Sejarah Ketatanegaraan berdasarkan periode tahun 1945 – 1949, 1950 – 1959 dan 1959 – 1999


BAB I
PENDAHULUAN


1.1 Latar Belakang
Indonesia adalah sebuah negara yang diperoleh melalui perjuangan bangsanya dalam merebut kemerdekaan melawan penjajah. Hal ini mengakibatkan pasang surut ketatanegaraan di Indonesia, setelah kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945 telah mengalami beberapa kali perubahan. Kedudukannya sebagai negara baru mengakibatkan sistem ketatanegaraan yang belum stabil karena sebelumnya belum pernah diterapkan langsung, sehingga terjadi pergantian sistem ketatanegaraan secara berulang kali. Ketatanegaraan Indonesia pasca kemerdekaan yang pernah berlaku di Indonesia antara lain: Periode Revolusi Kemerdekaan (18 Agustus 1945-27 Desember 1949), Periode Berlakunya Konstitusi RIS 1949 (27 Desember 1949-17 Agustus 1950), Periode UUDS 1950 (17 Agustus 1950-5 Juli 1959), Perdebatan Konstituante dan Dekrit Presiden 5 Juli 1959, Orde Baru (11 Maret 1966), hingga sistem pemerintahan pada masa Reformasi 21 Mei 1998.
 Konstitusi adalah hukum dasar yang dijadikan pegangan dalam penyelenggaraan suatu negara. Hal itu menunjukkan bahwa wujud dari konstitusi dapat berupa hukum dasar tertulis dan tidak tertulis. Wujud konstitusi yang tertulis kemudian lazim disebut sebagai Undang-Undang Dasar (UUD).
Undang-Undang dasar 1945 telah mengalami perubahan-perubahan mendasar sejak dari Perubahan Pertama pada tahun 1999 sampai ke Perubahan Keempat pada tahun 2002. Perubahan-perubahan itu juga meliputi materi yang sangat banyak, sehingga mencakup lebih dari 3 kali lipat jumlah materi muatan asli UUD 1945.
Perubahan isi dari UUD 1945 itu sendiri menyesuaikan dengan keadaan dan kebutuhan masyarakat Indonesia. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa meskipun namanya tetap merupakan UUD 1945, tetapi dari sudut isinya UUD 1945 pasca Perubahan Keempat tahun 2002 sekarang ini sudah dapat dikatakan merupakan Konstitusi baru sama sekali dengan nama resmi “Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Sehubungan dengan itu penting disadari bahwa sistem ketatanegaraan Indonesia setelah Perubahan Keempat UUD 1945 itu telah mengalami perubahan-perubahan yang sangat mendasar. Perubahan-perubahan itu juga mempengaruhi struktur dan mekanisme struktural lembaga-lembaga negara Republik Indonesia dengan menggunakan struktur yang baru dan lebih sistematis dengan cara meninggalkan pemikiran lama yang tidak sesuai untuk diterapkan.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian tersebut, maka adapun masalah rumusan yang akan kami angkat untuk  dibahas,  yaitu bagaimanakah sejarah perkembangan ketatanegaraan Indonesia berdasarkan periode tahun 1945 – 1949, 1950 – 1959 dan1959 – 1999 ?


BAB II
PEMBAHASAN


2.1 Sejarah Ketatanegaraan Indonesia
A.  Sejarah Ketatanegaraan Indonesia Periode tahun 1945-1949 (UUD 1945)
UUD 1945 ditetapkan sebagai UUD Negara Republik Indonesia pada tanggal 18 Agustus 1945. Persiapan penyusunan UUD 1945 dilakukan dengan dibentuknya Badan Penyelidik Usahan-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), atau dalam bahasa Jepang disebut dengan “Dokuritsu Zyunby Tyoosakai”. Pembentukan BPUPKI dimaksudkan untuk mempelajari, menyelidiki hal-hal penting yang berkaitan dengan pembentukan negara Indonesia. Badan ini merupakan badan pembentukan Jepang sehubungan dengan kesanggupan pihak Jepang untuk dalam jangka waktu sesingkat-singkatnya memberikan kemerdekaan kepada Indonesia.
BPUPKI melakukan sidang sebanyak dua kali, yaitu sidang pertama pada tanggal 29 Mei – 1 Juni 1945 dan sidang kedua pada tanggal 10 Juli – 16 Juli 1945. Pada sidang pertamanya, BPUPKI membahas mengenai dasar negara Indonesia. Adapun yang menyampaikan gagasannya tentang dasar negara Indonesia, yaitu Muhammad Yamin pada tanggal 29 Mei 1945 , Mr. Supomo pada tanggal 31 Mei 1945, dan Ir. Soekarno pada tanggal 1 Juni 1945. Dari ketiga gagasan tersebut, Ir. Soekarnolah yang mengenalkan istilah Pancasila yang dijadikan dasar negara.
Pada tanggal 22 Juni 1945, BPUPKI membentuk panitia perumusan yang tugasnya membentuk dan merumuskan hasil sidang pertama. Panitia ini disebut dengan Panitia Kecil atau Panitia 9. Sebagai tindak lanjut dari sidang pertama, oleh panitia 9 dirumuskanlah Piagam Jakarta (Jakarta Charter) yang berisi garis-garis pemberontakan melawan kapitalisme, imperalisme dan fasisme (Belanda dan sekutu-sekutunya serta Jepang) serta memuat rumusan dasar negara dan rancangan Pembukaan UUD.
