Kedudukan Tanah Desa Pakraman dalam Peraturan Perundang-undangan di Indonesia



BAB I

PENDAHULUAN


1.1  LATAR BELAKANG

Tanah (land) memegang peranan yang sangat penting, karena tanpa adanya tanah maka eksistensi keberadaannya Negara diragukan keberadaannya.[1] Bahkan lebih tegas lagi, bukan diragukan, melainkan adalah unsur terbentuknya Negara. Negara memiliki hak untuk mengatur wilayahnya, salah satunya adalah tanah.
Tanah memiliki makna yang sangat penting baik dalam sejarah (history), peradaban manusia dari masa ke masa. Tanah juga memiliki nilai ekonomi, nilai sosial, dan terpenting juga tidak bisa dikesampingkan adalah nilai Magic Religoius. Negara mengatur secara sentralistik peruntukannya yang secara filsafat, pengaturannya hanya untuk sebesar-benar kemakmuran rakyat. Tugas Negara, adalah merencanakan ruang, menata, dan melaksanakan peruntukan dan melegalisasi hak atas tanah yang diberikan negara.
Hak menguasai dari Negara tersebut diatas pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada daerah-daerah Swatantra dan masyarakat-masyarakat hukum adat, sekedar diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional, menurut ketentuan-ketentuan Peraturan Pemerintah.
Masyarakat hukum adat (adatrecht gemeenschap) adalah tidak lain dari pada kesatuan manusia yang teratur, menetap di suatu daerah tertentu, mempunyai penguasa-penguasa dan mempunyai kekayaan yang berwujud ataupun tidak berwujud, di mana para anggota kesatuan masing-masing mengalami kehidupan yang wajar menurut kodrat alam dan tidak seorangpun di antara para anggota itu mempunyai pikiran atau kecenderungan untuk membubarkan ikatan yang telah bertumbuh itu atau meninggalkan dalam arti melepaskan diri dari ikatan itu untuk selama-lamanya.[2]
Sekarang ini dengan masa demokrasi di Indonesia sebagian masyarakat di daerah menuntut hak-hak kedaerahan, salah satunya adalah pengakuan hak-hak masyarakat adat yaitu tanah adat. Hanya saja Negara belum jelas memasukkan tanah adat itu sebagai hak jelas dan pasti dan seperti apa implementasinya. Adanya kekhawatiran terhadap status hak tanah ulayat diberikan bisa menjadi masalah bagi Negara, karena adanya kepentingan-kepentingan yang lebih besar lagi.
Kejelasan yang masih dianggap kabur dalam konstitusi kita, yaitu UUD 1945 mengenai bentuk pengakuan hak-hak masyarakat adat, dalam hal tanah adat. UUPA tidak memasukkan tanah adat sebagai suatu status hak yang dimiliki oleh komunitas masyarakat adat, tetapi lebih menekankan pada penguasaan tanah oleh Negara. Sedangkan kepemilikan dilakukan secara individual. Olehnya itu adalah sesuatu yang sangat rasional untuk melihat dan mengkaji keberadaan hak ulayat dalam Hukum Positif Indonesia khususnya di bidang hukum pertanahan.

1.2  RUMUSAN MASALAH

1.      Bagaimanakah kedudukan tanah desa pakraman dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia?

1.3  TUJUAN PENULISAN

Berdasarkan permasalahan yang dibahas dalam penulisan tugas akhir ini, tujuan dari penulisan ini adalah sebagai berikut:
1.    Untuk mengetahui dan menganalisa kedudukan tanah desa pakraman dalam peraturan perundang-undangan.
2.    Untuk memberikan pengetahuan terhadap masyarakat mengenai peraturan perundang-undangan yang berlaku mengenai tanah desa pekraman.

