Resume Peradilan Adat Sebelum Kemerdekaan
Peradilan Adat Sebelum Kemerdekaan
1.
Jaman
Pra-Kolonial
Keberadaan peradilan adat sebagai mekanisme
penyelesaian perkara dikalangan rakyat berdasarkan hukum adat diperkirakan
sudah berlangsung pada era sebelum Nusantara mengenal sistem kerajaan. Hal ini terlihat dari adanya
kelompok-kelompok yang mendiami Nusantara, maka dimana ada masyarakat, disitu
pasti ada mekanisme-mekanisme penyelesaian perkara.
Pada masa sebelum dikenal sistem kerajaan, di wilayah
Nusantara sudah ada desa. Desa merupakan komunitas yang menyelenggarakan
organisasi sosial, termasuk penyelesaian perkara, berupa pelanggaran ataupun
sengketa. Ketika komunitas ini berkenalan dengan sistem-sistem yang dipengaruhi
oleh ajaran agama , maka ia akan berinteraksi dengan sistem pengaturan lain
yang di bawa masing-masing agama tersebut. Interaksi ini menimbulkan pembauran
yang dapat mengubah struktur pemerintahan adat termasuk penggunaan nama.
Setelah jaman kerajaan-kerajaan besar berkuasa di
wilayah Nusantara, diperkirakan praktek peradilan adat tetap berlangsung.
Peradilan Raja hanya berlaku di pusat-pusat pemerintahan kerajaan, sedangkan
dikalangan rakyat yang jauh dari pusat pemerintahan tetap berlaku peradilan
rakyat yang disebut peradilan terpadu. Peradilan terpadu ini berlangsung
dikalangan rakyat, baik pada kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat yang
bertatanan geneologis maupun teritorial. Pada masa Kerajaan Mataram abad ke-17,
di Jawa peradilan padu berlaku di daerah-daerah pedesaan, di bawah pimpinan
kepala desa (Lurah) selaku kepala Adat, di bantu oleh para pemuka adat, pemuka
Islam dan diawasi oleh pejabat kerajaan (Jaksa), mewakili Sutan, perkara yang
diadili adalah perkara perdata dan pidana.
2.
Jaman
VOC
Tahun
1619 merupakan awal kekuasaan bangsa Eropa di kepulauan Nusantara, ditandai
dengan pendudukan atas Jakarta oleh VOC dibawah pimpinan G.G. Jan Pieterszon
Coen.VOC menerapkan hukum Belanda pada wilayah-wilayah kekuasaannya. VOC tidak
mengakui sah hukum yang lain, kecuali hukumnya sendiri. Mengenai badan-badan
peradilan, di daerah Jakarta yang diduduki VOC, peradilan yang berlaku bagi
bangsa Indonesia dan bangsa Belanda tidak ada perbedaan, keduanya berada dalam
kekuasaan hukum badan pengadilan Belanda yang bernama Raad van Justitie dan Schepenbank. Dengan demikian, dilenyapkan
pengadilan asli yang dilaksanakan oleh kepala-kepala rakyat. Namun, dalam
prakteknya hukum Belanda hanya dapat dijalankan di Kota Jakarta, di daerah
pedalaman penduduk masih tetap melaksanakan peradilan menurut hukum adat.
3.
Jaman
Daendles
Tahun 1799 VOC dibubarkan. Untuk
melaksanakan pemerintahan di Indonesia, kekuasaan dilaksanakan oleh Dewan Asia
(Aziatische Raad) yang mulai berlaku
sejak 1 januari 1800 yang pada tanggal 27 September 1985 mengeluarkan Piagam (Charter). Dalam Pasal 86 Piagam Dewan
Asia dinyatakan bahwa susunan pengadilan untuk orang Indonesia akan tetap
menurut hukum adat mereka, sedangkan pemerintah Hindia akan menjaga dengan
alat-alatnya yang pantas, agar di daerah yang berlangsung dikuasasi pemerintah
sedapat-dapatnya perbuatan sewenang-wenang yang termasuk dengan diam-diam yang
bertentangan dengan hukum akan tersapu.