Pada sidang kedua, BPUPKI berhasil membentuk tiga panitia salah satunya  yaitu Panitia Perancang Undang-Undang Dasar. Panitia Perancang dalam sidangnya pada tanggal  11 Juli 1945 menerima konsep naskah Pembukaan UUD yang diambil dari Piagam Jakarta. Panitia ini kemudian membentuk Panitia Kecil Perancang Undang-Undang Dasar yang memiliki tugas untuk menyempurnakan dan menyusun kembali rancangan UUD yang telah disepakati. Pada tanggal 13 Juli 1945, Panitia Perancang Undang-Undang Dasar yang diketuai oleh Ir. Soekarno mengadakan sidang untuk membahas laporan hasil kerja Panitia Kecil Perancang Undang-Undang Dasar. Pada tanggal 14 Juli 1945 dalam rapar pleno BPUPKI menerima laporan Panitia Perancang Undang-Undang Dasar yang dibacakan Ir. Soekarno, yaitu pernyataan Indonesia merdeka, pembukaan undang-undang dasar, dan batang tubuh undang-undang dasar. Setelah melalui sidang tersebut, pada tanggal 16 Juli 1945 hasil kerja Panitia Perancang Undang-Undang Dasar akhirnya di terima BPUPKI. Rumusan yang telah disempurnakan dan diterima secara bulat kemudian dikenal sebagai Undang-Undang Dasar 1945.          
BPUPKI dibubarkan pada tanggal 7 Agustus 1945 dan pada tanggal 8 Agustus 1945 dibentuklah Panitia Penyelidik Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) atau dalam bahasa Jepang disebut “Dokuritsu Zyunbi Inkai”, yang diketuai oleh Ir. Soekarno dan Drs. Mohammad Hatta sebagai wakilnya. Tugas PPKI adalah mempersiapkan segala sesuatu sehubungan dengan kemerdekaan Indonesia. Pada tanggal 6 dan 9 Agustus 1945 sekutu melancarkan serangannya dengan menjatuhkan bom di kota Hirosima dan Nagasaki. Dampak serangan ini, pada tanggal 15 Agustus  Jepang menyerah tanpa syarat kepada sekutu. Akibat menyerahnya Jepang kepada sekutu terjadilah keadaan vacuum of power di Indonesia. Keadaan vacuum of power ini pun dimanfaatkan oleh pejuang-pejuang bangsa Indonesia dengan segera mungkin memproklamasikan kemerdekaan Indonesia dan pada tanggal 17 Agustus 1945 Indonesia pun memproklamirkan kemerdekannya.
Pada tanggal 18 Agustus PPKI melakukan sidang untuk merumuskan dasar negara Indonesia yaitu Pancasila dan mengesahkan UUD 1945. Naskah UUD yang disahkan oleh PPKI tersebut disertai penjelasannya dimuat dalam Berita Republik Indonesia No. 7 tahun II 1946. UUD 1945 tersebut terdiri atas tiga bagian yaitu Pembukaan, Batang Tubuh, dan Penjelasan. Perlu dikemukakan bahwa Batang Tubuh terdiri atas 16 bab yang terbagi menjadi 37 pasal, serta 4 pasal Aturan Peralihan dan 2 ayat Aturan Tambahan
    Sesuai dengan asas negara hukum (Rechtstaat) maka UUD 1945 merupakan hukum dasar tertulis dari negara republik Indonesia dan dilihat dari sejarah pembentukannya UUD 1945 merupakan hasil revolusi bangsa Indonesia yang mencapai titik kulminasinya pada tanggal 17 agustus 1945. Jika ditinjau dari segi yuridis maka proklamasi merupakan satu-satunya sumber dari segala peraturan hukum nasional. Dengan dinyatakannya kemerdekaan berarti bangsa Indonesia telah mendirikan tatanan hukum baru yaitu tata hukum Indonesia yang berisikan tata hukum nasional yang akan ditentukan dilaksanakan sendiri oleh bangsa Indonesia. 
Bentuk negara Indonesia pada periode ini adalah negara kesatuan yang berbentuk republik hal ini tercermin dalam pasal 1 ayat (1) UUD 1945. Kekuasaan kedaulatan tertinggi dipegang oleh MPR yang tercermin dalam pasal 1 ayat (2) UUD 1945 dan dalam pasal 3 pun menyebutkan bahwa Majelis Permusyawaratan Rakyat memiliki kewenangan untuk menetapkan Undang-undang dan garis-garis besar daripada haluan negara.   
Pada pasal 5 ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan bahwa “Presiden memegang kekuasaan membentuk undang-undang dengan persetujuan DPR” dan dalam pasal 20 ayat (1) yang menyatakan bahwa “Tiap-tiap undang-undang menghendaki persetujuan DPR” dan dalam ayat (2) yang menyatakan bahwa “Jika sesuatu rancangan undang-undang tidak mendapat persetujuan DPR, maka rancangan tadi tidak boleh dimajukan lagi dalam persidangan DPR masa itu”. Jadi,  presiden sebagai pelaksana kekuasaan pemerintahan harus memperhatikan suara DPR, meskipun presiden tidak bertanggungjawab kepada DPR dan juga DPR tidak dapat memberhentikan presiden.  Namun, DPR dapat meminta kepada majelis untuk diadakan sidang istimewa apabila presiden dianggap melanggar haluan negara (Penjelasan umum UUD 1945).
Kekuasaan presiden selain memegang kekuasaan pemerintahan negara tertinggi juga memegang kekuasaan terhadap lembaga MPR,DPR dan DPA selama kelembagaan tersebut belum terbentuk. Dibidang eksekutif, presiden dengan bantuan KNIP berhak menetapkan haluan negara UU dan memberikan pertimbangan, sehingga dapat dikatakan kekuasaan presiden sebagai Constitutional Dictatorship
Sistem Pemerintahan pada periode ini, jika kita melihat dalam pasal 4 ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa “Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang - Undang Dasar. Pada pasal tersebut menunjukkan bahwa sistem pemerintahan menganut sistem pemerintahan presidensiil. Dalam sistem ini, presiden selain sebagai kepala negara juga sebagai kepala pemerintahan. Menteri-menteri sebagai pelaksana tugas pemerintah adalah pembantu Presiden yang bertanggungjawab kepada Presiden, bukan kepada DPR.
