SISTEM PEWARISAN DI BALI DIKAITKAN DENGAN SISTEM KEKELUARGAAN PATRILINEAL


BAB I PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang

Hukum keluarga adalah keseluruhan norma-norma hukum, tertulis maupun tidak tertulis, yang mengatur hubungan-hubungan hukum yang menyangkut dengan hubungan kekeluargaan, baik yang diakibatkan oleh hubungan darah maupun yang diakibatkan oleh perbuatan hukum tertentu.[1]
Bagi masyarakat Bali, eksistensi hukum adat keluarga masih sangat kuat, artinya masih diakui dan diikuti oleh masyarakat Bali khususnya dalam aspek-aspek hukum yang menjadi ruang lingkup hukum keluarga diluar yang telah diatur oleh Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Hubungan dalam masyarakat Bali erat kaitannya dengan sistem kekeluargaannya.
Berbicara mengenai hukum waris adat akan terbayang pada gambaran kita akan adanya suatu proses beralihnya suatu harta kekayaan baik yang berwujud materiil maupun immateriil dari suatu generasi kepada generasi berikutnya. Proses tersebut akan memerlukan norma-norma sebagai pengaturnya. Proses peralihan ini berkaitan erat dengan sistem pewarisan yang diterapkan di Bali, mengikuti dengan sistem kekeluargaan yang digunakan di Bali.
Di dalam Hukum Adat waris Bali, hukum adat waris merupakan hukum yang mengatur proses penerusan dan pemindahan barang-barang materiil[2]  maupun immateriil[3] dari pewaris kepada ahli warisnya.
Masalah waris diakui oleh beberapa pihak sebagai salah satu bagian dari hukum adat di Bali yang paling sukar, karena adanya kebiasaan-kebiasaan yang berbeda dalam masyarakat Bali[4].
Dalam kenyataan kehidupan masyarakat Bali, nampak bahwa perkawinan mempengaruhi hukum pewarisan. Sah tidaknya perkawinan menurut adat Bali dapat mempengaruhi status seorang anak sebagai ahli waris dalam pewarisan.
Masyarakat Adat Bali menganut sistem kekeluargaan patrilineal atau kebapaaan yang lebih dikenal luas dalam masyarakat Bali dengan istilah purusa atau kepurusa[5]. Pihak purusa dalam masyarakat adat Bali diberikan hak mewaris dikarenakan akan memikul tanggung jawab atas memelihara pewaris ketika pewaris dalam keadaan tidak mampu, menguburkian jenazahpewaris dan atau menyelenggarakan pengabenan bagi pewaris dan menyemayamkan arwahnya di merajan, menyembah arwah leluhur yang bersemayam di merajan, dan melaksanakan kewajiban-kewajiban terhadap banjar/desa.
Berbicara warisan memang seolah-olah ada kesenjangan didalam hukum adat Bali, tetapi sebenarnya tidak demikian. Perempuan Bali pada umumnya hanya sedikit mendapatkan warisan bahkan hampir tidak mendapat warisan sedangkan lelaki mendapat warisan lebih besar. Perempuan yang kawin adalah wajar mendapat sedikit warisan dari orang tua kandungnya karena ia akan melakukan kewajiban di rumah suaminya dan mendapat warisan bersama sang suami, sedangkan seorang laki-laki akan melaksanakan kewajiban yang besar terhadap leluhurnya

1.2  Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang tersebut, permasalahan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1.      Bagaimanakah sistem pewarisan di Bali?
2.      Bagaimanakah Sistem Pewarisan Di Bali Dikaitkan Dengan Sistem Kekeluargaan Patrilineal?

1.3  Tujuan Penulisan

Berdasarkan permasalahan yang dibahas dalam penulisan tugas akhir ini, tujuan dari penulisan ini adalah sebagai berikut:
1.    Untuk mengetahui dan menganalisa sistem pewarisan di Bali menurut Sistem kekeluargaan patrilinial.
2.    Untuk memberikan pengetahuan terhadap masyarakat mengenai pewarisan menurut Hukum Adat Bali.