BAB II

TINJAUAN UMUM


2.1  MACAM-MACAM HAK ATAS TANAH

Di Bali, dikenal dua macam hak atas tanah, yaitu hak-hak perseorangan atas tanah dan hak-hak masyarakat hukum adat (desa, pura). Jenis-jenis hak atas tanah perseorangan adalah seperti yang disebutkan dalam pasal 16 ayat (1) UUPA, yaitu hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai, hak sewa, dan lain-lain. Tanah-tanah perseorangan sepenuhnya tunduk kepada hukum tanah nasional sedangkan tanah-tanah yang merupakan hak-hak mayarakat adat disamping tunduk kepada hukum nasional masih terikat oleh ketentuan-ketentuan adat, seperti yang ditentukan melalaui awig-awig, pararem, dan dresta.[3]

2.2  TANAH MILIK DESA PAKRAMAN

Dalam Peraturan Daerah Nomor 3 tahun 2003, khusunya Pasal 9 ayat (5) dengan jelas disebutkan adanya tanah milik desa pekraman atau tanah pakran. Tanah-tanah yang dimaksudkan untuk itu adalah tanah-tanah yang lazim disebut tanah desa atau tanah druwe, yang oleh beberapa pihak dikualifikasikan sebagai tanah ulayat menurut UUPA.[4] Tanah-tanah tersebut juga lazim disebut tanah adat, suatu istilah yang oleh beberapa kalangan masih diragukan batas-batas cakupannya.[5]
Tanah-tanah milik desa pekraman tersebut memberi kekuasaan kepada desa pakraman untuk mengatur dan memanfaatkan tanah-tanah tersebut, sesuai awig-awig atau pararem yang dibuatnya. Tanah-tanah desa pakraman meliputi:
1.      Tanah desa dalam arti sempit atau tanah druwe desa, yaitu tanah-tanah yang dimiliki atau dikuasai langsung oleh desa pekraman, yang dapat berupa tanah setra, tanah pasar, tanah lapang, tanah bukti, dan lain-lain seperti tanah-tanah untuk bangunan fasilitas desa (balai desa, wantilan balai banjar, dan sebagainya)
2.      Tanah Pekarangan Desa (PKD) yaitu tanah desa milik desa pakraman yang diberikan kepada krama desa untuk dipakai sebagai tempat pemukiman, umumnya dengan ukuran luas tertentu untuk tiap krama desa, seperti sikut satak, sikut samas, sikut domas, dan sebagainya.tidak semua desa menggunakan istilah tanah pekarangan desa, ada yang menggunakan istilah karang kawis, tanah tatak ayah, dan sebagainya. Melekat dengan hak menempati tanah karang desa adalah kewajiban krama desa kepada desa yang disebut ayahan, baik berupa tenaga maupun materi.
3.      Tanaha ayahan desa yaitu tanah-tanah pertanian milik desa yang diserahkan kepada krama desa dengan hak untuk menikmati hasilnya, yang melekat pula dengan kewajiban (ayahan) kepada desa.
Disamping tanah-tanah diatas, masih ada tanah pura yang juga masih tunduk kepada ketentuan-ketentuan hukum adat. Tanah pura adalah tanah yang diperuntukkan untuk bangunan pura ataupun tanah yang diperuntukkan bagi keperluan pura, baik berupa tanah pertanian, dan lain-lain. Tanah pura juga dapat digolongkan sebagai tanah desa jika pura tersebut adalah milik desa pakraman, tetapi untuk kepentingan akademis sebaiknya tanah pura dipisahkan dengan tanah desa.



BAB III

PEMBAHASAN


3.1  KEDUDUKAN TANAH DESA PAKRAMAN DALAM PERUNDANG-UNDANGAN

3.1.1        UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945

Untuk mengetahui kedudukan tanah desa pekraman dalam peraturan perundang-undangan haruslah diurutkan dari tingkat perundang-undangan yang tertinggi, yaitu Undang-Undang Dasar, lalu perundang-undangan yang tingkatnya lebih rendah.
Pada tahun 2000 MPR melakukan amandemen II terhadap UUD 1945 dan pengaturan tentang keberadaan MHA (Masyarakat Hukum Adat) yang keberadaannya diatur di dalam Pasal 18 B ayat (2) dalam bab tentang Pemerintahan Daerah dan Pasal 28 l ayat (3) dalam bab tentang Hak Asasi Manusia. Adapun bunyi lengkap kedua pasal tersebut adalah sebagai berikut:
Pasal 18 B ayat (2) :
“Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Keratuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang”.
Pasal 28 l ayat (3):
“Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban”.
 Berbeda dengan perumusan Pasal 18 Undang Undang Dasar 1945 lama, dalam perumusan Pasal 18 B ayat (2) Undang Undang Dasar 1945 hasil amandemen tersebut dicantumkan sejumlah persyaratan terhadap pengakuan dan penghormatan atas keberadaan kesatuan-kesatuan Masyarakat Hukum Adat tersebut. Asal-usul dan kedudukan istimewa yang dimiliki daerah-daerah tersebut sebagaimana diakui oleh Pasal 18 Undang Undang Dasar 1945 lama tidak lagi diakui, sehingga harus ihapuskan dengan tidak dicantumkannya kembali dalam U.U.D 1945 amandemen II.[6]

