Kedudukan Tanah Desa Pakraman dalam Peraturan Perundang-undangan di Indonesia
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
LATAR
BELAKANG
Tanah
(land) memegang peranan yang sangat penting, karena tanpa adanya tanah maka eksistensi keberadaannya Negara diragukan keberadaannya.[1] Bahkan lebih tegas lagi,
bukan diragukan, melainkan adalah unsur terbentuknya Negara. Negara memiliki hak untuk mengatur
wilayahnya, salah satunya adalah tanah.
Tanah
memiliki makna yang sangat penting baik dalam sejarah (history), peradaban
manusia dari masa ke masa. Tanah juga memiliki nilai ekonomi, nilai sosial, dan
terpenting juga tidak bisa dikesampingkan adalah nilai Magic Religoius. Negara
mengatur secara sentralistik peruntukannya yang secara filsafat, pengaturannya
hanya untuk sebesar-benar kemakmuran rakyat. Tugas Negara, adalah merencanakan
ruang, menata, dan melaksanakan peruntukan dan melegalisasi hak atas tanah yang
diberikan negara.
Hak
menguasai dari Negara tersebut diatas pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada
daerah-daerah Swatantra dan masyarakat-masyarakat
hukum adat, sekedar diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan
nasional, menurut ketentuan-ketentuan Peraturan Pemerintah.
Masyarakat hukum adat (adatrecht gemeenschap) adalah
tidak lain dari pada kesatuan manusia yang teratur, menetap di suatu daerah
tertentu, mempunyai penguasa-penguasa dan mempunyai kekayaan yang berwujud
ataupun tidak berwujud, di mana para anggota kesatuan masing-masing mengalami
kehidupan yang wajar menurut kodrat alam dan tidak seorangpun di antara para
anggota itu mempunyai pikiran atau kecenderungan untuk membubarkan ikatan yang
telah bertumbuh itu atau meninggalkan dalam arti melepaskan diri dari ikatan
itu untuk selama-lamanya.[2]
Sekarang ini dengan masa demokrasi di Indonesia sebagian
masyarakat di daerah menuntut hak-hak kedaerahan, salah satunya adalah
pengakuan hak-hak masyarakat adat yaitu tanah adat. Hanya
saja Negara belum jelas memasukkan tanah adat itu sebagai hak jelas dan pasti
dan seperti apa implementasinya. Adanya kekhawatiran terhadap status hak tanah
ulayat diberikan bisa menjadi masalah bagi Negara, karena adanya
kepentingan-kepentingan yang lebih besar lagi.
Kejelasan
yang masih dianggap kabur dalam konstitusi kita, yaitu UUD 1945 mengenai bentuk
pengakuan hak-hak masyarakat adat, dalam hal tanah adat. UUPA tidak memasukkan
tanah adat sebagai suatu status hak yang dimiliki oleh komunitas masyarakat
adat, tetapi lebih menekankan pada penguasaan tanah oleh Negara. Sedangkan
kepemilikan dilakukan secara individual. Olehnya
itu adalah sesuatu yang sangat rasional untuk melihat dan mengkaji keberadaan hak ulayat dalam Hukum Positif
Indonesia khususnya di bidang hukum pertanahan.
1.2
RUMUSAN
MASALAH
1.
Bagaimanakah
kedudukan tanah desa pakraman dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia?
1.3
TUJUAN
PENULISAN
Berdasarkan
permasalahan yang dibahas dalam penulisan tugas akhir ini, tujuan dari
penulisan ini adalah sebagai berikut:
1.
Untuk mengetahui dan menganalisa kedudukan tanah desa pakraman dalam peraturan perundang-undangan.
2. Untuk
memberikan pengetahuan terhadap masyarakat mengenai peraturan perundang-undangan yang berlaku mengenai tanah
desa pekraman.
BAB II
TINJAUAN UMUM
2.1
MACAM-MACAM
HAK ATAS TANAH
Di Bali, dikenal
dua macam hak atas tanah, yaitu hak-hak perseorangan atas tanah dan hak-hak
masyarakat hukum adat (desa, pura). Jenis-jenis hak atas tanah perseorangan
adalah seperti yang disebutkan dalam pasal 16 ayat (1) UUPA, yaitu hak milik,
hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai, hak sewa, dan lain-lain.