1.4  Manfaat Penulisan

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kegunaan bagi manfaat teoritismaupun manfaat praktis, antara lain sebagai berikut :
1.      Manfaat Teoritis, Diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan karya nyata dan pengalaman ilmu serta sekaligus pengetahuan sebagai pertanggungjawaban dalam mengembangkan ilmu pengetahuan hukum dengan cara mempelajari dan mengamati masalah sistem pewarisan di Bali.
2.      Manfaat Praktis, Diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan masukan informasi, danmasyarakat Bali, bangsa dan Negara, sehingga melalui tulisan inidiharapkan dapat memberikan masukan kepada pemerintah atau badan legislative dalam membentuk hukum waris yang bersifat nasional.


BAB II

TINJAUAN UMUM


2.1  Pengertian Sistem Kekeluargaan

Sistem kekeluargaan diartikan sebagai cara menarik garis keturtunan, sehingga dapat diketahui dengan siapa seseorang itu mempunyai hubungan hukum kekeluargaan. Dapatlah disebut bahwa sistem kekeluargaan meliputi prinsip-prinsip dasar garis keturunan yang dapat menjelaskanbatas-batas hubungan seseorang dengan orang-orang yang mempunyai hubungan darah dengannya. Hal ini menyebabkan hubungan darah antara seorang anak dengan sanak saudara sedarah dalam derajat tertentu (sepupu, paman, bibi, kakek-nenek) dari pihak ibu dan pihak bapak dapat berlainan antara masyarakat etnis satu dengan lainnya.[6]
Seperti diketahui, sistem kekeluargan yang berlaku dalam masyarakat di Indonesia sangfat beragam, satu dan lain hal disebabkan karena kemajemukan kondisi sosial budaya masyarakat Indonesia menyangkut suku, etnis, agama dan lain-lain. Faktor inilah yang menyebabkan sulitnya pembentukan hukum keluarga yang bersifat nasional di Indonesia walaupun usaha-usaha kearah itu bukannya tidak pernah dilakukan.

2.2  Macam-Macam Sistem Kekeluargaan di Indonesia

Secara umum dalam masyarakat Indonesia dikenal tiga macam sistem kekeluargaan. Sistem kekeluargaan tersebut adalah:
1)             Sistem kekeluargaan patrilineal
2)             Sistem kekeluargaan matrilineal
3)             Sistem kekeluargaan parental[7]
Sistem kekerabatan patrilineal, misalnya dianut dalam masyarakat Batak, Nias, Sumba, Bali, dan lain-lain. Dalam sistem kekeluargaan ini, keturunan dilacak dari garis bapak. Melalui perkawinan seorang istri dilepaskan dari hubungan kekeluargaan dengan keluarga asalnya (orang tua kandung) selanjutnya masuk dalam kekeluargaan suaminya. Anak-anak yang lahir dari keturunan ini mendapatkan garis kekeluargaan dari garis bapaknya, sementara dengan keluarga ibunya hanya mempunyai hubungan sosial dan moral saja,bukan hubungan hukum[8].
Sistem kekeluargaan matrilinial dianut dalam masyarakat Minangkabau. Menurut sistem kekeluargaan ini, keturunan dilacak dari garis ibu sehingga anak yang lahir dari suatu perkawinan akan mendapatkan garis kekeluargaan dari garis ibunya[9].
Berbeda dengan masyarakat patrilineal dan matrilineal yang menarik garik kekeluargaan secara unilateral (satu garis), dalam kekeluargaan yang menganut sistem kekeluargaan parental, garis keturunan dilacak dari dua belah pihak, yaitu baik dari garis bapak atau ibu sehingga sistem kekeluargaan ini juga disebut sistem keibu-bapaan. Sistem kekeluargaan ini dianut oleh masyarakat Jawa, Sunda, Aceh, Kalimantan dan lain-lain.[10]
Masyarakat Adat Bali menganut sistem kekeluargaan patrilineal atau kebapaaan yang lebih dikenal luas dalam masyarakat Bali dengan istilah purusa atau kepurusa[11]. Sesuai dengan prinsip-prinsip umum yang dianut dalam sistem kekeluargaan patrilineal, terdapat tiga prinsip dasar yang dianut dalam sistem kekeluargaan purusa. Pertama, keturunan dilacak dari garis laki-laki, orang yang masuk dalam garis ini lazim disebut keluarga saking purusa. Sedangkan orang-orang dari pihak ibu lazim disebut keluarga saking pradana yang sama sekali tidak diperhitungkan sebagai keluarga.
Prinsip kedua dalam sistem purusa ini bahwa dalam perkawinan(kecuali dalam perkawinan nyeburin) seorang perempuan dilepaskan dari hubungan hukumnya dengan keluarga asalnya dan selanjutnya masuk total ke keluarga suaminya. Dengan demikian, seorang anak perempuan yang sudah kawin (atau anak laki-laki yang kawin nyeburin) tidak lagi diperhitungkan hak dan kewajibannya, materiil maupun immateriil, dalam keluarga asalnya melainkan sepenuhnya diperhitungkan dalam keluarga suaminya.
Pihak purusa dalam masyarakat adat Bali diberikan hak mewaris dikarenakan akan memikul tanggung jawab atas memelihara pewaris ketika pewaris dalam keadaan tidak mampu, menguburkian jenazahpewaris dan atau menyelenggarakan pengabenan bagi pewaris dan menyemayamkan arwahnya di merajan, menyembah arwah leluhur yang bersemayam di merajan, dan melaksanakan kewajiban-kewajiban terhadap banjar/desa.