3.1.2        UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO 5 TAHUN 1960 TENTANG PERATURAN DASAR POKOK-POKOK AGRARIA

Undang-undang yang secara resmi mengakui eksistensi tanah desa pakraman adalah Undang-Undang Pokok Agraria, khususnya seperti yang disebutkan dalam mengingat ketentuan
Pasal 2 ayat 2
Hak menguasai dari Negara termaksud dalam ayat 1 pasal ini memberi wewenang untuk :
a. mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut;
b. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa;
c. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatanperbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa.
Pasal 2 ayat (3) UUPA
 Hak menguasai dari Negara tersebut di atas pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada daerah-daerah Swatantra dan masyarakat-masyarakat hukum adat, sekedar diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional, menurut ketentuan-ketentuan Peraturan Pemerintah.
Pasal 3 UUPA menyatakan bahwa dengan mengingat ketentuan Pasal 1 dan 2 pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan undang-undang atau peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi.
Oleh karena itu, kedudukan dan peran hukum tanah adat mulai memiliki porsi yang cukup besar. Keberadaan hukum tanah adat mendapat pengakuan di dalam UUPA. Kelihatan di sini bahwa peran pemerintah atau penguasa sangat menentukan untuk menciptakan suasana yang kondusif dalam bidang pertanahan, khususnya hukum tanah adat.
Prinsip mendahulukan kepentingan nasional dan Negara dapat diartikan bahwa segala kebijaksanaan bidang pertanahan tidak boleh dibiarkan merugikan kepentingan masyarakat. Tanah tidak diperkenankan semata-mata untuk kepentingan pribadi atau kelompok, kegunaannya harus disesuaikan dengan keadaanya dan sifat dari haknya sehingga bermanfaat, baik untuk kesejahteraan dan kebahagiaan yang mempunyai, serta baik dan bermanfaat untuk masyarakat dan kepentingan negara.

3.1.3        PERATURAN DAERAH NOMOR 3 TAHUN 2001 TENTANG DESA PAKRAMAN

Dalam peraturan daerah, pengakuan terhadap eksistensi tanah desa pakraman ditegaskan dalam Pasal 9 Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2001 tentang Desa Pakraman. Dalam Pasal 9 ayat (5) Tanah desa pakraman dan atau tanah milik desa pakraman tidak dapat disertifikatkan atas nama pribadi; dan Pasal 9 ayat (6) Ayat Tanah desapakraman dan tanah milik desapakraman bebas dari pajak bumi dan bangunan.
Dengan ini terlihat dengan jelas kedudukan yuridis atas kepemilikan tanah milik desa pakraman, dimana tanah ini tidak dapat dimiliki secara pribadi namun merupakan milik bersama desa pakraman dan mengenai pajak, negara membebaskan pembayaran pajak.