Tanah-tanah perseorangan sepenuhnya tunduk kepada hukum tanah nasional
sedangkan tanah-tanah yang merupakan hak-hak mayarakat adat disamping tunduk
kepada hukum nasional masih terikat oleh ketentuan-ketentuan adat, seperti yang
ditentukan melalaui awig-awig, pararem, dan dresta.[3]
2.2
TANAH
MILIK DESA PAKRAMAN
Dalam Peraturan
Daerah Nomor 3 tahun 2003, khusunya Pasal 9 ayat (5) dengan jelas disebutkan
adanya tanah milik desa pekraman atau tanah pakran. Tanah-tanah yang
dimaksudkan untuk itu adalah tanah-tanah yang lazim disebut tanah desa atau
tanah druwe, yang oleh beberapa pihak dikualifikasikan sebagai tanah ulayat
menurut UUPA.[4]
Tanah-tanah tersebut juga lazim disebut tanah adat, suatu istilah yang oleh
beberapa kalangan masih diragukan batas-batas cakupannya.[5]
Tanah-tanah
milik desa pekraman tersebut memberi kekuasaan kepada desa pakraman untuk
mengatur dan memanfaatkan tanah-tanah tersebut, sesuai awig-awig atau pararem
yang dibuatnya. Tanah-tanah desa pakraman meliputi:
1.
Tanah
desa dalam arti sempit atau tanah druwe desa, yaitu tanah-tanah yang dimiliki
atau dikuasai langsung oleh desa pekraman, yang dapat berupa tanah setra, tanah
pasar, tanah lapang, tanah bukti, dan lain-lain seperti tanah-tanah untuk
bangunan fasilitas desa (balai desa, wantilan balai banjar, dan sebagainya)
2.
Tanah
Pekarangan Desa (PKD) yaitu tanah desa milik desa pakraman yang diberikan
kepada krama desa untuk dipakai sebagai tempat pemukiman, umumnya dengan ukuran
luas tertentu untuk tiap krama desa, seperti sikut satak, sikut samas, sikut
domas, dan sebagainya.tidak semua desa menggunakan istilah tanah pekarangan
desa, ada yang menggunakan istilah karang kawis, tanah tatak ayah, dan
sebagainya. Melekat dengan hak menempati tanah karang desa adalah kewajiban
krama desa kepada desa yang disebut ayahan, baik berupa tenaga maupun materi.
3.
Tanaha
ayahan desa yaitu tanah-tanah pertanian milik desa yang diserahkan kepada krama
desa dengan hak untuk menikmati hasilnya, yang melekat pula dengan kewajiban
(ayahan) kepada desa.
Disamping tanah-tanah diatas, masih ada tanah pura yang
juga masih tunduk kepada ketentuan-ketentuan hukum adat. Tanah pura adalah
tanah yang diperuntukkan untuk bangunan pura ataupun tanah yang diperuntukkan
bagi keperluan pura, baik berupa tanah pertanian, dan lain-lain. Tanah pura
juga dapat digolongkan sebagai tanah desa jika pura tersebut adalah milik desa
pakraman, tetapi untuk kepentingan akademis sebaiknya tanah pura dipisahkan
dengan tanah desa.
BAB III
PEMBAHASAN
3.1
KEDUDUKAN
TANAH DESA PAKRAMAN DALAM PERUNDANG-UNDANGAN
3.1.1
UNDANG-UNDANG
DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945
Untuk mengetahui kedudukan tanah desa pekraman dalam
peraturan perundang-undangan haruslah diurutkan dari tingkat perundang-undangan
yang tertinggi, yaitu Undang-Undang Dasar, lalu perundang-undangan yang
tingkatnya lebih rendah.
Pada tahun 2000 MPR melakukan amandemen II
terhadap UUD 1945 dan pengaturan tentang keberadaan MHA (Masyarakat Hukum Adat)
yang keberadaannya diatur di dalam Pasal 18 B ayat (2) dalam bab tentang
Pemerintahan Daerah dan Pasal 28 l ayat (3) dalam bab tentang Hak Asasi
Manusia. Adapun bunyi lengkap kedua pasal tersebut
adalah sebagai berikut:
Pasal 18 B ayat (2) :
“Negara mengakui dan menghormati
kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya
sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip
Negara Keratuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang”.
Pasal 28 l ayat (3):
“Identitas budaya dan hak masyarakat
tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban”.