Namun pada tanggal 16 Oktober 1945 dikeluarkan Maklumat Wakil Presiden No.X yang menyebabkan terjadinya pembagian kekuasaan dalam dua badan yaitu kekuasaan legislative dijalankan olek Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) dan kekuasaan-kekuasaan lainnya masih tetap dipegang oleh presiden sampai tanggal 14 November 1945. Berdasarkan Maklumat Presiden 14 November 1945 ini terjadi perubahan sistem pemerintahan dari sistem pemerintahan presidensiil ke sistem pemerintahan parlementer yang dipimpin oleh wakil presiden selaku Perdana Menteri yang diangkat dan diberhentikan oleh presiden namun perdana menteri bertanggung jawab kepada BP KNIP.
Setelah bangsa Indonesia memproklamirkan kemerdekaan dan akibat menyerahnya Jepang melawan sekutu, Belanda berkeinginan untuk kembali berkuasa di Indonesia dengan melakukan politik “Devide et impera” dengan tujuan untuk mendirikan negara- negara bagian di Indonesia. Oleh karena itu Belanda pun mengadakan perundingan – perundingan dengan Indonesia diantaranya Perundingan Linggarjati, Perjanjian Renville, Perjanjian Roem-Royen, dan Konfrensi Meja Bundar.
Perundingan Linggarjati diselenggarakan pada tanggal 10 November 1946 dan ditandatangani pada tanggal 25 Maret oleh pihak Indonesia dan Belanda. Kesepakatan Perjanjian Linggarjati, yaitu
a.       RI dan Belanda sepakat bekerja sama membentuk negara Indonesia Serikat dengan Republik Indonesia sebagai salah satu negara bagiannya.
b.      RIS dan Kerajaan Belanda terikat dalam Uni Indonesia Belanda (Commonwealth) dengan mahkota negeri Belanda sebagai kepala Uni.
Pada tanggal 27 Mei 1947, Belanda mengeluarkan ultimatum kepada Indonesia, namun unltimatul tersebut ditolak oleh Indonesia. Akibat penolakan tersebut Belanda pada tanggal 21 Juli 1947 melakukan penyerangan yaitu Agresi Militer I. Pada tanggal 8 Desember 1947, PBB menyelenggarakan Perundingan Renville sebagai akibat Agresi Militer I Belanda ke Indonesia. Isi perundingan ini antara lain :
a.       Belanda tetap berdaulat atas seluruh wilayah Indonesia sampai kedaulatan diserahkan kepada Republik Indonesia Serikat, yang harus segera dibentuk.
b.      Sebelum RIS dibentuk, Belanda dapat serahkan sebagian dari kekuasaannnya kepada pemerintah federal sementara.
c.       RIS sebagai negara yang merdeka dan berdaulat akan menjadi peserta yang sejajar dengan Kerajaan Belanda dalam Uni Nederland-Indonesia dengan Ratu Belanda sebagai kepala Uni.
d.       Republik Indonesia akan menjadi Negara Bagian dari RIS.
Namun perjanjian ini tidak dapat dilaksanakan oleh Belanda dan pada tanggal 19 Desember 1948 Belanda melakukan Agresi Militer II dan berhasil menduduki ibukota Republik Indonesia yaitu Yogyakarta. Setelah Agresi Militer II, UNCI mengadakan pertemuan pada 14 April 1949 yang dihadiri oleh delegasi Indonesia dan Belanda serta UNCI. Perundingan ini dikenal dengan perundingan Roem Royen. Sebagai tindak lanjut dari hasil perundingan ini Belanda akhirnya meninggalkan Kota Yogyakarta.
            Setelah Perundingan Roem Royen, pada tanggal 23 Agustus 1949 dilaksanakan Konfensi Meja Bundar yang bertujuan untuk membicarakan pembentukan negara Republik Indonesia Serikat (RIS) sebagai mana yang telah direncanakan. Adapun hasil konferensi ini, yaitu
a.       Pemerintaha Belanda menyerahkan kedaulatan secara penuh dan tanpa syarat kepada RIS
b.      Pelaksanaan penyerahan kedaulatan akan dilaksanakan paling lambat 30 Desember 1949
c.       Masalah Irian Barat akan diadakan perundingan lagi dalam aktu satu tahun setelah penyerahan kedaulatan kepada RIS
d.      Status RIS dengan Kerajaan Belanda terikat dalam Uni Indonesia Belanda yang dikepalai oleh ratu Belanda.
e.       Kapal-kapal prang Belanda akan ditarik dari Indonesia dan beberapa korvet diserahkan kepada RIS.         
Hasil keputusan tersebut disahkan oleh Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) pada tanggal 14 Desember 1949 dan oleh parlemen Belanda pada 21 Desember 1949. Presiden RIS adalah Ir. Soekarno dan sebagai pejabat presiden RI diangkat Mr. Assaat, SH.
