AWIG-AWIG DESA ADAT KELUSA KECAMATAN PAYANGAN KABUPATEN DAERAH TINGKAT II GIANYAR


BAB I

PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang

Mayoritas penduduk Bali adalah etnis Bali yang beragama Hindu dengan bahasa daerah Bali sebagai bahasa ibuyang mempunyai huruf (aksara) lokal yaitu aksara Bali. Merekalah yang disebut sebagai orang Bali. Karena penduduknya mayoritas beragama Hindu, pengaruh Hindu dalam sistem sosial dan budaya Bali sangat kuat, termasuk dalam pelaksanaan tradisi dan adat istiadat. Kehidupan sosial orang bali sangat khas, diwadahi dalam suatu organisasi-organisasi religius seperti desa adat(desa pekraman), banjar, sekea dadia, subak dan sebagainya. Hampir semua aspek kehidupan pribadi dan sosial orang Bali diliputi oleh suasana religius Hindus. Dari lahir bahkan hingga meninggal dunia selalu disertai dengan Upacara.[1]
Masyarakat Bali terikat oleh norma-norma hukum yang mengatur pergaulan hidup mereka baik tertulis maupun tidak tertulis. Hukum tertulis yang berlaku berasal dari negara dalam bentuk peraturan perundang-undangan Republik Indonesia, sedangkan hukum tidak tertulis yang berlaku bersumber dari kebiasaan-kebiasaan masyarakat yang disebut dresta. Hukum yang terakhir ini sering disebut sebagai hukum adat yang memiliki ruang lingkup lokal. Berlakunya hukum lokal ini berdampingan dengan hukum negara disamping karena belum semua aspek kehidupan bangsa Indonesia berhasil diatur secara nasional dalam kesatuan huku, juga karena kondisi sosial budaya setiap suku bangsa mempunyai kekhasan masing-masing yang menyebabkan tidak mungkin semuanya dapat diatur secara nasional.
Dalam konsep orang Bali, untuk mencapai kesejahteraan umat manusia yang mengatur kehidupan masyarakat Bali yang menyangkut hubungan antara sesama manusia, hubungan manusia dengan lingkungan alamnya, dan hubungan antara manusia dengan Tuhan maka diadakan upaya hukum atau tindakan-tindakan hukum untuk mengembalikan keseimbangan yang dianggap terganggu baik secara materiil maupun immateriil berupa pengenaan sanksi adat atau reaksi adat, hal ini diatur dalam awig-awig yang dimiliki oleh masing-masing Desa Adat. [2]

1.2  Rumusan Masalah

Bagaimanakah isi dari Awig-awig sebuah desa adat?



BAB II

TINJAUAN PUSTAKA


2.1  Pengertian Hukum Adat Bali

Hukum meliputi aspek yang multi dimensi. Itu sebabnya sampai saat ini para sarjana hukum belum juga menemukan definisi yang tepat mengenai hukum[3]. Hukum adalah gejala kemasyarakatan. Manusia sebagai perorangan atau individu cenderung untuk berkumpul dengan individu lain dengan itu membentuk kelompok manusia yang hidup bersama. Karena kecenderungannya berkelompok ini manusia dinamakan mahkluk sosial. Kumpulan manusia yang idup bersama dengan tujuan bersama ini disebut masyarakat. Dasar hidup bersama yang menjadi ikatan bagi masyarakat itu bisa berupa tempat tinggal (desa, banjar) jadi bersifat teritorial atau berupa pertalian darah. Agar hubungan bisa berjalan dengan baik dibutuhkan aturan untuk melindungi kepentingan dan menghormati kepentingan dan hak orang lain sesuai dengan hak dan kewajiban yang disebut hukum.[4]
Dilihat dari segi bentuk hukum, hukum dapat dibedakan antara hukum tertulis dan hukum tidak tertulis. Hukum yang digunakan dalam masyarakat hukum adat di Bali sebagian besar adalah hukum yang tidak tertulis yang merupakan hukum yang tumbuh dan berkembang dari bawah, yang timbul dari kebiasaan-kebiasaan hidup dalam masyarakat Indonesia. Hukum adat dikualifikasikan sebagai hukum tidak tertulis, Hukum adat adalah hukum Indonesia asli yang tidak tertulis dalam bentuk perundang-undangan Republik Indonesia yang disana-sini mengandung unsur agama[5]. Walaupun demikian tidak dapat dipungkiri adanya hukum adat yang ditemukan dalam awig-awig atau pararem desa pekraman yang tertulis, awig-awig subak tertulis.
Hukum adat Bali adalah kompleks norma-norma, baik dalam wujudnya yang tertulis maupun tidak tertulis, berisi perintah, kebolehan dan larangan, yang mengatur kehidupan masyarakat Bali yang menyangkut hubungan antara sesama manusia, hubungan manusia dengan lingkungan dan hubungan antara manusia dengan Tuhannya. Tujuan Hukum itu sendiri terciptanya kesejahteraan umat manusia yang diterjemahkan sebagai kehidupan “sukerta sekala niskala”.
Istilah Hukum adat Bali awalnya tidak begitu dikenal dalam masyarakat umum di Bali. Masyarakat menggunakan istilah seperti adat, dresta, gama, sima, cara, kerta sima, geguat, pengeling-eling, tunggul, awig-awig, pararem, dan lain-lain.