Berbeda dengan perumusan Pasal 18
Undang Undang Dasar 1945 lama, dalam perumusan Pasal 18 B ayat (2) Undang
Undang Dasar 1945 hasil amandemen tersebut dicantumkan sejumlah persyaratan
terhadap pengakuan dan penghormatan atas keberadaan kesatuan-kesatuan
Masyarakat Hukum Adat tersebut. Asal-usul dan kedudukan istimewa yang dimiliki
daerah-daerah tersebut sebagaimana diakui oleh Pasal 18 Undang Undang Dasar
1945 lama tidak lagi diakui, sehingga harus ihapuskan dengan tidak dicantumkannya
kembali dalam U.U.D 1945 amandemen II.[6]
3.1.2
UNDANG-UNDANG
REPUBLIK INDONESIA NO 5 TAHUN 1960 TENTANG PERATURAN DASAR POKOK-POKOK AGRARIA
Undang-undang
yang secara resmi mengakui eksistensi tanah desa pakraman adalah Undang-Undang
Pokok Agraria, khususnya seperti yang disebutkan dalam mengingat ketentuan
Pasal
2 ayat 2
Hak menguasai dari Negara termaksud
dalam ayat 1 pasal ini memberi wewenang untuk :
a. mengatur dan menyelenggarakan
peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa
tersebut;
b. menentukan dan mengatur
hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa;
c. menentukan dan mengatur
hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatanperbuatan hukum yang
mengenai bumi, air dan ruang angkasa.
Pasal
2 ayat (3) UUPA
Hak menguasai dari Negara tersebut di atas
pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada daerah-daerah Swatantra dan masyarakat-masyarakat
hukum adat, sekedar diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan
nasional, menurut ketentuan-ketentuan Peraturan Pemerintah.
Pasal
3 UUPA menyatakan bahwa dengan
mengingat ketentuan Pasal 1 dan 2 pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang
serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut
kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan
kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta
tidak boleh bertentangan dengan undang-undang atau peraturan-peraturan lain
yang lebih tinggi.
Oleh karena itu, kedudukan dan peran hukum tanah adat mulai memiliki
porsi yang cukup besar. Keberadaan hukum tanah adat mendapat pengakuan di dalam
UUPA. Kelihatan di sini bahwa peran pemerintah atau penguasa sangat menentukan
untuk menciptakan suasana yang kondusif dalam bidang pertanahan, khususnya
hukum tanah adat.
Prinsip
mendahulukan kepentingan nasional dan Negara dapat diartikan bahwa segala
kebijaksanaan bidang pertanahan tidak boleh dibiarkan merugikan kepentingan
masyarakat. Tanah tidak diperkenankan semata-mata untuk kepentingan pribadi
atau kelompok, kegunaannya harus disesuaikan dengan keadaanya dan sifat dari
haknya sehingga bermanfaat, baik untuk kesejahteraan dan kebahagiaan yang mempunyai,
serta baik dan bermanfaat untuk masyarakat dan kepentingan negara.
3.1.3
PERATURAN
DAERAH NOMOR 3 TAHUN 2001 TENTANG DESA PAKRAMAN
Dalam peraturan
daerah, pengakuan terhadap eksistensi tanah desa pakraman ditegaskan dalam
Pasal 9 Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2001 tentang Desa Pakraman. Dalam Pasal
9 ayat (5) Tanah
desa pakraman dan atau tanah milik desa pakraman tidak dapat disertifikatkan atas nama
pribadi; dan Pasal 9 ayat (6) Ayat Tanah desapakraman dan
tanah milik desapakraman bebas dari pajak bumi dan bangunan.
Dengan ini terlihat dengan jelas
kedudukan yuridis atas kepemilikan tanah milik desa pakraman, dimana tanah ini
tidak dapat dimiliki secara pribadi namun merupakan milik bersama desa pakraman
dan mengenai pajak, negara membebaskan pembayaran pajak.
3.1.4
PERUNDANG-UNDANGAN
LAIN TERKAIT HAK ULAYAT
Pada era reformasi, perkembangan adopsi pengakuan, penghormatan, dan
perlindungan terhadap hak ulayat antara lain tercermin dalam beberapa
undang-undang di bawah ini:
1.
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang
Pengelolaan Lingkungan Hidup
Dikatakatan bahwa dalam rangka perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup, Pemerintah bertugas dan berwenang menetapkan
kebijakan mengenai tata cara pengakuan keberadaan masyarakat hukum adat,
kearifan lokal, dan hak masyarakat hukum adat yang terkait dengan perlindungan
dan pengelolaan lingkungan hidup.[7]
2.