B.  Sejarah Ketatanegaraan Indonesia Periode tahun 1949 1950
Republik Indonesia Serikat (RIS) berdiri tanggal 27 desember 1949, dan sesuai dengan perjanjian Konferensi Meja Bundar (KMB). Dalam Konferensi Meja Bundar  disepakati tiga hal, yaitu : Pertama, Mendirikan Negara Republik Indonesia Serikat. Kedua, Penyerahan kedaulatan kepada RIS yang berisi tiga hal, yaitu; (a) piagam penyerahan kedaulatan dari kerajaan Belanda kepada Pemerintah RIS, (b) Status Uni, (c) Persetujuan perpindahan. Dan yang ketiga, Mendirikan uni antara Republik Indonesia Serikat dengan kerajan Belanda. Maka, Negara RI hanya merupakan bagian dari RIS , demikian pula UUD 1945 hanya berlaku untuk Negara bagian RI, dan RIS terdiri dari 16 negara bagian dengan masing-masing mempunyai luas daerah dan jumlah penduduk yang berbeda, yaitu tujuh Negara bagian (Negara Republik Indonesia) dengan wilayah menurut status quo yang tercantum dalam Persetujuan Renville 17 Januari 1948, Indonesia Timur, Pasundan, Jawa Timur, Madura, Sumatra Timur dan Sumatra Selatan serta Sembilan satuan kenegaraan yang berdiri sendiri, yaitu Jawa Tengah, Bangka Belitung, Riau, Kalimantan Barat, Dayak Besar, Daerah Banjar ,Kalimantan Tenggara, dan Kalimantan Timur. Diantara Negara-negara bagian yang terpenting, selain Republik Indonesia yang mempunyai daerah terluas dan penduduk terbanyak, ialah Negara Sumatra Timur, Negara Sumatra Selatan, Negara Pasundan dan Negara Indonesia Timur. Menurut, ketentuan Pasal 186 KRIS, konstitusi ini masih bersifat “Sementara” yang akan diganti  dengan konstitusi yang bersifat tetap, hasil pembentukan konstituante bersama-sama dengan pemerintah, tetapi lembaga tersebut belum dapat di bentuk, KRIS telah dirubah dengan UU Federal No.7 Tahun 1950 menurut Ketentuan Pasal 190, Pasal 127 a dan Pasal 192 ayat  (2) KRIS. Sesuai dengan ketentuan Pasal 1 ayat (1) KRIS maka: “RIS yang merdeka dan berdaulat adalah Negara hukum yang demokratis dan berbentuk federasi”. Berbeda dengan UUD 1945 Pasal 1 ayat (1) bentuknya adalah “kesatuan” dengan bentuk pemerintahan “Republik”.
Kekuasaan Negara RIS dilakuakan oleh pemerintah berasama-sama dengan DPR dan senat Pasal 1 ayat (2) KRIS. Pemerintah yang dimaksud disini adalah presiden dan beberapa orang meteri, yakni menurut tanggung jawab khusus atau tanggung jawab umum mereka yang terdapat pada Pasal 68 ayat 1 dan 2 KRIS. Sesuai dengan sistem pemerintahan yang dianut oleh KRIS, Presiden ialah Kepala Negara, ia tidak memimpin pemerintahan (eksekutif). Yang memimpin pemerintahan adalah Perdana Menteri bersama-sama dengan Dewan Menteri. Dalam penyelenggaraan pemerintahan Negara, kedudukan presiden tidak dapat diganggu gugat, menteri-menteri yang bertanggung jawab atas seluruh kebijaksanaan pemerintah, baik bersama-sama untuk seluruhnya maupun masing-masing untuk bagiannya (departemen) yang terdapat pada Pasal 118 KRIS, sehingga kedudukan menteri-menteri disini adalah tergantung kepada DPR.    Lembaga Perwakilan Rakyat menurut KRIS menganut sistem bicameral yang terdiri dari Majelis Tinggi dan Majelis Rendah. Kekuasaan perundang-undangan federal menurut pasal 127 KRIS dilakukan oleh pemerintah bersama-sama dengan DPR dan senat. Pengesahan suatu perundang-undangan selain ditandatangani oleh presiden juga di tandatangani oleh menteri yang harus bertanggung jawab terhadap meteri UU tersebut sebagai contrasign.
Bentuk Negara federasi dan sistem parlementer yang di anut KRIS tidak sesuai dengan jiwa proklamasi maupun kehendak sebagian besar rakyat di beberapa daerah/Negara bagian, hal ini terbukti dengan terjadinya penggabungan beberapa daerah/Negara bagian dengan Negara RI. Penggabungan tersebut memang di mungkinkan berdasarkan ketentuan Pasal 44 KRIS yang menyatakan  bahwa suatu Negara bagian atau daerah bagian dari RIS, dapat menggabungkan diri dengan Negara bagian lainnya, yang harus dilakukan sesuai dengan UU Federal dan berdasarkan kehendak rakyat. Oleh karena itu, kemudian di adakan persetujuan antara pemerintah RI dengan RIS, untuk merubah bentuk Negara Federal menjadi bentuk Negara Kesatuan.
C.  Sejarah Ketatanegaraan Indonesia Periode tahun 1950 1959
Periode federal dari Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Serikat (1949) merupakan perubahan sementara, karena sesungguhnya bangsa Indonesia telah sejak 17 Agustus 1945 menghendaki sifat keasatuan. Hal ini dapat dibuktikan melalui bahwa Negara Republik Indonesia Serikat tidak bertahan lama karena terjadi penggabungan dengan Republik Indonesia, sehingga akhirnya hanya tersisa 3 negara bagian yaitu Republik Indonesia, Negara Indonesia Timur dan Negara Sumatera Timur. Akhirnya dicapailah kata sepakat antara Republik Indonesia Serikat yang mewakili Negara Indonesia Timur dan Negara Sumatera, dan Republik Indonesia untuk kembali mendirikan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Persetujuan tersebut dituangkan dalam suatu persetujuan 19 Mei 1950 yang diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945.  Bagi negara kesatuan yang akan didirikan jelas perlu adanya suatu Undang-Undang Dasar yang baru. Maka dari itu dibentuklah suatu panitia yang kemudian disahkan pada tanggal 12 Agustus 1950 oleh Badan Pekerja Komite Nasional Pusat, DPR dan juga Senat Republik Indonesia Serikat pada 14 Agustus 1950.
Jalan yang ditempuh untuk memperlakukan Undang Undang Dasar 1950 dengan mempergunakan pasal 190, pasal 127 a, dan pasal 191 ayat (2) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Serikat – yaitu pasal-pasal tentang perobahan Undang-Undang Dasar -, maka dengan Undang-Undang Federal no.7 tahun 1950 Lembaran Negara Republik Indonesia Serikat 1950 no. 56, resmilah Undang-Undang dasar 1950 berlaku mulai tanggal 17 Agustus 1945.
