggar kewajiban untuk merahasiakan tersebut, vide pasal 322 KUHP dan pasal 16 ayat (11) Undang-undang Jabatan Notaris.
Dengan demikian Hakim hanya melakukan pencocokan alasan yang dipakai Notaris yang menggunakan haknya untuk dibebaskan dari kewajiban memberikan kesaksian dengan yang termuat dalam undang-undang.
Harus kita akui bahwa sebelum berlakunya Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, penggunaan hak ingkar sedemikian diabaikan, baik oleh para Notaris sendiri maupun oleh para penegak hukum, sehingga dengan seenaknya seorang Notaris yang diminta untuk memberikan kesaksian mengenai isi akta dan keterangan yang diperoleh dalam pelaksanaan jabatan, atau para penegak hukum sengaja mengabaikan, atau meluapkan kewajiban dan hak ingkar Notaris.
Dengan logika sederhana saja, sesungguhnya bdapat diketahui bahwa keberadaan pasal 66 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 adalah dimaksudkan sebagai upaya untuk menegakkan kembali pelaksanaan kewajiban ingkar dan hak ingkar Notaris yang telah tercederai dalam praktek sebelum adanya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris maupun setelah pasal 66 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 dinyatakan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945, sepanjang mengenai frasa “dengan persetujuan Majelis Pengawas Daerah”, sehingga tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 49/PPU-X/2012.
Secara sederhana sesungguhnya dapat kita pahami bahwa “persetujuan Majelis Pengawas Daerah” merupakan “kunci pembuka” atas kewajiban ingkar Notaris, disamping karena secara tegas dibebaskan undang-undang, dan adanya kepentingan yang lebih tinggi yang mengharuskan Notaris untuk memberikan informasi, sehingga legalitas atas pemberian keterangan Notaris kepada penegak hukum terjamin.
Untuk menjaga objektifitas dalam pelaksanaan tugasnya, anggota Majelis Kehormatan Notaris Wilayah yang berjumlah 7 (tujuh) orang diambil atau berasal dari unsur-unsur: birokrasi, organisasi Notaris, dan akademisi, secara berturut-turut berjumlah 2 (dua) orang, 3 (tiga) orang, dan 2 (dua) orang.
Ketentuan yang termuat pada ayat (3) dan ayat (4) Pasal 66 Undang-Undang Jabatan Notaris yang semula hanya terdiri dari 2 (dua) ayat diubah menjadi 4 (empat) ayat, dimana ayat 3 (tiga) dan ayat 4 (empat) diambil alih dari pasal 6 peraturan Menteri Nomor : M.03.HT.03.10 TAHUN 2007 Tentang Pengambilan Minuta Akta dan Pemanggilan Notaris, dengan perubahan mengenai jangka waktu yang semula 14 (empat belas) hari menjadi 30 (tiga puluh) hari.

Comments

Popular posts from this blog

Surat Atas Tunjuk dan Surat Atas Pengganti (Hukum Dagang)

Perbedaan Surat atas Tunjuk (Aan Toonder) dan Surat atas Pengganti (Aan Order)

OBJEK-OBJEK HUKUM TATA NEGARA