Analisa Kasus Etika dan Tanggung Jawab Profesi (Kasus 3)


            Majelis dengan jabatan kasat reskrim tindak pidana narkotika tugas utama mengkoordinir semua stafnya untuk melakukan penggeledahan,penyelidikan,dan penyidikan setiap perbuatan yang diduga mengedarkan,menyimpan,memakai,dan memperdagangkan narkotika. Suatu saat ada laporan dari anak buahnya akan terjadi transaksi narkotika melibatkan Bandar narkotika langsung diperintahkan untuk melakukan penyelidikan dan penangkapan. Setelah tertangkap segera menyampaikan kepada kornelis. Tiba-tiba saja kornelis mendapat telepon dari temannya,yang  tidak lain adalah kerabat daripada Bandar tersebut. Bandar tersebut bernama Nekat. Bandar tersebut meminta bantuan agar kasusnya bisa dibantu. Untuk pembicaraan lebih lanjut akan terus dihubungi melalui telepon.
Analisis dari etika dan profesi polisi!

ANALISIS KASUS
Manfaat etika sebenarnya memperkuat hati nurani yang baik dan benar dari diri pribadi, sehingga mereka sungguh-sungguh merasakan bahwa hidupnya, pengabdiannya, pelaksanaan tugasnya dan tingkah lakunya adalah berguna, bermanfaat bagi masyarakat, dan karenanya dia dihargai, diterima, bahkan ditempatkan secara terhormat didalam masyarakatnya. Etika kepolisian dapat mengangkat martabat kepolisian didalam masyarakat jika dilaksanakan dengan baik.Etika kepolisian saat ini memang belum mentradisi seperti etika lainnya, walaupun usianya lebih tua. Hal itu disebabkan karena sejak awal etika kepolisian itu terus berkembang dan berubah-ubah, sehingga isi dan bentuk profesi kepolisian itu sendiri belum seragam, antara Negara yang satu dengan yang lain. Sehingga dalam aplikasi, para pemikir dan pimpinan kepolisian sering melupakan beberapa ciri atau karakter pelaku polisi atau sering disebut budaya polisi (Police Cultura) yang dominant pengaruhnya terhadap kegagalan tindakannya. Kecendrunga itu antara lain:
1.    Orientasi tindakan sering mengutamakan pencapaian hasil optimal (efektifitas), sehingga sering mengabaikan efisiensi.
2.    Polisi diajar untuk selalu bersikap curiga, sehingga harus bertanya dengan detail. Sedangkan sikap curiga ini mengandung makna waspada dengan dasar pengertian etika.
3.    Disatu pihak polisi dinilai tidak adil, tidak jujur, tidak professional, di pihak lain banyak petunjuk bahwa polisi harus mendukung dan menunjukkan solidaritas pada lingkungan.
4.    Pragmatisme yang banyak mendatangkan keberhasilan, sering membuai polisi dan lalu melalaikan akar pragmatisme itu sendiri.

PENGEMBANGAN ETIKA KEPOLISIAN
Pengembangan Etika Kepolisian dapat dilakukan, ditumbuhkan, dibangun dan dipupuk agar dapat subur dan berkembang dengan baik adalah dengan cara:
ü  Membangun masyarakat
Mewujudkan masyarakat yang mampu berbuat etis tidaklah mudah, karena harus memperhitungkan segenap unsur pendukung eksistensinya yang berdimensi sangat luas. Dengan mengasumsikan bahwa terdapat banyak dimensi prilaku masyarakat yang baik dan mendukung etika kepolisian dengan baik, maka dari banyak dimensi itu yang paling signifikan bagi pelaksanaan tugas polisi adalah berupa dimensi hokum, kepatuhan mereka kepada hokum dan sikap menolak gangguan keamanan atau pelanggaran hukum.Dari hukum yang baik itulah, etika atau prilaku masyarakat yang terpuji dapat terbentuk, yang pada gilirannya akan mengembangkan aplikasi etika kepolisian.
Etika Kepolisian adalah norma tentang perilaku polisi untuk dijadikan pedoman dalam mewujudkan pelaksanaan tugas yang baik bagi penegak hukum, ketertiban umum dan keamanan masyarakat.Pembinaan kemampuan profesi anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam mengemban tugas pokoknya sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 tahun 2006 dilaksanakan melalui pembinaan etika profesi dan pengembangan pengetahuan serta pengalaman penugasan secara berjenjang, berlanjut dan terpadu.
Menurut pasal 4 BAB II Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2011 tentang Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia, Ruang lingkup pengaturan kode etik profesi polri mencakup :
1.    Etika kepribadian
2.    Etika kenegaraan
3.    Etika kelembagaan
4.    Etika dalam hubungan dengan masyarakat