Dengan UU federal No.7 Tahun 1950 tentang perubahan KRIS (Konstitusi Republik Indonesia Serikat) menjadi UUDS RI ( Lembaran Negara RIS No.56 Tahun 1950 ) maka KRIS berubah menjadi UUDS, secara formil UUDS 1950 merupakan perubahan dari KRIS 1949, namun pada hakekatnya UUDS 1950 merupakan penggantian dari KRIS. Istilah perubahan dipakai karena berdasarkan pasal 190 dan 191 KRIS dinyatakan bahwa untuk merubah konstitusi hanya dapat dirubah dengan UU federal, sedangan untuk mengganti harus dilakukan oleh lembaga konstituante ( Pasal 186 KRIS ). UU federal No.7 tahun 1950 terdiri atas 2 pasal, yaitu :
1.      Berisi ketentuan perubahan KRIS menjadi UUDS dengan diikuti naskah UUDS selengkapnya
2.      A. Tentang UUDS berlaku tanggal 17 Agustus 1950
B.     Aturan peralihan bahwa alat alat perlengkapan negara sebelum pengudangan undang undang ini tetap berlaku.
Dengan UUDS maka bentuk negara federal berubah menjadi negara kesatuan ( pasal 1 ayat 1 ) UUDS sifatnya adalah sementara, hal ini dapat dilihat dari pasal 134 UUDS yang menentukan bahwa : konstituante bersama sama pemerintah selekasnya menetapkan UUD RI. Sebagai realisasi pasal 134 tersebut kemudian dilaksanakan pemilu untuk memilih anggota DPR pada bulan September 1955 dan memilih anggota konstituante pada bulan Desember 1955, konstituante yang diberi tugas untuk menetapkan UUD yang tetap, setelah bersidang selama kurang lebih 2,5 tahun tidak mampu menyelesaikan tugasnya. Hal ini disebabkan karena konstituante tidak pernah mencapai quorum, 2/3 dari jumlah anggota seperti yang ditentukan.
Karena keadaan tersebut kemudian pada tanggal 5 Juli 1959 presiden soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden, yang isinya adalah : pembubaran Konstituante, UUD 1945 berlaku kembali untuk seluruh wilayah RI dan tidak berlakunya UUDS dan pembentukannya MPRS/DPRS dan DPAS dalam waktu sesingkat singkatnya. Dasar hukum keluarnya dekrit presiden ini tidak akan dijumpai dalam peraturan perundang undangan yang ada, tetapi keluar didasarkan pada “Staatsnoodrecht” ( hukum/hak darurat negara) yaitu hukum yang memberi hak kepada penguasa untuk mengambil tindakan atau keputusan yang penting demi kesatuan bangsa dan keselamatan negara. Staatsnoodrecht ada yang bersifat obyektif dan subyektif. Dikatakan obyektif, bila tindakan penguasa didasarkan pada peraturan perundang undangan yang sudah ada sebelumnya. Sedangkan yang subyektif bilamana tindakan penguasa tidak didasarkan pada peraturan yang sudah ada tetapi didasarkan pertimbangan subyektif dari penguasa sendiri. Dasar dari penguasa untuk melaksanakan hukum darurat negara yang ekstra konstitusional adalah pada asas Salus Populi Suprema Lex (kepentingan rakyat merupakan hukum yang tertinggi). Dekrit presiden tersebut kemudian dikuatkan dengan TAP MPRS XX/MPRS/1966 tentang memorandum DPR GR mengenai sumber tertib hukum dan tata urutan peraturan perundang undangan republik Indonesia.

D.  Sejarah Ketatanegaraan Indonesia Periode tahun 1959 sekarang
Pada periode ini, berlakunya UUD 1945 dibagi menjadi tiga bagian yaitu, pada masa antara 1959 – 1966, masa antara 1966-1998, dan masa antara 1998 – sekarang. 
A.    Masa antara 1959 – 1966
B.     Masa antara 1966 – 1998
C.     Masa antara 1998 – sekarang

A.  Masa antara 1959-1966
UUD 1945 yang berlaku kembali atas dasar Dekrit Presiden 5 Juli 1959, adalah terdiri dari Pembukaan dan Batang Tubuh (16 Bab, 37 Pasal, 4 Aturan Peralihan, dan 2 Aturan Tambahan) serta Penjelasan. Sebagaimana halnya dengan UUD 1945 yang pertama kali berlaku tanggal 18 Agustus 1945, maka UUD 1945 yang berlaku kembali dengan dekrit ini juga masih bersifat sementara, karena tidak ditetapkan oleh MPR sekalipun kemudian telah dibenarkan oleh TAP MPRS XX/MPRS/1966 jo TAP MPR V/MPR/1973. Dekrit itu sendiri hanya menetapkan bahwa UUD'45 berlaku bagi seluruh Bangsa Indonesia. Jadi dengan demikian berlaku pulalah ketentuan pasal 3 ayat 2 Aturan Tambahan UUD 1945, dimana berdasarkan kedua pasal tersebut maka UUD 1945 masih bersifat sementara.
Dengan berlakunya kembali UUD 1945 maka asas ketatanegaraan dan sistem pemerintahan mengalami perubahan, yaitu dari asas Demokrasi Liberal menjadi asas Demokrasi Terpimpin, dan dari sistem parlementer menjadi sistem presidensiil. Tentang asas demokrasi terpimpin, presiden dalam sidang konstituante tanggal 22 April 1959 menegaskan bahwa Demokrasi Terpimpin adalah demokrasi yang didasarkan atas 'kerakyatan' yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan. Dengan sistem presidensiil yang dianut oleh UUD 1945, maka presiden adalah pemegang kekuasaan eksekutif (pemerintahan) tertinggi (concentration of power and responsibility upon president), yang dalam melaksanakan kekuasaannya dibantu oleh seorang wakil presiden dan menteri-menteri (Pasal 4 dan 17 UUD 1945).