3.1.4        PERUNDANG-UNDANGAN LAIN TERKAIT HAK ULAYAT

Pada era reformasi, perkembangan adopsi pengakuan, penghormatan, dan perlindungan terhadap hak ulayat antara lain tercermin dalam beberapa undang-undang di bawah ini:
1.         Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup
Dikatakatan bahwa dalam rangka perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, Pemerintah bertugas dan berwenang menetapkan kebijakan mengenai tata cara pengakuan keberadaan masyarakat hukum adat, kearifan lokal, dan hak masyarakat hukum adat yang terkait dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.[7]
2.         Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
Pasal 5 Ayat (3) Undang-Undang tentang Hak Asasi Manusia menyatakan, Setiap orang yang termasuk kelompok masyarakat yang rentan berhak memperoleh perlakuan dan perlindungan lebih berkenaan dengan kekhususannya.   Selanjutnya Pasal 6 menyatakan bahwa dalam rangka penegakan hak asasi manusia, perbedaan dan kebutuhan dalam masyarakat hukum adat harus diperhatikan dan dilindungi oleh hukum, masyarakat, dan pemerintah. Identitas budaya masyarakat hukum adat, termasuk hak atas tanah ulayat dilindungi, selaras dengan perkembangan zaman.
3.         Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
Undang-Undang Kehutanan mendefinisikan hutan adat sebagai hutan negara yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat.[8] Selanjutnya dalam Pasal 4 ayat (3) dikatakan, Penguasaan hutan oleh Negara tetap memperhatikan hak masyarakat hukum adat, sepanjang kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya, serta tidak bertentangan dengan kepentingan nasional. Kemudian dalam Pasal 5-nya menyatakan, hutan berdasarkan statusnya terdiri dari hutan negara dan hutan hak. Hutan negara dapat berupa hutan adat. Selain itu Pemerintah punya kewajiban menetapkan status hutan dan hutan adat sepanjang menurut kenyataannya masyarakat hukum adat yang bersangkutan masih ada dan diakui keberadaannya.
4.         Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air
Pasal 6 Undang-Undang tentang Sumber Daya Air menyatakan, Pengusahaan sumber daya air diselenggarakan oleh Pemerintah danTahunatau pemerintah daerah dengan tetap mengakui hak ulayat masyarakat hukum adat setempat dan hak yang serupa dengan itu, sepan jang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan peraturan undang-undang. Lebih lanjut dikatakan, hak ulayat masyarakat hukum adat atas sumber daya air sebagaimana tetap diakui sepanjang kenyataannya masih ada dan telah dikukuhkan dengan peraturan daerah setempat”.
5.         Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan
Undang-Undang Perkebunan menyatakan, apabila tanah yang diperlukan untuk perkebunan adalah tanah hak ulayat masyarakat hukum adat yang menurut kenyataannya masih ada mendahului pemberian hak pemohon hak wajib melakukan musyawarah dengan masyarakat adat pemegang hak ulayat dan warga pemegang hak atas tanah yang bersangkutan untuk memperoleh kesepakatan mengenai penyerahan tanah dan imbalannya.[9]
Selain dalam undang-undang yang telah disebutkan diatas, masih banyak undang-undang yang memberikan pengakuan akan eksistensi hak ulayat masyarakat hukum adat di Indonesia, diantaranya adalah:
1.        Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua;[10]
2.        Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi;[11]
3.        Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan;[12]
4.        Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan;[13]
5.        Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan;[14]
Disamping berbagai undang-undang, perlu dicatat bahwa pada tahun 1999, terbit Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat, yang merupakan penegasan lebih lanjut dari bentuk pengakuan terhadap hak ulayat masyarakat hukum adat sebagaimana tercantum dalam Pasal 3 UUPA. Peraturan Menteri ini secara eksplisit mengemukakan kriteria masih berlangsungnya hak ulayat masyarakat adat berdasarkan pada keberadaan masyarakat adat, wilayah dan tatanan hukum adatnya. Dalam dimensi lokal penghormatan dan perlindungan hak-hak masyarakat hukum adat dapat dilihat misalnya pada:[15]
1.        Peraturan Daerah Kabupaten Lebak Nomor 32 Tahun2001 tentang Perlindungan Atas Hak Ulayat Masyarakat Baduy;
2.        Peraturan Daerah Kabupaten Nunukan Nomor 3 Tahun2004 tentang Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat; dan
3.        Perda Kabupaten Nunukan No 4 Tahun 2004 tentang Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat Lundayeh Kabupaten Nunukan.