Mengenai kasus diatas adalah tentang adanya transaksi narkotika dan akan dilakukan penyelidikan dan penyidikan. Namun,tiba-tiba kornelis menerima panggilan telepon ,yang ternyata ia dimintai bantuan oleh temannya yang tak lain merupakan kerabat daripada Bandar tersebut agar kasusnya bisa dibantu. Ada 2 kemungkinan dalam kasus ini,yaitu kornelis menolak untuk memberi bantuan atau kornelis menyanggupi untuk memberi bantuan.
1)      APABILA KORNELIS MENOLAK UNTUK MEMBERI BANTUAN
Apabila kornelis menolak untuk memberi bantuan terhadap tersangka transaksi narkotika tersebut,itu artinya bahwa ia mampu menjadikan etika dalam profesi polisi sebagai pedoman untuk menjalankan tugasnya. Dalam artian,ia telah mampu menjalankan kode etik kepolisian sebagaimana yang terdapat dalam Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2011 tentang Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia.
2)      APABILA KORNELIS MENYANGGUPI UNTUK MEMBERI BANTUAN
Maka ia telah melanggar :
1.      Pasal 10 Peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia tentang kode etik proesi kepolisian negara republik Indonesia No.Pol: 7 Tahun 2006 terutama ayat (1) huruf c, d, dan e Dalam etika dalam hubungan masyarakat anggota polri wajib: menghindarkan diri dari perbuatan tercela dan menjunjung tinggi nilai kejujuran, keadilan, dan kebenaran demi pelayanan dalam masyarakat.
2.      Pasal 10 Peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia tentang kode etik proesi kepolisian negara republik Indonesia No.Pol: 7 Tahun 2006 ayat (2) : Anggota polri wajib menghindarkan diri dari perbuatan tercela yang dapat merusak kehormatan profesi dan organisasi dan menjunjung tinggi nilai kejujuran, keadilan, dan kebenaran demi pelayanan kepada masyarakat sebagaimana yang dimaksud ayat (1) huruf c
3.      Pasal 13 ayat (1) dan (2) mengenai etika kelembagaan, Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2011 tentang Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia.
(1) Setiap Anggota Polri dilarang:
a.         melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan korupsi, kolusi, nepotisme, dan/atau gratifikasi;
b.         mengambil keputusan yang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan karena pengaruh keluarga, sesama anggota Polri, atau pihak ketiga;
c.         menyampaikan dan menyebarluaskan informasi yang tidak dapat dipertangungjawabkan kebenarannya tentang institusi Polri dan/atau pribadi Anggota Polri kepada pihak lain;
d.         menghindar dan/atau menolak perintah kedinasan dalam rangka pemeriksaan internal yang dilakukan oleh fungsi pengawasan terkait dengan laporan/pengaduan masyarakat;
e.         menyalahgunakan kewenangan dalam melaksanakan tugas kedinasan;
f.          mengeluarkan  tahanan  tanpa  perintah  tertulis  dari  penyidik,  atasan penyidik atau penuntut umum, atau hakim yang berwenang; dan
g.         melaksanakan tugas tanpa perintah kedinasan dari pejabat yang berwenang, kecuali ditentukan lain dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.

(2) Setiap Anggota Polri yang berkedudukan sebagai Atasan dilarang:
a.         memberi  perintah  yang  bertentangan  dengan  norma  hukum,  norma agama, dan norma kesusilaan; dan
b.         menggunakan kewenangannya secara tidak bertanggungjawab.
4.      Pasal 14 huruf c,d,f,dan k mengenai etika kelambagaan, Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2011 tentang Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia;
Setiap  Anggota Polri  dalam melaksanakan  tugas  penegakan  hukum sebagai penyelidik, penyidik pembantu, dan penyidik dilarang:
c. merekayasa  dan  memanipulasi  perkara  yang  menjadi  tanggung  jawabnya dalam rangka penegakan hukum;
d. merekayasa isi keterangan dalam berita acara pemeriksaan;
f. melakukan    penyidikan yang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan karena adanya campur tangan pihak lain;
k. melakukan hubungan atau pertemuan secara langsung atau tidak langsung di luar kepentingan dinas dengan pihak-pihak terkait dengan perkara yang sedang ditangani