Dalam praktek ketatanegaraan yang terjadi sejak Dekrit Presiden 5 Juli 1959 hingga meletusnya G.30 S PKI, UUD 1945 belum dilaksanakan secara murni dan konsekwen. Banyak penyimpangan (defiasi) yang terjadi baik dari segi kelembagaan negara, sistem pemerintahan maupun dari segi hukum. Dalam sistem pemerintahan kekuasaan presiden sangat besar, dimana disamping sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan juga adalah sebagai Pemimpin Besar Revolusi yang memegang kekuasaan seumur hidup, sebagaimana diatur dalam TAP MPRS III/MPRS/1963 tentang Pengangkatan Pemimpin Besar Revolusi Indonesia Bung Karno menjadi presiden republik Indonesia seumur hidup. Hal ini jelas bertentangan dengan ketentuan UUD 1945. Dibidang hukum banyak hal yang seharusnya diatur/dibentuk dengan undang-undang tetapi dibentuk dengan Penetapan Presiden; Peraturan Presiden atau Keputusan Presiden.
Jadi secara konstitusional, maka seharusnya kekuasaan negara tidak terletak ditangan 'presiden' tetapi MPR sebagai pemegang kedaulatan rakyat namun dalam praktek ketatanegaraan UUD 1945 yang menjadi landasan konstitusional dikesampingkan.  Dalam kondisi seperti tersebut kemudian muncul Gerakan 30 S PKI, yang membawa korban beberapa jendral, aparatur negara dan masyarakat Indonesia.
Presiden kemudian tidak mampu mengendalikan stabilitas politik dan keamanan, sehingga kemudian meletuskan TRI TURA (Tiga Tuntutan Rakyat) dari angkatan 1966 yang isinya :
1) Pelaksanaan kembali secara murni dan konsekwen UUD 1945,
2) Pembubaran PKI, dan
3) Penurunan harga barang.
B.   Masa antara 1966 – 1998
Untuk mengatasi keamanan negara dan kesatuan bangsa pada saat itu, kemudian oleh presiden Soekarno dikeluarkanlah Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) Tahun 1966, yang memberi wewenang kepada Jendral Soeharto, Panglima Komando Staf Angkatan Darat untuk mengendalikan situasi. Supersemar kemudian dikukuhkan dengan TAP MPRS IX/MPRS/1966. Kemudian pada tanggal 12 Maret 1967 dengan  TAP MPRS XXXIII/MPRS/1967 mencabut kekuasaan Ir. Soekarno dan kemudian mengangkat pemegang Ketetapan MPRS IX/MPRS/1966 sebagai pejabat presiden. Soeharto diangkat sebagai pejabat presiden berdasarkan TAP MPRS No. XLIX/MPRS/1968.
Untuk melakukan penertiban terhadap produk peraturan perundang-undangan kemudian dikeluarkan TAP MPRS No. XX/MPRS/1966 Tentang Memorandum DPR GR Mengenai Sumber Tertib Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan Republik Indonesia, yang terdiri dari :
-        UUD 1945,
-        Ketetapan MPRS/MPR,
-        UU/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu),
-        Peraturan Pemerintah,
-        Keputusan Presiden dan,
-        Peraturan pelaksana lainnya seperti:
·       Peraturan Menteri,
·       Instruksi Menteri,
·       Dan lain-lainnya.
Dalam sejarah berlakunya UUD 1945 kemudian pada tanggal 3 Juli 1971 diadakan Pemilihan Umum yang pertama, dan berhasil membentuk MPR, DPR, dan DPRD yang difinitif sesuai ketentuan Pasal 2 ayat (1), Pasal 19 ayat (1), dan Pasal 18 UUD 1945. Kemudian pada bulan Maret 1973 MPR mengangkat Jendral Soeharto sebagai presiden, dan untuk selanjutnya dalam 5 kali pemilihan presiden, MPR terus menerus memilih Jendral Soeharto sebagai calon tunggal. Terakhir Soeharto dipilih dan diangkat sebagai presiden pada pemilu yang ke 6 era orde baru yaitu pada bulan Maret 1998.
Pada masa pemerintahan Soeharto, dikeluarkan UU yang mengatur mengenai lembaga negara antara lain; UU No.5 Tahun 1973 tentang BPK, UU No. 16 Tahun 1969 tentang Susunan  dan Kedudukan MPR, DPR dan DPRD.
Dalam perkembangan sejarah ketatanegaraan pada masa Soeharto berkuasa terjadi pula deviasi baik di bidang politik maupun hukum. Antara lain dengan pelemahan fungsi MPR, yang diawali dengan adanya consensus nasional Tahun 1967 sebagai hasil kesepakatan partai politik dan Golongan Karya, yang disahkan dengan Keputusan pimpinan DPR-GR tanggal 16 Desember 1967 dengan adanya anggota MPR yang diangkat disamping melalui pemilu. Isi Keputusan tersebut antara lain:
1.    Adanya anggota MPR/DPR yang diangkat, disamping yang dipilih melalui pemilu
2.    Yang diangkat adalah perwakilan ABRI dan Non ABRI, untuk Non ABRI harus non massa
3.    Jumlah anggota yang diangkat untuk MPR Aadalah ½ dari jumlah seluruh anggota DPR
Konsensus tersebut merupakan titik awal pelemahan anggota MPR melalui penentuan komposisinya.
Puncak restrukturisasi politik adalah keluarnya serangkaian UU politik yaitu UU No. 1 Tahun 1985 tentang Pemilu, UU No. 3 Tahun 1985 tentang Partai Politik dan Golkar, UU No. 8 Tahun 1985 tentang Organisasi Masyarakat. UU No. 1 Tahun 1985 dengan tegas mencantumkan harus adanya pengangkatan jumlah anggota MPR/DPR. Paket UU inilah menurut Ni Matul Huda merupakan sumber masalah politik ditanah air, yaitu berkaitan dengan masalah komposisi keanggotaan MPR, DPR dan DPRD. Keanggotan lembaga tersebuat ada yang dipilih melalui pemilu dan ada yang diangkat denga kriteria yang tidak jelas. Anggota MPR yang diangkat (ABRI, Utusan Daerah dan Golongan) jauh lebih banyak dibandingkan yang dipilih, sehingga pengangkatan tersebut lebih banyak tergantung dari selera presiden. Hal tersebut menyebabkan posisi MPR sebagai lembaga tertinggi negara berada dibawah presiden/eksekutif, bukan sebaliknya. MPR menjadi lembaga elastis yang lebih banyak menyuarakan kepentingan penguasa.