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999
tentang Hak Asasi Manusia
Pasal 5 Ayat
(3) Undang-Undang tentang Hak Asasi Manusia menyatakan, Setiap orang yang
termasuk kelompok masyarakat yang rentan berhak memperoleh perlakuan dan
perlindungan lebih berkenaan dengan kekhususannya. Selanjutnya
Pasal 6 menyatakan bahwa dalam rangka penegakan hak asasi manusia, perbedaan
dan kebutuhan dalam masyarakat hukum adat harus diperhatikan dan dilindungi
oleh hukum, masyarakat, dan pemerintah. Identitas budaya masyarakat hukum adat,
termasuk hak atas tanah ulayat dilindungi, selaras dengan perkembangan zaman.
3.
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999
tentang Kehutanan
Undang-Undang Kehutanan mendefinisikan hutan adat
sebagai hutan negara yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat.[8]
Selanjutnya dalam Pasal 4 ayat (3) dikatakan, Penguasaan hutan oleh Negara
tetap memperhatikan hak masyarakat hukum adat, sepanjang kenyataannya masih ada
dan diakui keberadaannya, serta tidak bertentangan dengan kepentingan nasional.
Kemudian dalam Pasal 5-nya menyatakan, hutan berdasarkan statusnya terdiri dari
hutan negara dan hutan hak. Hutan negara dapat berupa hutan adat. Selain itu
Pemerintah punya kewajiban menetapkan status hutan dan hutan adat sepanjang
menurut kenyataannya masyarakat hukum adat yang bersangkutan masih ada dan
diakui keberadaannya.
4.
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004
tentang Sumber Daya Air
Pasal 6
Undang-Undang tentang Sumber Daya Air menyatakan, Pengusahaan sumber daya air
diselenggarakan oleh Pemerintah danTahunatau pemerintah daerah dengan tetap
mengakui hak ulayat masyarakat hukum adat setempat dan hak yang serupa dengan
itu, sepan jang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan peraturan
undang-undang. Lebih lanjut dikatakan, hak ulayat masyarakat hukum adat atas
sumber daya air sebagaimana tetap diakui sepanjang kenyataannya masih ada dan
telah dikukuhkan dengan peraturan daerah setempat”.
5.
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004
tentang Perkebunan
Undang-Undang Perkebunan menyatakan,
apabila tanah yang diperlukan untuk perkebunan adalah tanah hak ulayat
masyarakat hukum adat yang menurut kenyataannya masih ada mendahului pemberian
hak pemohon hak wajib melakukan musyawarah dengan masyarakat adat pemegang hak
ulayat dan warga pemegang hak atas tanah yang bersangkutan untuk memperoleh
kesepakatan mengenai penyerahan tanah dan imbalannya.[9]
Selain dalam undang-undang yang telah disebutkan diatas, masih banyak
undang-undang yang memberikan pengakuan akan eksistensi hak ulayat masyarakat
hukum adat di Indonesia, diantaranya adalah:
1.
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001
tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua;[10]
2.
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001
tentang Minyak dan Gas Bumi;[11]
3.
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2002
tentang Ketenagalistrikan;[12]
4.
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004
tentang Perikanan;[13]
5.
Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2004
tentang Jalan;[14]
Disamping berbagai undang-undang,
perlu dicatat bahwa pada tahun 1999, terbit Peraturan Menteri Negara
Agraria/Kepala BPN Nomor 5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak
Ulayat Masyarakat Hukum Adat, yang merupakan penegasan lebih lanjut dari bentuk
pengakuan terhadap hak ulayat masyarakat hukum adat sebagaimana tercantum dalam
Pasal 3 UUPA. Peraturan Menteri ini secara eksplisit mengemukakan kriteria
masih berlangsungnya hak ulayat masyarakat adat berdasarkan pada keberadaan
masyarakat adat, wilayah dan tatanan hukum adatnya. Dalam dimensi lokal
penghormatan dan perlindungan hak-hak masyarakat hukum adat dapat dilihat
misalnya pada:[15]
1.
Peraturan Daerah Kabupaten Lebak
Nomor 32 Tahun2001 tentang Perlindungan Atas Hak Ulayat Masyarakat Baduy;
2.
Peraturan Daerah Kabupaten Nunukan
Nomor 3 Tahun2004 tentang Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat; dan
3.
Perda Kabupaten Nunukan No 4 Tahun
2004 tentang Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat Lundayeh Kabupaten Nunukan.