Dari pelanggaran tersebut dapat dijerat atau diberikan sanksi sebagaimana yang tercantum dalam Bagian Ketiga mengenai Sanksi Pelanggaran KEPP, Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2011 tentang Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia;
Pasal 20
(1)        Anggota Polri yang diduga melakukan Pelanggaran terhadap kewajiban dan/atau larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 sampai dengan Pasal 16 dinyatakan sebagai Terduga Pelanggar.
(2)        Terduga Pelanggar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinyatakan sebagai Pelanggar setelah dilakukan pemeriksaan dan mendapatkan putusan melalui Sidang KKEP.

Pasal 21
(1)        Anggota Polri yang dinyatakan sebagai Pelanggar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (2) dikenakan sanksi Pelanggaran KEPP berupa:
a.         perilaku Pelanggar dinyatakan sebagai perbuatan tercela;
b.         kewajiban Pelanggar untuk meminta maaf secara lisan dihadapan Sidang KKEP dan/atau secara tertulis kepada pimpinan Polri dan pihak yang dirugikan;
c.         kewajiban Pelanggar untuk mengikuti pembinaan mental kepribadian, kejiwaan, keagamaan  dan  pengetahuan  profesi,  sekurang-kurangnya 1 (satu) minggu dan paling lama 1 (satu) bulan;
d.         dipindahtugaskan ke jabatan berbeda yang bersifat Demosi sekurang- kurangnya 1 (satu) tahun;
e.         dipindahtugaskan ke fungsi berbeda yang bersifat Demosi sekurang- kurangnya 1 (satu) tahun;
f.          dipindahtugaskan ke wilayah berbeda yang bersifat Demosi sekurang- kurangnya 1 (satu) tahun; dan/atau
g.         PTDH sebagai anggota Polri.
(2)        Sanksi Pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d, huruf e, huruf f, dan huruf g merupakan sanksi administratif berupa rekomendasi.
(3)        Sanksi administratif berupa rekomendasi PTDH sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf g dikenakan kepada Pelanggar KEPP yang melakukan Pelanggaran meliputi:
a.         dipidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang  telah mempunyai kekuatan hukum tetap dan menurut pertimbangan pejabat yang berwenang tidak dapat dipertahankan untuk tetap berada dalam dinas Polri;
b.         diketahui kemudian memberikan keterangan palsu dan/atau tidak benar pada saat mendaftarkan diri sebagai calon anggota Polri;
c.         melakukan usaha atau perbuatan yang nyata-nyata bertujuan mengubah Pancasila, terlibat dalam gerakan, atau melakukan perbuatan yang menentang Negara dan/atau Pemerintah Republik Indonesia;
d.         melanggar sumpah/janji anggota Polri, sumpah/janji jabatan dan/atau KEPP;
e.         meninggalkan tugasnya secara tidak sah dalam waktu lebih dari 30 (tiga puluh) hari kerja secara berturut-turut;
f.          melakukan perbuatan dan berperilaku yang dapat merugikan dinas kepolisian, antara lain berupa:
1.         kelalaian dalam melaksanakan tugas dan kewajiban, dengan sengaja dan berulang-ulang dan tidak menaati perintah atasan, penganiayaan terhadap sesama anggota Polri, penggunaan kekuasaan di luar batas, sewenang-wenang, atau secara salah, sehingga dinas atau perseorangan menderita kerugian;
2.         perbuatan yang berulang-ulang dan bertentangan dengan kesusilaan yang dilakukan di dalam atau di luar dinas; dan
3.         kelakuan atau perkataan dimuka khalayak ramai atau berupa tulisan yang melanggar disiplin.
g.         melakukan bunuh diri dengan maksud menghindari penyidikan dan/atau tuntutan hukum atau meninggal dunia sebagai akibat tindak pidana yang dilakukannya;
h.         menjadi anggota dan/atau pengurus partai politik yang diketahui kemudian telah menduduki jabatan atau menjadi anggota partai politik dan setelah diperingatkan/ditegur masih tetap mempertahankan statusnya itu; dan
i.          dijatuhi hukuman disiplin lebih dari 3 (tiga) kali dan dianggap tidak patut lagi dipertahankan statusnya sebagai anggota Polri.
(4)        Sanksi administratif berupa rekomendasi PTDH sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf g dapat dikenakan terhadap Terduga Pelanggar yang melakukan Pelanggaran sebagaimana dimaksud pasal 6 sampai dengan pasal 16 peraturan ini.