Pada masa pemerintahan Herman Wiliam
Daendels menajdi Gubernur Hindia Timur, ia dipengaruhi oleh isi Piagam Dewan
Asia dalam membentuk pengadilan Scepen
untuk Jakarta dan Periangan yang mengadili perkara bangsa Indonesia menggunakan
hukum Eropa. Dibentuk pula “pengadilan bergerah” yang disebut Ambulant Landrgerecht, suatu pengadilan
yang menggunakan hukum adat dalam melaksanakan pengadilannya jika keadaannya
memungkinkan. Susunan pengadilan ini terdiri dari landdrost selaku ketua dengan anggota-anggota Bupati setempat,
Penghulu Agama (Hoooge Priester)
setempat dan dua pertugas yang berpangkat opziener.
Hukum adat dengan kekuarangannya tetap diberlakukan, sepanjang ketentuannya
tidak bertentangan dengan asas-asas keadilan dan kepatutan umum.
4.
Jaman
Raffles
Tanggal 4 Agustus tentara Inggris di bawah
pimpinan Lord Minto mendarat di Pulau Jawa menandai kekuasaan Inggris. Kemudian
ia menganggkat Thomas Stanford Raffles pada tanggal 11 September 1811, yang
kemudian diangkat menjadi Letnan Gubernur. Lord Minto menyatakan bahwa
pemerintahan Inggris harus dilaksanakan
di Jawa dengan politik “bermurah hati dan sabar terhadap rakyat”, karenanya
susunannya akan diperbaiki. Untuk perbaikan tersebut Raffles membentuk tim
peneliti yang dipimpin Kolonel Mackenzie, kemudian Raffles mengeluarkan
proklamansi yang menyatakan memperluas kekuasaan magistrate bagi kepala-kepala
masyarakat Indonesia.
Susunan pengadilan pada jaman ini:
1.
Divission’s
Court
Peradilan
dengan anggota terdiri dari Demang
(Wedana) sebagai ketua dan beberapa
pengawai. Peradilan ini mengadili perkara pelanggaran kecil-kecil atau perkara
perdata yang bernilai tidak lebih dari 20 rupy.
2.
Bopati’s
Court
Peradilan
yang dipimpin oleh Bupati sebagai
ketua dengan anggota-anggota meliputi: Penghulu
dan Jaksa, dan beberapa pegawai
Indonesia. Keputusan pengadilan ditetapkan berdasarkan pertimbangan Penghulu dan Jaksa. Pengadilan ini hanya berwenang mengadili perkara perdata.
3.
Resident’s
Court
Peradilan
yang anggotanya terdiri dari Residen,
Bupati, Jaksa dan Penghulu Kepala. Perdilan ini mengadili
perkara pidana yang diluar kekuasaan Divission’s
Court dan tidak dituntut hukuman mati, begitu pula mengadiliri perkara
perdata yang nilainya lebih dari 50 rupy, atau juga memeriksa perkara banding
dari Bopati’s Court.
4.
Court’s
Circuit
Suatu
peradilan beralih-alih yang hanya dilakukan oleh seorang hakim dengan beberapa Jury yang terdiri dari orang-orang Eropa
dan orang Indonesia, mengadili perkara pidana yang dituntut dengan hukuman
mati. Hukum yang digunakan untuk mempertimbangkan perkara memperhatikan hukum
adat menurut pertimbangan Penghulu dan
Jaksa.
5.
Masa
Pemerintahan Hindia Belanda
Setelah perang Inggris Belanda berakhir
dengan Conventie London, 13 Agustus
1814, semua jajahan Belanda diserahkan kembali oleh Inggris kepada Belanda.
Untuk menerima daerahh jajahan tersebut, Belanda menunjuk tiga Komisaris
Jendral, yaitu C. Th. Elout, GAP. PH Baron van Der n Capellen dan A.A. Buykes.
Komisaris Jendral ini bekerja berdasarkan R.R 1815, yang merupakan peraturan
dasar bagi kebijaksanaan pemerintah dalam urusan pemerintahan, peradilan,
kebudayaan dan perdagangan di daerah pendudukan di Asia.
Untuk melaksanakan peradilan di bagi
menjadi peradilan di kota-kota besar dan peradilan di luar kota-kota besar.
Peradilan di kota-kota besar:
(a)
Raad
van Justitoe (RvJ) yang mengadili perkara-perkara
dengan hukum Eropa
(b) Hooggerchtshof yang
bertugas sebagai pengawas segala urusan kehakiman, juga sebagai Hakim banding
dan Hakim kasasi.