BAB IV
PENUTUP
4.1
KESIMPULAN
Dalam
perundang-undangan di Indonesia mengakui, mengjormati dan memberikan perlindungan
hukum bagi tanah desa pekraman diantaranya:
Pasal 18 B ayat (2) :
“Negara mengakui dan menghormati
kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya
sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip
Negara Keratuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang”.
Pasal 28 l ayat (3):
“Identitas budaya dan hak masyarakat
tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban”.
Pasal
2 ayat (3) UUPA
Hak menguasai dari Negara tersebut di atas
pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada daerah-daerah Swatantra dan masyarakat-masyarakat
hukum adat, sekedar diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan
nasional, menurut ketentuan-ketentuan Peraturan Pemerintah.
Pasal
3 UUPA menyatakan bahwa dengan
mengingat ketentuan Pasal 1 dan 2 pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang
serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut
kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan
kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta
tidak boleh bertentangan dengan undang-undang atau peraturan-peraturan lain
yang lebih tinggi.
Pasal 9 ayat
(5)
Tanah desa pakraman dan atau tanah
milik desa pakraman
tidak dapat
disertifikatkan atas nama pribadi;
Pasal 9 ayat (6)
Tanah desapakraman dan tanah
milik desapakraman bebas dari pajak bumi dan bangunan.
1.
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997
tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup
2.
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999
tentang Hak Asasi Manusia
3.
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999
tentang Kehutanan
4.
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004
tentang Sumber Daya Air
5.
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004
tentang Perkebunan
6.
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001
tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua;
7.
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001
tentang Minyak dan Gas Bumi;
8.
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2002
tentang Ketenagalistrikan;
9.
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004
tentang Perikanan;
10. Undang-Undang
Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan;
11. Peraturan
Daerah Kabupaten Lebak Nomor 32 Tahun2001 tentang Perlindungan Atas Hak Ulayat
Masyarakat Baduy;
12. Peraturan
Daerah Kabupaten Nunukan Nomor 3 Tahun2004 tentang Hak Ulayat Masyarakat Hukum
Adat; dan
13. Perda
Kabupaten Nunukan No 4 Tahun 2004 tentang Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat
Lundayeh Kabupaten Nunukan.
4.2
SARAN
1.
Perlindungan terhadap keberadaan tanah
desa pekraman dalam peraturan
perundang-undangan di Indonesia sebaiknya lebih ditingkatkan, untuk lebih mewadahi
kepentingan masyarakat adat.
Dilakukan sosialisasi yang lebih terarah kepada
masyarakat mengenai
segala bentuk
perubahan atau
pun penambahan dalam peraturan perundang-undangan mengenai tanah desa pakraman.
[1] 1 Harold J.Laski, memberikan
definisi Negara adalah “The state is a society which is integrated by
possessing a coerciveauthority legally supreme over any individual or group
which is part of the society (Negara adalah suatu masyarakat yang
diintegrasikan karena mempunyai wewenangyang
bersifat memaksa dan yang secara sah lebih berkuasa daripada individu atau
kelompok yang merupakan bagian dari masyarakat).”Harold J. Laski, 1947, The
State in Theory and Practice, New York, The Viking Press, 1947), page 8-9.
[3] Wayan P. Windia & Ketut
Sudantra, 2006, Pengantar Hukum Adat Bali,
Prasasti O. Denpasar, Denpasar, h. 125.
[4] M Suasthawa
D.,M., 1987. Status dan Fungsi Tanah Adat
di Bali Setelah Berlakunya UUPA, Denpasar; CV Kayumas Agung. H. 38
[5] Mengenai
pengertian “tanah adat” dapat dialami lebih dalam dari karangan Mahadi, 1978. “Kedudukan Tanah Adat Dewas”, dalam BPHN,
Simposium Undang-Undang Pokok Agraria dan Kedudukan Tanah-tanah Adat Dewasa ini,
Binacipta. h.57
[6] Suherman
Toha, dkk., Laporan Akhir Penelitian Hukum Eksistensi Hukum Adat dalam
Pelaksanaan Pemerintahan Desa: Study Empiric Di Bali, Puslitbang Badan
Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan HAM R.I., 2011.
[15] Maria S. W.
Soemardjono, Tanah Dalam Perspketif Hak Ekonomi Sosial dan Budaya, Kompas,
Jakarta, 2009, hlm 167
Comments
Post a Comment