Pasal 22
(1)        Sanksi administratif berupa rekomendasi PTDH dikenakan melalui Sidang KKEP terhadap:
a.         pelanggar yang dengan sengaja melakukan tindak pidana dengan ancaman hukuman pidana penjara 4 (empat) tahun atau lebih dan telah diputus oleh pengadilan yang berkekuatan hukum tetap; dan
b.         pelanggar yang melakukan pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam pasal 21 ayat (3) huruf e, huruf g, huruf h, dan huruf i.
(2) Sanksi administratif berupa rekomendasi PTDH sebagaimana dimaksud dalam pasal 21 ayat (3) huruf a sampai dengan huruf d, dan huruf f diputuskan melalui Sidang KKEP setelah terlebih dahulu dibuktikan pelanggaran pidananya melalui proses peradilan umum sampai dengan putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap.


Pasal 23
(1)        Dalam hal terjadi perdamaian (dading) antara anggota Polri yang melakukan tindak pidana karena kelalaiannya (delik culpa) dan/atau delik aduan dengan korban/pelapor/pengadu, yang dikuatkan dengan  surat  pernyataan perdamaian, Sidang KKEP tetap harus diproses guna menjamin kepastian hukum.
(2)        Surat pernyataan perdamaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dijadikan pertimbangan KKEP dalam penjatuhan putusan.

Pasal 24
(1)        Sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) huruf a diputuskan dan disampaikan kepada Pelanggar di hadapan Sidang KKEP.
(2)        Sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) huruf b disampaikan Pelanggar di hadapan Sidang KKEP dan/atau melalui surat.
(3)        Sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) huruf c dilaksanakan oleh pengemban fungsi SDM Polri bidang perawatan personel, panitia penguji kesehatan personel polri, fungsi propam polri bidang rehabilitasi personel, atau Lemdikpol, dengan biaya dari satker penyelenggara.
(4)        Sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) huruf d, huruf e, dan huruf f dilaksanakan oleh Pejabat Polri yang berwenang setelah memperoleh keputusan dari Atasan Ankum.
(5)        Sanksi berupa rekomendasi PTDH sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) huruf g diajukan kepada Atasan Ankum dan dilaksanakan oleh fungsi SDM Polri setelah memperoleh keputusan dari Atasan Ankum.

Pasal 25
(1)        Sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) huruf a, huruf b, dan huruf c bersifat mengikat sejak ditetapkan dalam Sidang KKEP.
(2)        Sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) huruf d, huruf e, huruf f, dan huruf g bersifat mengikat sejak keputusan ditetapkan oleh pejabat Polri yang berwenang.
(3)        Pelanggar yang dikenakan sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat
(1)        huruf d, huruf e, huruf f, dan huruf g, berhak mengajukan banding kepada Komisi Banding melalui atasan Ankum sesuai dengan tingkatannya paling lambat 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak diterimanya surat keputusan Sidang KKEP.

Pasal 26
(1)        Terhadap Terduga Pelanggar KEPP yang diancam dengan sanksi administratif berupa rekomendasi putusan PTDH diberikan kesempatan untuk mengajukan pengunduran diri dari dinas Polri atas dasar pertimbangan tertentu dari Atasan Ankum sebelum pelaksanaan Sidang KKEP.

(2)        Pertimbangan tertentu dari Atasan Ankum sebagaimana dimaksud pada ayat
(1)        didasarkan pada Terduga Pelanggar:
a.         memiliki masa dinas paling sedikit 20 (dua puluh) tahun;
b.         memiliki prestasi, kinerja yang baik, dan berjasa kepada Polri sebelum melakukan Pelanggaran; dan
c.         melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun.

Pasal 27
(1)        Dalam hal terjadi pelanggaran kumulatif antara pelanggaran disiplin dan KEPP, penegakannya dilakukan melalui mekanisme sidang disiplin atau Sidang KKEP berdasarkan pertimbangan Atasan Ankum dari terperiksa/Terduga Pelanggar - serta pendapat dan saran hukum dari pengemban fungsi hukum.
(2)        Terhadap pelanggaran yang telah diputus melalui mekanisme sidang disiplin tidak dapat dikenakan Sidang KKEP atau yang telah diputus dalam Sidang KKEP tidak dapat dikenakan sidang disiplin.