2.2  Hukum adat Bali dan Agama Hindu

Kehidupan orang Bali sangat religius, dengan pengaruh agama hindu yang sangat kuat. kuatnya pengaruh agama terhadap kehidupan orang bali  menyebebabkan sulitnya membedakan bagian mana dari aspek kehidupan orang Bali yang bersumber dari kebudayaan, tradisi atau adat kebiasaan asli Bali dan bagian-bagian mana yang dipengaruhi dari agama.
Konsep keharmonisan masyarakat Bali dibingkai dalam filosofi Tri Hita Karana[6], yang menghendaki adanya keseimbangan hubungan antara manusia dengan sesamanya (pawongan) keseimbangan hubungan antara manusia dengan alam lingkungannya (palemahan) dan keseimbangan antara manusia dengan Tuhan Maha Pencipta (parhyangan). Pola hubungan yang serba seimbang semuanya ditunjukkan agar dapat dicapainya tujuan bersama, yaitu kesejahteraan lahir batin.

2.3  Sumber Hukum Adat Bali

Sumber hukum adalah tempat dimana dapat menemukan hukum dan mempengaruhi isi hukum. Sumber hukum ada dua, yaitu sumber hukum formal dan material. Sumber hukum materiil adalah perasaan hukum masyarakat yang menjadi determinan materiil yang membentuk hukum dan menentukan isi dari hukum. Sedangkan sumber hukum formal adalah sumber yang menjadi determinan formal membentuk hukum, menentukan berlakunya hukum yang meliputi undang-undang, kebiasaan dan adat yang masih berlaku/dipertahankan, traktat yurisprudensi dan pendapat pakar hukum[7].
Dalam Hukum adat Bali dapat ditemukan sumber-sumber tertulis, seperti dalam awig-awig/pararem tercatat atau tertulis; sastra dresta (kitab-kitab agama), paswara (keputusan) Raja-raja Bali ataupun Pemerintah; Keputusan lembaga-lembaga adat dan keagamaan, Majelis Desa Pekraman, Parisadha Hindu Dharma dan pendapat ahli atau tokoh adat dan agama.

BAB III

PEMBAHASAN

3.1  Analisis Awig-awig Desa Adat Kelusa

AWIG-AWIG
DESA ADAT KELUSA
Desa Kelusa
Kecamatan Payangan
Kabupaten Daerah Tingkat II Gianyar

Bab I
Wilayah Desa
·         Desa adat ini bernama Desa Adat Kelusa, yang terdiri dari 4 banjar adat antara lain Banjar Ayah, Banjar Roban, Banjar Peliatan, Banjar Triwangsa.
·         Dengan batas-batas Desa Adat Kelusa, disisi timur Desa Yeh Tengah, Sisi Selatan Desa Adat Keliki Kawan, Sisi Barat Tukad Yes Wos Ulu dan Sisi Utara Desa Adat Bresela.