Penyimpangan lainnya adalah berkaitan dengan perubahan UUD 1945, dimana UUD 1945 dianggap final dan merupakan karya agung The Founding Fathers yang harus dilaksanakan Bangsa Indonesia. UUD tidak dapat dirubah, karena merubah UUD negara akan kacau dan merubah UUD berarti membubarkan negara prokamasi 17 Agustus 1945. Keinginan untuk tidak merubah tampak dari ketentuan Pasal 115 TAP MPR I/MPR/1978 tentang Peraturan Tata Tertib MPR/DPR yang menyatakan bahwa; “Majelis tidak akan merubah UUD 1945 dan Pancasila dan tidak berkehendak dan tidak akan melakukan perubahan terhadapnya serta akan melaksanakan secara murni dan konsekwen”. Peraturan tersebut sangat kontradiktif dengan semangat Pasal 37 UUD 1945 dan terlalu dipaksakan. Hal tersebut dipertegas lagi dalam TAP MPR IV/MPR/1983 tentang Referendum, dimana untuk merubah UUD 1945 harus dilakukan referendum. Ketetapan ini dimaksudkan agar Pasal 37 UUD 1945 tidak mudah digunakan. Jadi, pada era pemerintahan Soeharto Asas Kedaulatan Rakyat sebagaimana ditentukan dalam UUD 1945 tidak pernah dilaksanakan, yang dilaksanakan adalah kedaulatan penguasa.
Akibat pendekatan kekerasan yang dilakukan dan terpuruknya ekonomi Indonesia sejak 1977, menimbulkan gelombang aksi mahasiswa yang menghendaki mundurnya Soeharto sebagi presiden. Akibatnya pada tanggal 12 Mei 1998 Soeharto yang sudah memegang jabatan selama 7 periode mengundurkan diri sebagai presiden dan digantikan oleh BJ. Habibie yang sebelumnya menjabat sebagai wakil presiden.
C.  Masa antara 1998 – sekarang
Pemerintahan Habibie disebut sebagai permerintahan Trasisional, yang menurut mulyoto Mulyosudarmo terdapat dua pemahaman tentang pemerintah transisi. Pertama, pemerintahan transisi digunakan untuk “merujuk pemerintahan sementara” yang masa jabatannya di batasi sampai terbentuknya pemerintahan baru hasil pemilu. Kedua, pemerintahan transisi merupakan pemerintahan otoriter dan sentralistik menjadi pemerintahan yang desentralistik dan demokratis.
Pada masa Habibie terjadi perubahan ketatanegaraan yang lebih demokratis, yakni dengan keluarnya ketetapan penting, Undang-undang serta berlakunya amandemen I terhadap UUD 1945.
Di bidang politik dikeluarkan UU yang menggantikan UU sebelumnya yaitu : UU No. 2 Tahun 1999 tentang Partai Politik, UU No. 3 Tahun 1999 tentang Pemilu dan UU No. 4 Tahun 1999 tentang Susunan Kedudukan MPR, DPR dan DPRD.
Setelah terbentuknya MPR hasil pemilu 1999, kemudian dilakukan perubahan pertama terhadap UUD 1945 dalam sidangnya tanggal 14-21 Oktober 1999. Beberapa pasal yang diamandemen antara lain pasal 5 ayat 1(kekuasaan pembentukan UU), pasal 7(pembatasan masa jabatan presiden), pasal 9(sumpah presiden), pasal 13(pengangkatan/penerimaan duta), pasal 14 ayat 2(pemberian amnesti dan abolisi), pasal 15, 17 ayat 2 dan 3, pasal 20 dan 21.
Sidang Umum MPR bulan Oktober 1999 mengakhiri pula pemerintahan BJ. Habibie yakni dengan ditolaknya pidato pertanggung jawaban didepan Sidang Umum MPR dengan TAP MPR III/MR/1999. Kemudian dalam sidang umum MPR tanggal 20 dan 21 Oktober 1999 Indonesia menorehkan sejarah penting bagi perkembangan demokrasi, yakni dengan terpilihnya presiden dan wakil presiden yaitu Abdul Rachman Wahid dan Megawati Soekarno Putri. Sidang tahunannya tanggal 7-18 Agustus 2000 MPR melakukan amandemen ke II terhadap UU.
Selama pemerintahan KH. Abdurachman Wahid tuntutan reformasi berjalan lambat dan gejolak disintegrasi bangsa berbagai daerah belum berhasil di atasi, terakhir adalah terjadinya skandal Bulloggate dan Bruneigate, yang berakibat pada tanggal 1 Februari Tahun 2001 DPR mengeluarkan memorandum I dan di ikuti Memorandum II pada tanggal 30 April 2001.
Konflik antara Presiden dan DPR berlanjut, dan Presiden pada akhirnya mengeluarkan Maklumat yang berisi:
1.    Pembekuan MPR/DPR
2.    Mengembalikan kedaulatan rakyat dan melaksanakn pemilu dalam waktu satu tahun
3.    Membekukan Partai Golkar
Keluarnya maklumat tersebut menimbulkan reaksi dari berbagai kalangan. Dari segi kelembagaan tindakan presiden tidak tepat. Akhirnya melalui Sidang Istimewa tanggal 22 Juli 2001 MPR mencabut mandatnya dan mengangkat Megawati Soekarno Putri sebagai presiden RI ke V dan Hamzah Haz sebagai wakil presiden.