Pasal 28
(1)        Penjatuhan sanksi sebagaimana dimaksud dalam pasal 21 ayat (1) bersifat kumulatif dan/atau alternatif sesuai dengan penilaian dan pertimbangan Sidang KKEP.
(2)        Penjatuhan sanksi KEPP tidak menghapuskan tuntutan pidana dan/atau perdata.
(3)        Penjatuhan sanksi KEPP gugur karena:
a.         Pelanggar meninggal dunia; atau
b.         Pelanggar dinyatakan sakit jiwa oleh panitia penguji kesehatan personel Polri.
(4)        Penjatuhan sanksi KEPP terhadap Pelanggar dapat digugurkan atau dibatalkan atas pertimbangan Sidang KKEP.
(5)        Pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) berupa penilaian bahwa perbuatan pelanggar:
a.         benar-benar dilakukan untuk kepentingan tugas kepolisian;
b.         selaras dengan kewajiban hukum yang mengharuskan tindakan tersebut dilakukan;
c.         patut, masuk akal, dan termasuk dalam lingkungan jabatannya;
d.         layak berdasarkan keadaan yang memaksa; dan/atau
e.         menghormati hak asasi manusia.

Pasal 29
(1)        Dalam hal Sidang KKEP tidak menemukan bukti-bukti adanya Pelanggaran KEPP, Terduga Pelanggar diputus bebas.
(2)        Terduga Pelanggar yang diputus bebas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib direhabilitasi dan dikembalikan hak-haknya.

Apabila menerima suap dari pelaku transaksi narkotika tersebut,maka oleh BNN,akan dijerat dengan Pasal 137 huruf b Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 dan Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU).
            Adapun Yurisprudensi dalam beberapa perkara Pidana Khusus sehubungan dengan pemeriksaan perkara atas dugaan pelanggaran terhadap Undang-Undang Narkotika telah menjadi suatu ketentuan hukum tetap saksi-saksi memberatkan yang berasal dari hanya pihak Kepolisian saja tidak dapat diterima kesaksiannya. Bahkan Mahkamah Agung dalam putusannya pada perkara Nomor : 1531K/Pid.Sus/2010 dan Putusan Nomor : 2591 K/Pid.Sus/2010 secara berani menegaskan cara-cara penyelidikan dan penyidikan seperti hal ini sarat dengan rekayasa dan pemerasan.
Adapun alasan-alasan yang dijelaskan Mahkamah Agung dalam putusannya tersebut sebagai berikut :

·         Bahwa pihak kepolisian dalam pemeriksaan perkara mempunyai kepentingan terhadap perkara agar perkara yang ditanganinya berhasil di pengadilan, sehingga keterangannya pasti memberatkan atau menyudutkan, bisa merekayasa keterangan. Padahal yang dibutuhkan sebagai saksi adalah orang yang benar-benar memberikan keterangan secara bebas, netral, objektif dan jujur (vide Penjelasan Pasal 185 KUHAP)
·         Bahwa secara formal kehadiran polisi di persidangan pada dasarnya digunakan pada saat member keterangan yang sifatnya Verbalisan
·         Bahwa oleh karena itu, mengapa pembuat undang-undang tidak membenarkan cara-cara penanganan seperti itu, karena pembuat undang-undang sudah memikirkan dan mengantisipasi, bahwa pada suatu ketika akan terjadi praktek rekayasa alat bukti/barang bukti untuk menjadikan orang menjadi tersangka. Apabila hal ini dibenarkan maka mudahnya orang jadi tersangka, sehingga polisi dapat memanfaatkannya sebagai alat pemerasan dan sebagainya.


Ada sebuah doktrin yang menyatakan:
“Ragu-ragu mundur”
(Jika ragu-ragu ,lebih baik tidak bertugas)
Lebih baik pulang tanpa nyawa,darimana kalah pulang beraga.


Comments

Popular posts from this blog

Surat Atas Tunjuk dan Surat Atas Pengganti (Hukum Dagang)

Perbedaan Surat atas Tunjuk (Aan Toonder) dan Surat atas Pengganti (Aan Order)

OBJEK-OBJEK HUKUM TATA NEGARA