2.3  Sistem Pewarisan Menurut Hukum Adat

(1)   Hukum adat waris
Istilah “waris” berasal dari bahasa Arab yang telah menajdi bahasa Indonesia yang artinya orang yang menerima harta pusaka dari orang yang telah meninggal[12]. Dalam konteks “hukum waris” menurut hukum adat (hukum adat waris)tidaklah semata-mata hanya membicarakan perihal orang yang menerima harta warisan, melainkan meliputi keseluruhan peraturan-peraturan yang mengatur proses meneruskan serta mengoperkan barang-barang harta benda dan barang-barang yang tidak berwujud benda dari suatu angkatan manusia kepada turunannya[13].
Pembahasan mengenai hukum adat waris tidak lepas dari tiga kata kunci yang menjadi unsur-unsur pewarisan antara lain:
(a)   Pewaris
Dalam pikiran tradisional yang masih kuat mendominasi alam pikiran masyarakat Bali, pewaris adalah seorang ayah (laki-laki). Paham ini nampaknya dilandasi pemikiran bahwa dalam sistem kekeluargaan purusa yang patrarkhi, ayah adalah kepala keluarga, pencari nafkah dan “pemilik”hartakeluarga yang diwarisinya secara turun temurun dari ayah-ayah sebelumnya. Dalam logika ini, harta warisan diturunkan melalui garis laki-laki sehingga semua harta adalah milik laki-laki, sedangkan perempuan bukanlah pemilik harta. Kehidupannya di bawah tangggung jawab laki-laki. Sebelum kawin ia adalah milik dan tanggung jawabnya suaminya[14].
Dalam kehidupan modern sekarang inipandangan demikian perlahan lahan mulai bergeser sebab dewasa ini tidak sedikit sosok ibu yang bekerja di luar rumah dengan penghasilan yang memadai sehinggamempunyai andil dalam pembentukan harta keluarga, khususnya yang berupa harta bersama[15]. Tidak sedikit pula seorang perempuan membawa harta ke dalam perkawinannya, baik karena usahanya sendiri sebelum kawin ataupun karena pemberian orang tuanya. Kontribusi ibu terhadap pembentukan harta keluarga akan berpengaruh terhadap kontrolnya terhadap harta tersebut sehingga harta keluarga tidak lagi hanya “milik” ayah, melainkan juga seorang ibu. Dengan demikian, maka seorang ibu juga adalah pewaris. Lebih tepat jika dikatakan bahwa pengertian pewaris saat ini adalah orang yang meninggalkan harta warisan baik laki-laki maupun perempuan.
(b)   Harta warisan
Unsur penting terjadinya pewarisan adalah adanya warisan. Menurut pengertian umum, warisan adalah sesuatu yang diwariskan, baik berupa harta, nama baik dan lain-lain[16]. Dalam hukum adat Bali, warisan tidak hanya berupa barang berwujud seperti harta benda milik keluarga, melainkan juga berupa hak-hak kemasyarakatan, seperti hak karang desa yang melekat pada status seseorang sebagai anggota masyarakat desa; hak memanfaatkan kuburan milik desa, dan lain-lain.
Warisan yang berwujud harta keluarga dilihat dari sumbernya dapat digolongkan sebagai berikut:
·         Tetamian (harta pustaka) yaitu harta yang diperoleh karena pewarisan secara turun temurun. Tetamian meliputi:
o   Tetamian yang dapat dibagi, ialah harta yang mempunyai nilai magis religius seperti tempat persembahyangan keluarga (sanggah/merajan)
o   tetamian yang dapat dibagi, yaitu harta warisan yang tidak mempunyai nilai religius, seperti sawah,ladang dan lain-lain;;
·         Tetadan, yaitu harta yang dibawa oleh masing-masing suamidan istri ke dalam perkawinan, baik yang diperoleh atas usahanya sendiri ataupun pemberian / hibah
·         Pagunakaya, yaitu harta yang diperoleh oleh suami istri selama perwakinan berlangsung
(c)   Ahli waris
Ahli waris adalah orang yang menerima warrisan. Mengenai ahli waris dalam hukum adat dikenal adanya penggolongan ahli waris berdasarkan garis pokok keutamaan dan garis pokok pengganti.
Garis pokok keutamaan adalah garis hukum yang menentukan urutan-urutan keutamaan diantara golongan-golongan keluarga pewaris dengan pengertian bahwa golongan yang satu lebih diutamakan dari pada golongan yang lain.
Garis pokok pengganti adlah garis hukum yang bertujuan untuk menentukan siapa diantara kelompok keutamaan tertentu, tampil sebagai ahli waris. Dalam menentukan ahli waris berdasarkan garis pokok keutamaan dan garis pengganti ini maka harus diperhatikan dengan seksama sistem kekeluargaan yang berlaku.[17] Dalam garis keutamaan tadi, maka orang-orang yang mempunyai hubungan dari dibagi dalam golongan-golongan, yaitu:
a. Kelompok keutamaan pertama adalah keturunan pewaris
b.Kelompok keutamaan kedua adalah orang tua pewaris
c. Kelompok keutamaan ketiga adalah saudara-saudara pewaris, dan keturunannya
d.Kelompok keutamaan keempat adalah kakek dan nenek pewaris, dan seterusnya