Peradilan
diluar kota-kota besar:
(a) Districtgeregten (peradilan
distrik) di kewedanan yang dipimpin oleh kepala distrik (Wedana, Demang)
dibantu oleh beberapa mantri dan para pemuka masyarakat adat
(b) Regensharpsraden (Peradilan
Kabupaten) yang dipimpin oleh Bupati Selaku Ketua atau Patih selaku Ketua
Pengganti, dengan anggota Jaksa, Penghulu, dan beberapa kepala masyarakat
setempat
(c) Landraad (Peradilan
Keresidenan), dilaksanakan dan dipimpin oleh Residen sebagai ketua atau Asisten
Ressiden sebagai Wakil Ketua dengan anggota Bupati, Jaksa dan Penghulu
(d) Ommegaande Rechtbanken (Peradilan
Bergerak) yang dipimpin oleh pejabat khusus yang diangkat untuk itu dengan
anggota terdiri dari empat orang kepala masyarakat adat, dibantu seorang
sekretaris.
Pada tanggal 30 April 1847, di Hindia Belanda
diberlakukan kitab Undang-Undang Perdata dan Kitab Undang-Undang Hukum Dagang
melalui 1847 No. 23. Dengan diundang-undangkan dua peraturan perundang-undangan
tersebut, maka kerja kodifikasi untuk mengukuhnya tegaknya supremasi hukum di
tanah jajahan selesai. Namun ada permasalahan lain yaitu bihwal unifikasi yang
meliputi tidak adanya hukum substantif akan tetapi juga formal produser berikut
tata peradilannya. Disamping mencita-citakan unifikasi hukum substantif, kaum
liberal juga menghendaki unifikasi sistem peradilan di Hindia Belanda.
Kodifikasi diyakini akan memberikan kepastian hak (berdasarkan hukum) kepada
individu-individu anggota masyarakat, sedangkan unifikasi diyakini akan
mematerialisasi ide-ide yang memperlakukan seluruh negeri dengan sikap dan
tindakan perlakuan sama, tidak diskriminatif dan memandang setiap orang
berkedudukan sama dihadapan hukum.
Cita-cita unifikasi hukum ternyata sangat sulit direalisasikan akibat
telah berakarnya dualisme hukum di Hindia Belanda selama bertahun-tahun.
Peraturan-peraturan hasil kodifikasi diatas tidak termasuk mengenai hukum adat.
Untuk kebutuhan penduduk pribumi berlaku apa yang ditentukan dalam Pasal 11 Algemene Bepalingen van Wetgeving voor
Indonesia, biasa disebut Algemene
Bepalingen disebut A.B. yaitu ketentuan umum mengenai Perundang-Undangan di
Indonesia.
Dalam perkembangan selanjutnya, akibat perubahan
sistem pemerintahan yang berlaku di negara Belanda dari monarki konstitusional
menjadi monarki parlementer terjadi perubahan dalam tata hukum di Hindia
Belanda, dimana kekuasaan raja Belanda terhadap daerah jajahaan di Indonesia
berkurang. Peraturan-peraturan yang menata daerah jajahan tidak semata-mata
ditetapkan raja dengan Koninklijk
Belsuit, namun harus melalui mekanisme perundang-undangan di tingkat
parlemen.
Peraturan dasar yang dibuat bersama oleh raja dan
parlemen untuk mengatur pemerintahan negara jajahan adalah Regeling Reglement (RR) yang diundangkan Tahun 1854. RR ini
berbentuk undang-undang dan diundangkan dengan Staatblad No. 2 Tahun 1855. Selanjutnya RR tersebut Undang-Undang
Dasar Pemerintahan jajahan Belanda. Berkaitan dengan perubahan tata hukum
Hundia Belanda tersebut, subtansi Pasal 11 AB tersebut kemudian dimasukkan ke
dalam pasal 75 RR 1854.
RR 1920 berlaku sampai tahun 1925, yaitu sampai pada
waktu berlakunya Indische Staatregeling.