Kemudian pada sidang Tahunan MPR RI Tahun 2001, MPR mengeluarkan 12 ketetapan dan melakukan amandement ke III terhadap UUD 1945. Perubahan yang penting dalm amandement ini adalah pasal 1 ayat 1(kedaulatan adalah ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD) dan 2(Indonesia adalah negara hukum). Selain itu diatur pula beberapa lembaga baru seperti DPD(pasal 22 C dan D), Komisi Yudisial(Pasal 24 B), Mahkamah Konstitusi(Pasal 24 C) dan sebagainya.
Kemudian pada Agustus 2002 dalam sidangnya tahunannya, MPR melakukan amandement ke IV terhadap UUD 1945. Salah satu perubahannya adalah mencakup susunan lembaga MPR, dimana keanggotaannya terdiri atas anggota DPR dan DPD yang dipilih melalui pemilu, serta dihapuskannya lembaga DPA. Dalam amandement ini juga ditegaskan bahwa UUD 1945 terdiri atas Pembukaan dan Pasal-Pasal(Aturan Tambahan pasal II) sehingga penjelasan tidak termasuk lagi sebagai bagian dari UUD 1945.
Dalam Pemilu Legislatif Tahun 2004 yang dilaksanakan pada tanggal 5 April 2004 telah berhasil memilih anggota MPR, DPR, DPD dan DPRD. Pemilu 2004 menunjukan terjadinya perubahan dominasi dan pemerataan kekuatan, misalnya PDIP dan Golkar hanya menguasai 20% dan 23% kursi. Hal tersebut di akibatkan karena:
1.    Pertambahan kursi di DPR, dari 500 pada pemilu Tahun 1999 menjadi 550 kursi tambahan di perebutkan
2.    Dikosongkannya kursi ABRI di DPR, hal ini berarti ada 38 kursi yang diperebutkan dalam pemilu 2004
3.    Merosotnya perolehan suara PDIP dalam pemilu 2004 dimana kehilangan44 kursi di DPR, hal ini berarti bahwa 132 kursi yang akan di prebutkan.
Berdasarkan hasil Pemilu Legislatif Tahun 2004 tersebut, maka pada tanggal 5 Juli Tahun 2004 kemudian dilakukan Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden secara langsung oleh rakyat dan ini merupakan hal yang baru bagi Bangsa Indonesia karena sebelumnya pemilihan presiden dan wakil presiden dilakukan oleh MPR.
Terdapat 6 pasangan calon presiden dan wakil presiden yang maju namun dikarenakan ditemukan distabilitas kesehatan jasmani berupa masalah pengelihatan maka satu digugurkan. Pada putaran pertama  yang diselenggarakan pada tanggal 5 Juli 2004 tersebut, ternyata dari 5 pasangan capres dan cawapres tidak ada pasangan yang memperoleh suara untuk dapat dilantik sebagai presiden dan wakil presiden. Oleh karena itu dua pasangan yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua akan maju pada pemilu putaran kedua yaitu Megawati Soekarno Putri dan Kiai Hasyim Muzadi serta pasangan Susilo Bambang Yudhoyono dan Yusuf Kalla.
Pemilu putaran kedua yang dilaksanakan tanggal 5 Oktober 2004 dimenangkan oleh pasangan Susilo Bambang Yudhoyono dan Yusuf Kalla. Pelantikan Susilo Bambang Yudhoyono dan Yusuf Kalla sebagai presiden dan wakil presiden dilakukan dalam Rapat Paripurna tanggal 20 Oktober 2004.
Pemilu periode selanjutnya hingga sekarang tidak mengalami masa-masa sulit seperti terdahulu karena sistematika UUD 1945 dan UU yang ada jauh lebih baik daripada sebelumnya. Setelah Susilo Bambang Yudhoyono dan Yusuf Kalla habis waktu jabatan, pada tahun 2009-2014 dipimpin kembali oleh Susilo Bambang Yudhoyono sebagai presiden dan Boediono sebagai wakil presiden. Dan yang terakhir pada periode ke tiga belas dipimpin oleh pasangan Joko Widodo dan Yusuf Kalla sebagai presiden dan wakil presiden dengan periode masa jabatan 20 Oktober 2014-sekarang.











BAB III
PENUTUP


3.1 Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan tersebut diatas maka dapat disimpulkan bahwa sejarah perkembangan ketatanegaraan Indonesia dapat dibagi ke dalam beberapa periode yaitu periode tahun 1945-1949, periode tahun 1949-1950, periode 1950-1959, dan periode 1959-sekarang. Pembagian periode tersebut didasarkan atas masa berlakunya UUD sebagai konstitusi Indonesia dan juga pergantian pemerintahan Indonesia. Dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia, konstitusi Indonesia telah mengalami beberapa kali perubahan, sehingga mengakibatkan perubahan terhadap bentuk negara, bentuk pemerintahan dan sistem pemerintahan di Indonesia. Perubahan dan pergantian tersebut dapat dijabarkan dalam tabel berikut:

1945 - 1949
1949 - 1950
1950 - 1959
1959 - sekarang
1959 - 1966
1966 – 1998
1998 - sekarang
Konstitusi
UUD 1945
Konstitusi RIS
UUDS 1950
UUD 1945
UUD 1945
UUD 1945
Bentuk Negara
Kesatuan
Serikat (federasi)
Kesatuan
Kesatuan
Kesatuan
Kesatuan
Bentuk Pemerintahan
Republik
Republik
Republik
Republik
Republik
Republik
Sistem Pemerintahan
Presidensiil
Parlementer Semu (Quasi Parlementer)
Parlementer
Presidensiil
Presidensiil
Presidensiil


Comments

Popular posts from this blog

Perbedaan Surat atas Tunjuk (Aan Toonder) dan Surat atas Pengganti (Aan Order)

Resume Penggolongan Kesatuan Masyarakat Hukum Adat

Analisa Kasus Etika dan Tanggung Jawab Profesi (Kasus 3)