BAB III

PEMBAHASAN

3.1  Sistem Pewarisan di Bali

Dalam hukum adat Bali yang berdasarkan pada sistem kekeluargaan kepurusa, orang-orang yang dapat diperhitungkan sebagai ahli waris dalam garis pokokkeutamaan dan garis pokok pengganti adalah para laki-laki dalam keluarga yang bersangkutan, sepanjang tidak terputus haknya sebagai ahli waris.
Kelompok orang-orang yang termasuk dalam garis keutamaan pertama sebagai ahli waris adalah keturunan pewaris kenceng ke bawah, yaitu anak kandung laki-laki maupun anak kandung perempuan yang ditingkatkan statusnya sebgaai penerus keturunan (sentana rajeg) dan anak angkat (sentana peperasan). Sentana rajeg dan sentana peperasan memiliki hak yang sama dengan anak kandung laki-laki terhadap harta warisan.anak perempuan dan jandabukanlah ahli waris, ettapi apabila anak perempuan tersebut tidak kawin makaia berhak atas pembagian harta orang tuanya sebagai nafkah hidupnya.
Apabila ahli waris dari golongan keutamaan pertama tidak ada, maka yang berhak atas warisan adalah golongan ahli waris dari kielompok keutamaan kedua, yaitu orang tua pewaris, jika masih ada. Sejak itu barulah diperhitungkan saudara-saudara pewaris sebagai kelompok keutamaan ketiga dan keturunannya sebagai ahli waris pengganti.
Pewarisan dalam hukum adat Bali tidak semata-mata berisi hak ahli waris atas harta warisa, lebih dari itu yang terpenting adalah kewajiban ahli waris terhadap pewaris. Sebagai konsekwensi dari hak yang diterima, seorang ahli warismempunyai kewajiban-kewajiban, yaitu:
(1)   Memelihara pewarisketika pewaris dalam keadaan tidak mampu;
(2)   Menguburkan jenazah pewaris dan atau menyelenggarakan pengabenan (upacara pembakaran jenazah) bagi pewaris dan menyemayamkan arwahnya di sanggah/merajan (tempat persembahyangan keluarga);
(3)   Menyembah arwah leluhur yang bersemayam di sanggah/merajan;
(4)   Melaksanakan kewajiban-kewajiban (ayahan) terhadap banjar/desa.
Kelalaian terhadap kewajiban-kewajiban diatas dapat dijadikan alasan untuk memecat kedudukan seseorang sebagai ahli waris[18]Dalam Diskusi ukum Adat Waris Bali (1971) disebutkan bahwa ahli waris terputus haknya menerima harta warisan antara lain disebabkan:
(1)   Anak laki-laki kawin nyeburin
(2)   Anak laki-laki yang tidak melaksanakan dharmaning anak, misalnya durhaka terhadap leluhur, durhaka terhadap orang tua
(3)   Sentana rajeg yang kawin keluar
Mengenai sistem pewarisan di Bali yang diikuti oleh masyarakat Hukum adat antara lain:
A.    Sistem pewarisan Individual, yaitu sistem pewarisan dimana harta warisan dapat dibagi secara perseorangan atau masing-masing ahli waris akan mendapatkan bagiannya, tetapi masih tetap memperhatikan sifat maupun jenis dari harta yang akan di bagi. Sistem pewarisan Individual di Bali pada umumnya diterapkan pada barang-barang atau harta warisan yang tidak mempunyai nilai keagamaan atau barang-barang yang termasuk harta benda matriil.
B.     Sifat pewarisan kolektif, yaitu sistem pewarisan dimana harta warisan berada atau dikuasai oleh satu orang dan semua ahli waris hanya mempunyai hak untuk menikmati saja. Tidak ada penerimaan secara perseorangan. Dan sistem ini pada masyarakat hukum adat Bali umumnya diterapkan barang-barang atau harta pusaka yang mempunyai nilai keagamaan atau religio magis (immateriil) seperti : leris pusaka, sanggah/pemerajan, alat-alat upacara dan upakara dan lain-lain yang dianggap mempunyai nilai seperti itu.
C.     Sistem pewarisan mayorat yaitu sistem pewarisan dimana harta warisan berada di bawah penguasaan seorang ahli waris yang ditunjuk, bisa anak tertua atau anak terkecil tergantung kesepakatan. Menguasai disini tidak berarti memiliki, tetapi hanya bersifat mengatur pemanfaatannya dan dengan konsekwensi harus menghidupi ahli waris yang lain.

