KONSEKUENSI YANG DITIMBULKAN DARI TAP MPRS NOMOR II TAHUN 1960 DAN KEPUTUSAN BADAN LPHN TANGGAL 28 MEI 1962
KONSEKUENSI YANG DITIMBULKAN DARI
TAP MPRS NOMOR
II TAHUN 1960 DAN KEPUTUSAN BADAN LPHN TANGGAL 28 MEI 1962
Hukum
keluarga adalah keseluruhan norma-norma hukum, tertulis maupun tidak tertulis,
yang mengatur hubungan-hubungan hukum yang menyangkut dengan hubungan
kekeluargaan, baik yang diakibatkan oleh hubungan darah maupun yang diakibatkan
oleh perbuatan hukum tertentu.[1]
Bagi
masyarakat Bali, eksistensi hukum adat keluarga masih sangat kuat, artinya
masih diakui dan diikuti oleh masyarakat Bali khususnya dalam aspek-aspek hukum
yang menjadi ruang lingkup hukum keluarga diluar yang telah diatur oleh
Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Hubungan dalam masyarakat
Bali erat kaitannya dengan sistem kekeluargaannya.
Sistem
kekeluargaan yang berlaku di Indonesia sangat beragam, satu dan lain hal
disebabkan karena kamejemukan kondisi sosial budaya masyarakat Indonesia
menyangkut suku, etnis, agama dan lain-lain. Faktor inilah yang menyebabkan
sulitnya pembentukan hukum keluarga yang
bersifat nasional di Indonesia. Usaha pembentukan hukum kekeluargaan nasional
secara yuridis pernah dituangkan dalam suatu Ketetapan MPRS pada tahun 1960
tetapi tidak lanjut isi ketetapan tersebut dalam bentuk undang-undang sampai
sekarang tidak ada. Kesulitan utama bagi terbentuknya hukum waris nasional
adalah karena kemajemukan kondisi budaya masyarakat Indonesia, seperti tampak
dari beragamnya sistem kekeluargaan yang dianut dalam masyarakat Indonesia.
Secara
umum dalam masyarakat Indonesia dikenal tiga macam sistem kekeluargaan. Sistem
kekeluargaan tersebut adalah:
1)
Sistem kekeluargaan
patrilineal
2)
Sistem kekeluargaan
matrilineal
3)
Sistem kekeluargaan parental[2]
Sistem
kekerabatan patrilineal, misalnya dianut dalam masyarakat Batak, Nias, Sumba,
Bali, dan lain-lain. Dalam sistem kekeluargaan ini, keturunan dilacak dari
garis bapak. Melalui perkawinan seorang istri dilepaskan dari hubungan
kekeluargaan dengan keluarga asalnya (orang tua kandung) selanjutnya masuk
dalam kekeluargaan suaminya. Anak-anak yang lahir dari keturunan ini
mendapatkan garis kekeluargaan dari garis bapaknya, sementara dengan keluarga
ibunya hanya mempunyai hubungan sosial dan moral saja,bukan hubungan hukum[3].
Sistem
kekeluargaan matrilinial dianut dalam masyarakat Minangkabau. Menurut sistem
kekeluargaan ini, keturunan dilacak dari garis ibu sehingga anak yang lahir
dari suatu perkawinan akan mendapatkan garis kekeluargaan dari garis ibunya[4].
Berbeda
dengan masyarakat patrilineal dan matrilineal yang menarik garik kekeluargaan
secara unilateral (satu garis), dalam kekeluargaan yang menganut sistem
kekeluargaan parental, garis keturunan dilacak dari dua belah pihak, yaitu baik
dari garis bapak atau ibu sehingga sistem kekeluargaan ini juga disebut sistem
keibu-bapaan. Sistem kekeluargaan ini dianut oleh masyarakat Jawa, Sunda, Aceh,
Kalimantan dan lain-lain.[5]
Seperti diamanatkan oleh TAP MPRS Nomor II Tahun 1960.
Dalam angka 402 huruf c sub 2 Ketetapan MPRS tersebut dinyatakan perlunya
perundang-undangan mengenai hukum warisan yang didasarkan prinsip-prinsip
kewarisan parental/bilateral[6] dan
semua warisan untuk anak-anak dan janda apabila si peninggal warisan
meninggalkan anak-anak dan janda. Sementaraitu Lembaga Pembinaan Hukum Nasional (sekarang disebut
BPHN) dalam suatu keputusannya yang dikeluarkan pada tanggal 28 Mei 1962
mengenai hukum kekeluargaan juga telah menetapkan asas-asas hukum kekeluargaan Indonesia,
yang mana dalam pasal 12 ditetapkan sebagai berikuT:
1.
Di seluruh Indonesia hanya berlaku satu sistem kekeluargaan yaitu sistem
parental, yang diatur dengan undang-undang, dengan menyesuaikan sistem-sistem
lain yang terdapat dalam hukum adat kepada sistem parental.
2. Hukum waris untuk seluruh
rakyat diatur secara bilateral individual, dengan kemungkinan adanya variasi
dalam sistem bilateral tersebut untuk kepentingan golongan Islam yang
memerlukannya.
3. Sistem keutamaan dan sistem
penggantian dalam hukum waris pada prinsipnya sama untuk seluruh Indonesia, dengan sedikit perubahan bagi
hukum waris Islam.