BAB IV

PENUTUP


4.1  KESIMPULAN

Dalam perundang-undangan di Indonesia mengakui, mengjormati dan memberikan perlindungan hukum bagi tanah desa pekraman diantaranya:
Pasal 18 B ayat (2) :
“Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Keratuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang”.
Pasal 28 l ayat (3):
“Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban”.
Pasal 2 ayat (3) UUPA
 Hak menguasai dari Negara tersebut di atas pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada daerah-daerah Swatantra dan masyarakat-masyarakat hukum adat, sekedar diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional, menurut ketentuan-ketentuan Peraturan Pemerintah.
Pasal 3 UUPA menyatakan bahwa dengan mengingat ketentuan Pasal 1 dan 2 pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan undang-undang atau peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi.
Pasal 9 ayat (5)
Tanah desa pakraman dan atau tanah milik desa pakraman tidak dapat disertifikatkan atas nama pribadi;
Pasal 9 ayat (6)
Tanah desapakraman dan tanah milik desapakraman bebas dari pajak bumi dan bangunan.
1.      Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup
2.      Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
3.      Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
4.      Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air
5.      Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan
6.      Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua;
7.      Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi;
8.      Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan;
9.      Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan;
10.  Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan;
11.  Peraturan Daerah Kabupaten Lebak Nomor 32 Tahun2001 tentang Perlindungan Atas Hak Ulayat Masyarakat Baduy;
12.  Peraturan Daerah Kabupaten Nunukan Nomor 3 Tahun2004 tentang Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat; dan
13.  Perda Kabupaten Nunukan No 4 Tahun 2004 tentang Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat Lundayeh Kabupaten Nunukan.

4.2  SARAN

1.      Perlindungan terhadap keberadaan tanah desa pekraman  dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia sebaiknya lebih ditingkatkan, untuk lebih mewadahi kepentingan masyarakat adat.
Dilakukan sosialisasi yang lebih terarah kepada masyarakat mengenai segala bentuk perubahan atau pun penambahan dalam peraturan perundang-undangan mengenai tanah desa pakraman.


[1] 1 Harold J.Laski, memberikan definisi Negara adalah “The state is a society which is integrated by possessing a coerciveauthority legally supreme over any individual or group which is part of the society (Negara adalah suatu masyarakat yang diintegrasikan karena mempunyai wewenangyang bersifat memaksa dan yang secara sah lebih berkuasa daripada individu atau kelompok yang merupakan bagian dari masyarakat).”Harold J. Laski, 1947, The State in Theory and Practice, New York, The Viking Press, 1947), page 8-9.
[2] Roestandi Ardiwilaga, 1962, Hukum Agraria Indonesia, Penerbit Masa Bakti, Jakarta, hlm 23
[3] Wayan P. Windia & Ketut Sudantra, 2006, Pengantar Hukum Adat Bali, Prasasti O. Denpasar, Denpasar, h. 125.
[4] M Suasthawa D.,M., 1987. Status dan Fungsi Tanah Adat di Bali Setelah Berlakunya UUPA, Denpasar; CV Kayumas Agung. H. 38
[5] Mengenai pengertian “tanah adat” dapat dialami lebih dalam dari karangan Mahadi, 1978. “Kedudukan Tanah Adat Dewas”, dalam BPHN, Simposium Undang-Undang Pokok Agraria dan Kedudukan Tanah-tanah Adat Dewasa ini, Binacipta. h.57
[6] Suherman Toha, dkk., Laporan Akhir Penelitian Hukum Eksistensi Hukum Adat dalam Pelaksanaan Pemerintahan Desa: Study Empiric Di Bali, Puslitbang Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan HAM R.I., 2011.
[7] Pasal 63 ayat (1) huruf t, Undang-Undang Nomor 23 Tahun1997.
[8] Pasal 1 angka 6.
[9]  Pasal 9 Ayat (2).
[10] Lihat Pasal 43, Pasal 44, Pasal 50, dan Pasal 51.
[11] Lihat Pasal 34 .
[12] Lihat Pasal 35 ayat (6).
[13] Lihat Pasal 6 ayat (2)
[14] Lihat Pasal 58 ayat (3)
[15] Maria S. W. Soemardjono, Tanah Dalam Perspketif Hak Ekonomi Sosial dan Budaya, Kompas, Jakarta, 2009, hlm 167


Comments

Popular posts from this blog

Perbedaan Surat atas Tunjuk (Aan Toonder) dan Surat atas Pengganti (Aan Order)

Resume Penggolongan Kesatuan Masyarakat Hukum Adat

Analisa Kasus Etika dan Tanggung Jawab Profesi (Kasus 3)