3.2  Keterkaitan antara Sistem Pewarisan di Bali dikaitkan dengan Sistem Kekeluargaan

Sistem kekeluargaan yang dianut oleh masyarakat adat di Bali adalah sistem kekeluargaan patrilinial yang lebih dikenal luas dalam masyarakat Bali dengan istilah purusa atau kepurusa. sistem kekeluargaan ini, keturunan dilacak dari garis bapak. Prinsip-prinsip dalam kekeluargaan kepurusa sama dengan sistem kekeluargaan yang dianut dalam kitab Manawa Dharmasastra, yang dikenal sebagai salah satu kitab Hukum Hindu. hal ini tidak terlepas dari agama yang dianut mayoritas penduduk masyarakat Bali. 
Anak-anak yang lahir dari keturunan ini mendapatkan garis kekeluargaan dari garis bapaknya, sementara dengan keluarga ibunya hanya mempunyai hubungan sosial dan moral saja bukan hubungan hukum[19].
Kaitannya dengan Hukum adat waris di bali adalah sistem pewarisan didasarkan pada sistem kekeluargaan yang dianutnya yaitu patrilinial, dengan demikian diberikan berdasarkan pada sistem kekeluargaan kepurusa. Kelompok orang-orang yang termasuk dalam garis keutamaan pertama sebagai ahli waris adalah keturunan pewaris kenceng ke bawah, yaitu anak kandung laki-laki maupun anak kandung perempuan yang ditingkatkan statusnya sebgaai penerus keturunan (sentana rajeg) dan anak angkat (sentana peperasan.
Prinsip-prinsip pewarisan hampir serupa dengan ketentuan kitab Manawa Dharmasastra, hanya saja sedikit terjadi penyimpangan, dimana dalam Hukum Hindu perempuan mendapat seperempat, sedangkan di Bali perempuan tidak mendapat warisan. Seiring dengan kemajuan teknologi dan informasi, kaum perempuan mulai menuntut kesetaraan khususnya dalam hal pewarisan. Sebagian perempuan Hindu Bali menghendaki adanya pembagian warisan yang sama antara laki-laki dan perempuan, hal ini dianggap sebagai sebuah keadilan.
Melihat dari keadaan seperti ini, Berbicara warisan memang seolah-olah ada kesenjangan didalam hukum adat Bali, tetapi sebenarnya tidak demikian. Berbicara warisan adalah berbicara hak dan kewajiban. Perempuan Bali pada umumnya hanya sedikit mendapatkan warisan bahkan hampir tidak mendapat warisan sedangkan lelaki mendapat warisan lebih besar. Perempuan yang kawin adalah wajar mendapat sedikit warisan dari orang tua kandungnya karena ia akan melakukan kewajiban di rumah suaminya dan mendapat warisan bersama sang suami. sedangkan seorang laki-laki akan melaksanakan kewajiban yang besar terhadap leluhurnyaternyata misalnya upacara “ngaben”