4.
Hukum adat dan yurisprudensi dalam bidang hukum kekeluargaan diakui
sebagai hukum pelengkap di sisi hukum perundang-undangan.
Apabila
dilihat dari kesetaraan gender, maka putusan ini sangatlah adil karena Idiologi
yang digunakan dalam putusan MA ini adalah ideologi persamaan dalam hukum.
Ideologi ini merupakan asas dalam hukum yang dikenal dengan equality before the
law. Karena menurut sistem kekerabatan patrilineal dalam pembagian waris,
seorang istri atau janda serta anak perempuan tidak akan mendapatkan bagian
harta warisan, mereka hanya sebagai penikmat. Sedangkan dalam sistem
kekerabatan matrilineal walaupun mendapat garis keturunan melalui ibu, namun
seorang perempuan tetap dianggap tidak mampu berdiri sendiri maka mengenai
waris akan diatur oleh pihak keluarga tertua laki-laki di keluarga ibu. Maka
dalam pewarisan parental atau bilateral dianggap adil bagi masyarakat karena
kedua belah pihak mendapatkan bagian yang sama tanpa terkecuali.
Namun
ketika melihat dari sisi sistem kekeluargaan masyarakat adat yang ada di
Indonesia, penerapan sistem ini dianggap kurang cocok. Karena sistem
kekeluargaan parental hanya dianut oleh masyarakat Jawa, Sunda, Aceh,
Kalimantan dan lain-lain. Sedangkan untuk masyarakat yang menganut sistem
kekeluargaan patrilineal dan matrilineal akan menjadi berbeda dengan adat
istiadat yang sudah dilakukan secara turun temurun, sehingga ini tidak bisa
diterima oleh masing-masing masyarakat adat yang bersangkutan.
Masyarakat
Adat Bali menganut sistem kekeluargaan patrilineal atau kebapaaan yang lebih
dikenal luas dalam masyarakat Bali dengan istilah purusa atau kepurusa[7].
Sesuai dengan prinsip-prinsip umum yang dianut dalam sistem kekeluargaan
patrilineal, terdapat tiga prinsip dasar yang dianut dalam sistem kekeluargaan
purusa. Pertama, keturunan dilacak dari garis laki-laki, orang yang masuk dalam
garis ini lazim disebut keluarga saking purusa. Sedangkan orang-orang dari
pihak ibu lazim disebut keluarga saking pradana yang sama sekali tidak
diperhitungkan sebagai keluarga.
Prinsip
kedua dalam sistem purusa ini bahwa dalam perkawinan(kecuali dalam perkawinan
nyeburin) seorang perempuan dilepaskan dari hubungan hukumnya dengan keluarga
asalnya dan selanjutnya masuk total ke keluarga suaminya. Dengan demikian,
seorang anak perempuan yang sudah kawin (atau anak laki-laki yang kawin nyeburin)
tidak lagi diperhitungkan hak dan kewajibannya, materiil maupun immateriil,
dalam keluarga asalnya melainkan sepenuhnya diperhitungkan dalam keluarga
suaminya.
Pihak
purusa dalam masyarakat adat Bali diberikan hak mewaris dikarenakan akan memikul
tanggung jawab atas memelihara pewaris ketika pewaris dalam keadaan tidak
mampu, menguburkian jenazahpewaris dan atau menyelenggarakan pengabenan bagi
pewaris dan menyemayamkan arwahnya di merajan, menyembah arwah leluhur yang
bersemayam di merajan, dan melaksanakan kewajiban-kewajiban terhadap
banjar/desa.
Dengan
tidak adanya hukum waris yang berlaku secara nasional, maka hukum waris yang
berlaku bagi orang Bali adalah Hukum Adat Bali. Masalah waris diakui oleh
beberapa pihak sebagai salah satu bagian dari hukum adat di Bali yang paling
sukar, karena adanya kebiasaan-kebiasaan yang berbeda dalam masyarakat Bali[8],
demikian pula bagi seluruh masyarakat hukum adat di suatu daerah yang menganut
sistem kekerabatan patrilineal maupun matrilineal.
[1] Wayan P.
Windia & Ketut Sudantra, 2006, Pengantar
Hukum Adat Bali, Denpasar: Prasasti O. Denpasar, Hlm. 75
[2] R.
Soepomo, Bab-bab tentang Hukum Adat,
Jakarta: Pradnya Paramita, Hlm. 32
[3] Wayan P.
Windia & Ketut Sudantra, Op.cit, Hlm.
78
[4] Umar
Junus, 1990, Kebudayaan Minangkabau,
Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, Jakarta: Jambatan, Hlm. 254
[5] B Ter
Haar, 2001, Asas-Asas dan Susunan Hukum
Adat, Jakarta: Pradnya Paramita, Hlm. 226
[6] Hazairin,
1982, Hukum Kekeluargaan Nasional,
Jakarta: Tintamas, Hlm. 1
[7] VE Korn, 1978,
Hukum
Adat Kekeluargaan di Bali, Denpasar: Fakultas Hukum dan Pengetahuan
Masyarakat Universitas Udayana, Hlm. 1
[8] VE Korn,
1972, Hukum Adat Waris di Bali,
Denpasar: Fakultas Hukum dan Pengetahuan Masyarakat Universitas Udayana, Hlm.
34
Comments
Post a Comment