Perubahan ini diakibatkan oleh perubahan pemerintahan Hindia Belanda pada Tahun
1922 yang mengakibatkan perbuahan Grond
Wet negara Belanda pada Tahun 1922 yang mengakibatkan pweubahan pula pada
pemerintahan Hindia Belanda. Dengan perubahan ini, redaksi Pasal 75 RR (baru)
dimasukkan menjadi Pasal 131 IS.
Perubahan yang dibawa IS terhadap terhadap Redaksi Pasal 75 RR tidak banyak,
hanya mengganti kata “verordening umum” diganti dengan kata “ordonansi”
sehingga tidak mengubah pengakuan terhadap hukum adat dan anutan politik dualisme
hukum adri penguasa Hindia Belanda. Sistem hukum yang dianut disini menyebabkan
sistem peradilannya juga bersifat dualistis.
Bersamaan
dengan berlakunya AB yang menganut politik dualisme hukum, dualisme tata
peradilan juga dimantapkan tahun 1847 dengan peraturan yang dikenal dengan nama
Reglement op De Regterlijke Organisatie
en Het Beleid Der Justitie, yang sering disingkat RO. Dalam RO ditetapkan
sejumlah lembaga peradilan untuk mengadili perkara-perkara hukum yang terjadi
diantara negara-negara Eropa atau yang dipersamakan dengannya, dan sejumlah
lembaga peradilan lagi untuk mengadili perkara-perkara hukum yang terjadi di
antara orang-orang pribumi atau yang dipersamakan dengannya. Peradilan untuk
orang-orang Eropa ini disebut gouvernements-rechtspraak
(peradilan gubernemen), sedangkan peradilan untuk penduduk golongan pribumi
disebut inheemsche rechtpraak (peradilan
asli, peradilan pribumi, atau peradilan adat).
RO
yang mendasari sahnya Districtsgerechgt,
Regentschapsgererecht, Landraad, Rechtbank van Ommegang, Rechtsspraak ter
Politierol, Residentiegerecht, Raad van Justitie dan Hooggerechtshof. Badan pengadilan yang pertama adalag badan
pengadilan yang menurut yurisdiksinya hanya kompeten mengadili orang-orang
pribumi, sedangkan tiga yang disebutkan diakhir adalah badan-badan peradilan
yang menurut yurisdiksinya hanya berkompeten memeriksa mengadili
perkara-perkara untuk penduduk golongan Eropa, dengan catatan Raad van Justitie bertindak sebagai
pengadilan sedangkan Hooggerechtshof
juga bertindak sebagai pengadilan tingkat kasasi untuk perkara perkara orang
pribumi yang diadili Landraad.
Disamping
delapan badan pengadilan diatas , masih terdapat beberapa badan peradilan lain
antara lain Gouvernements-rechtspraak (Peradilan
Gubernemen), Inheemsche rechtpraak (Peradilan
Pribumi atau Peradilan Adat), Zelfbestuur
rechtspraak (Peradilan Swapraja), Godsdienstige
Rechtspraak (Peradilan Agama), dan Dorpjustitie
(Peradilan Desa).
Dalam
perkembangannya, pemerintah Hindia Belanda memberikan landasan hukum yang
berbeda-beda dengan mengeluarkan berbagai macam staatblad yang berisi pengakuan pada keberadaan peradilan adat di
berbagai temmpat di Hindia Belanda. Perkembangan yang sangat signifikanterhadap
pengakuan peradilan bagi golongan penduduk pribumi terjadi tahun 1935, ketika
ke dalam RO disisipkan Pasal 3a melalui Stb1935 Nomor 102. Dengan disisipkannya
pasal ini, maka kedudukan peradilan desa yang sejak dulu telah hidup dan di
praktekkan dalam kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat diakui oleh Pemerintah
Hindia Belanda. Berdasarkan ini, selama pemerintahan Hindia Belanda diakui dua
bentuk peradilan bagi orang pribumi, yaitu peradilan adat dan peradilan desa
yang tidak memiliki perbedaan prinsipil.
6.