Di Bali warisan mengandung hak dan kewajiban yang tidak bisa ditolak bersifat materiil maupun inmaterial, dapat disimpulkan kewajiban dan tanggung jawab keturunan laki-laki begitu berat. Sehingga wajar mendapat warisan lebih besar. Selain itu sebenarnya hukum Hindu (adat) juga tidak melarang orang tua memberi hibah berupa tanah untuk anak perempuannya yang kawin, inilah yang disebut dengan harta tatadan, tentu wewenang sepenuhnya ada pada orang tua. Seorang perempuan Hindu yang kawin juga mendapat “bekel” atau harta bawaan dan apabila ditinjau dari sudut pandang hukum Hindu perempuan mendapat bagian warisan seperempat dari keturunan laki-laki. Sebagai akibat hukum yang timbul atas pemberian harta tatadan, harus merawat orang tua nantinya kalau ia sudah sakit-sakitan sebagai wujud bhakti anak terhadap orang tuadan juga harus memelihara harta tatadan yang diberikan oleh orang tuanya.




BAB III

PENUTUP

3.1  Kesimpulan

1.      Sistem Pewarisan di Bali
Dalam hukum adat Bali yang berdasarkan pada sistem kekeluargaan kepurusa, orang-orang yang dapat diperhitungkan sebagai ahli waris dalam garis pokok keutamaan dan garis pokok pengganti adalah para laki-laki dalam keluarga yang bersangkutan, sepanjang tidak terputus haknya sebagai ahli waris.

Mengenai sistem pewarisan di Bali yang diikuti oleh masyarakat Hukum adat antara lain:
A.    Sistem pewarisan Individual, yaitu sistem pewarisan dimana harta warisan dapat dibagi secara perseorangan atau masing-masing ahli waris akan mendapatkan bagiannya, tetapi masih tetap memperhatikan sifat maupun jenis dari harta yang akan di bagi. Sistem pewarisan Individual di Bali pada umumnya diterapkan pada barang-barang atau harta warisan yang tidak mempunyai nilai keagamaan atau barang-barang yang termasuk harta benda matriil.
B.     Sifat pewarisan kolektif, yaitu sistem pewarisan dimana harta warisan berada atau dikuasai oleh satu orang dan semua ahli waris hanya mempunyai hak untuk menikmati saja. Tidak ada penerimaan secara perseorangan. Dan sistem ini pada masyarakat hukum adat Bali umumnya diterapkan barang-barang atau harta pusaka yang mempunyai nilai keagamaan atau religio magis (immateriil) seperti : leris pusaka, sanggah/pemerajan, alat-alat upacara dan upakara dan lain-lain yang dianggap mempunyai nilai seperti itu.
C.     Sistem pewarisan mayorat yaitu sistem pewarisan dimana harta warisan berada di bawah penguasaan seorang ahli waris yang ditunjuk, bisa anak tertua atau anak terkecil tergantung kesepakatan. Menguasai disini tidak berarti memiliki, tetapi hanya bersifat mengatur pemanfaatannya dan dengan konsekwensi harus menghidupi ahli waris yang lain.