Masa
Pendudukan Jepang
Setelah kekalahan Belanda oleh Jepang pada
perang singkat di awal Tahun 1942, sejak itu pemerintahan Hindia Belanda di
Indonesia di gantikan oleh Pemerintah Pendudukan Jepang. Untuk dapat menjamin
kebutuhan masyarakat maka, pemerintah Jepang mengeluarkan peraturan-peraturan
yang diperlukan antara lain melalui Undang-Undang Bala Tentara Jepang (Osamu Serai) Nomor 40 Tahun 1942,
tertanggal 5 Oktober 1942 dikeluarkan jenis-jenis peraturan baru untuk
menjalankan pemerintahan, yaitu Osamu Serei
dan Osamu Kanrei. Disamping
peraturan pusat tersebut, dalam UU No 40 Tahun 1942 juga disebutkan
peraturan-peraturan daerah, yaitu syuurei
, koorei, kooti-zimukyokurei dan tokubeturei.
Disamping mengeluarkan peraturan peraturan
yang dianggap perlu, Pemerintah Pendudukan Jepang tetap mempertahankan
peraturan-peraturan yang sudah ada sepanjang tidak bertentangan dengan
kepentingannya. Berdasarkan UU Bala Tentara Jepang, dimaklumatkan bahwa “semua
badan-badan pemerintahan dan kekuasaannya, hukum dan undang-undang dari
pemerintahan yang dahulu, tetap diakui sah bagi sementara waktu, asal saja
tidak bertentangan dengan aturan pemerintahan militer”.
Kebijakan penting yang diambil oleh
Pemerintah Pendudukan Jepang adalah penghapusan dualisme dalam tata peradilan.
Dengan begitu hanya ada satu sistem peradilan untuk semua golongann penduduk,
kecuali untuk orang-orang Jepang.
Setelah pemerintahyan Hindia Belanda menyerah pada
tanggal 7 Maret 1942 dimulai diadakan penertiban oleh pemerintah pendudukan
Jepang dengan mengundangkan UU No 1 Tahun 1942 yang menjadi dasar dari
pemerintahan dan peradilan jaman Jepang. Kemudian pada tanggal 29 April 1942 di
Jawa dan Madura diadakan Pengadilan Pemerintah Balatentara (Gusei Hooin) berdasarkan Undang-undang
No 14 Tahun 1942 kemudian diubah dengan Undnag-undang No. 34 Tahun 1942 (Osamu Serei No. 3). Undang-Unndnag ini
merupakan peraturan dasar tentang organisasi kehakiman di Jawa dan Madura dalam
lingkungan peradilan Sipil. Dengan berlakunya undang-undang ini, dilakukan
penyederhanaan sistem peradilan dimana perbedaan antara peradilan gubernemen
dan peradilan utnuk orang pribumi dihapuskan, demikian pulapembedaan antara
hakim untuk pelbagai golongan rakyat, dimana hakim untuk golongan Eropa
dihapuskan, sedangkan hakim untuk golongan bumiputra kekuasaannya diperluas
meliputi semua golongan. Sesuai asas itu, maka dihapuskan beberapa pengadilan
termasuk pengadilan tingkat pertama yang dilakukan oleh Raad van Justitie dan Hoogerechtschof.
Berdasarkan
UU No. 14 Tahun 1942, semua badan-badan pengadilan dari pemerintah Hindia
Benlanda kecuali Residentiegerecht yang
dihapuskan diganti namanya. Landraad menjadi
Tihoo Hooin Pengadilan Negeri), Landgerecht menjadi Keizai Hooin (Hakim Kepolisian), Regenschapsgerecht menjadi Ken
Hooin (Pengadilan Kabupaten), Districtsgerecht
menjadi Gun Hooin Ipengadilan
Kewedanan), Hofloor Islamietischezaken menjadi Kaikyoo Kootoo Hooin (Mahkamah Islam Tinggi). Mengenai kedudukan
peradilan swapraja dan peradilan adat, tidak banyak informasi yang
diperoleh, Namun pada prakteknya pada
jaman pendudukan Jepang praktek peradilan adat tetap berlangsung Kendati tidak
disebutkan dalam Undang-Undang No. 14 dan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 1942,
tetapi di Sumatra peradilan swapraja dan peradilan adat tegas dinyatakan tetap
berlaku dan dipertahankan berdasarkan Pasal 1 UU tentang Peraturan Hakim dan
Mahkamah (Shihosojiki-rei) yang
dimuat dalam Tomi-seirei-otsu No. 40
tanggal 1 Desember 1943 yang dimulai berlaku tanggal 1 Januari 1944.
Comments
Post a Comment