2.      Keterkaitan antara Sistem Pewarisan di Bali dikaitkan dengan Sistem Kekeluargaan

Sistem pewarisan didasarkan pada sistem kekeluargaan yang dianutnya yaitu patrilinial, dengan demikian diberikan berdasarkan pada sistem kekeluargaan kepurusa. Kelompok orang-orang yang termasuk dalam garis keutamaan pertama sebagai ahli waris adalah keturunan pewaris kenceng ke bawah, yaitu anak kandung laki-laki maupun anak kandung perempuan yang ditingkatkan statusnya sebgaai penerus keturunan (sentana rajeg) dan anak angkat (sentana peperasan).


 

DAFTAR PUSTAKA


Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 2001. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Ketiga, Balai Pustaka, Jakarta.
Junus, Umar. 1990, Kebudayaan Minangkabau, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, Jambatan, Jakarta.
Korn, VE. 1972. Hukum Adat Waris di Bali, Hukum Adat Kekeluargaan di Bali, Fakultas   Hukum dan Pengetahuan Masyarakat Universitas Udayana, Denpasar.
Soekanto, Soerjono. 2002, Hukum Adat Indonesia, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Soepomo, 1977, Bab-bab tentang Hukum Adat, Pradnya Paramita, Jakarta.
Soepomo, R. Bab-bab tentang Hukum Adat, Pradnya Paramita, Jakarta.
Ter Haar, B. 2001, Asas-Asas dan Susunan Hukum Adat, Pradnya Paramita, Jakarta.
Wayan P. Windia & Ketut Sudantra, 2006, Pengantar Hukum Adat Bali, Prasasti O. Denpasar, Denpasar.



 [1] Wayan P. Windia & Ketut Sudantra, 2006, Pengantar Hukum Adat Bali, Prasasti O. Denpasar, Denpasar, h. 75.
 [2] Materill adalah dapat diniliai dengan uang, bernilai ekonomis.”contoh : untuk warisan rumah atau mobil maka cara pembagian warisannya dengan ditaksir nilainya”.
 [3]Imaterill adalah tidak bernilai uang, tetapi bernilai sosiologis dan magis.”contoh : pusaka ,jabatan ,gelar ,dll.
 [4] VE Korn, 1972. Hukum Adat Waris di Bali (diterjemahkan serta diberi catatan oleh I Gde Wayan Pangkat), Fakultas Hukum dan Pengetahuan Masyarakat Universitas Udayana, Denpasar (selanjutnya disingkat VE Korn I), h.3
 [5] VE Korn, 1978,  Hukum Adat Kekeluargaan di Bali, Fakultas Hukum dan Pengetahuan Masyarakat Universitas Udayana, Denpasar (selanjutnya disingkat VE Korn II), h. 1
 [6] Wayan P. Windia & Ketut Sudantra, op.cit, h. 77.
 [7] R. Soepomo, Bab-bab tentang Hukum Adat, Pradnya Paramita, Jakarta, h. 32.
 [8] Wayan P. Windia & Ketut Sudantra, op.cit, h. 78.
 [9] Umar Junus, 1990, Kebudayaan Minangkabau, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, Jambatan, Jakarta, h. 254.
 [10] B Ter Haar, 2001, Asas-Asas dan Susunan Hukum Adat, Pradnya Paramita, Jakarta,  h. 226.
 [11] VE Korn II, loc.cit.
 [12] Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 2001. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Ketiga, Balai Pustaka, Jakarta, h. 1269.
 [13] Soepomo, 1977, Bab-bab tentang Hukum Adat, Pradnya Paramita, Jakarta, h.83.
 [14] VE Korn I, loc.cit.
 [15] Wayan P. Windia & Ketut Sudantra, op.cit, h. 116.
 [16] Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, loc.cit.
 [17] Soerjono Soekanto, 2002, Hukum Adat Indonesia, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, h. 261.
 [18] VE Korn II, op.cit., h. 19.
 [19] Wayan P. Windia & Ketut Sudantra, loc.cit.

Comments

Popular posts from this blog

Perbedaan Surat atas Tunjuk (Aan Toonder) dan Surat atas Pengganti (Aan Order)

Resume Penggolongan Kesatuan Masyarakat Hukum Adat

Analisa Kasus Etika dan Tanggung Jawab Profesi (Kasus 3)