Bab II
Landasan Hukum Desa Adat
Desa Adat Kelusa memiliki Landasan Hukum antara lain :
·         Pancasila
·         Undang-Undang Dasar 1945, Pasal 18
·         Peraturan Daerah (Perda) Provinsi Daerah Tingkat I No. 6 Tahun 1986
·         Tri Hita Karana menurut ajaran Agama Hindu

Bab III
Yang mengatur tentang Krama Adat
·         Yang disebut sebagai Krama Desa Adat Kelusa yaitu keluarga yang beragama hindu tinggal di desa adat, memelihara karang Desa atau Karang Guna Kaya dan taat pada awig-awig Desa Adat Kelusa.
·         Krama Desa Adat Kelusa terdiri dari
1.      Krama Ngarep                 : keluarga yang tinggal dan memelihara karang desa
2.      Krama Pengempian          : Keluarga/krama karena perkawinan disebat Krama Banjar Patus
3.      Krama Balu                      : Keluarga/Krama yang ditinggal Istri atau suaminya
4.      Krama Tapukan               : keluarga yang tinggal di desa tetapi belum pantas melaksanakan tugas ngayah
·         Seseorang yang boleh menjadi krama desa adat Kelusa
1.      Karena tinggal di desa memelihara karang desa dan karang guna kaya
2.      Karena perkawinan
3.      Karena kedatangan keluarga dari luar desa yang tinggal di desa adat dan taat pada desa tersebut
·         Berhenti menjadi Krama Desa Adat Kelusa
1.      Karena meninggal dunia
2.      Permintaan sendiri , namun jika kembali maka akan dikenakan denda pararem
3.      Diberhentikan atau diusir oleh krama desa karena tidak bisa berbuat baik dan melanggar awig-awig dan pararem tetapi mereka boleh kembali jikalau :
o   sudah meminta maaf kepada krama desa atau banjar
o   sanggup memperbaiki dirinya sendiri atas kesalahannya
o   membayar biaya denda sesuai dengan hasil pararem
·         Yang dibebaskan dari ayah-ayahan antara lain:
o   Pendeta
o   Pemangku desa adat, kecuali jika ada upacara memakai kerbau terkena sumbangan upacara setengah
o   Yang ditunjuk sebagai prajuru adat dibebaskan sesuai pararem
o   Sebagai kepala desa dan hansip dibebaskan dari itu
o   Sekaa Gong
o   Krama yang cacat dan sakit tahunan
·         Mengenai Kulkul
Kulkul desa terdiri dari kulkul pura khayangan, kulkul desa ngarep, kulkul desa adat, kulkul banjar, kulkul perkumpulan.
o   Suara kulkul
a.       Kulkul bedil, bila ada upacara odalan/ yadnya atau gerhana matahari atau gerhana bulan
b.      Dua kali kentongan lamban artinya masyarakat turun bergotong royong
c.       Sebelas kentongan ada warga yang kawin
d.      Lima kali kentongan ada orang meninggal masih bayi atau belum copot gigi
e.       Lima kali kentongan dilanjutkan dua kalu kentongan lambat ada orang meninggal
f.        Tujuh kali kentongan ada orang melahirkan
g.      Dua kali kentongan lambat diakhiri dengan dua kali kentongan rapat atau kedatangan pejabat daerah
h.      Tiga kali kentongan gotong royong ditunda
i.        Kulkul bulus : suara kentongan cepat, ada bahaya kebakaran, kemalingan
(Awig-awig desa adat ini masih mempertahankan tata cara penginformasian dengan cara tradisional yaitu dengan isyarat pemukulan kulkul)
·         Kepemilikan Desa Adat Kelusa
a.       Pura-Pura:
1.      Pura Desa/ Bale Agung
2.      Pura Puseh
3.      Pura Dalem
4.      Pura Hyang Api
5.      Pura Luhurang Akasa/ Pura Alit
6.      Pura Melanting
7.      Pura Pacek
8.      Pura Nataran
9.      Pura Alit(Pura Tanjung Sari)
10.  Pura Praja Pati
11.  Pura Batan Taru
12.  Pura Agung
13.  Pura Taman Suci
b.      Tanah-tanah milik pura
c.       Dua tempat tanah kuburan
d.      Bale Banjar Desa adat dan Bale Wantilan
e.       Karang Ayahan Desa
f.        Bunyi-bunyian yang terdiri dari Gong, Bebatelan, Gender Wayang dan alat-alat penari Rejang
·         Karang tegal lan carik : Krama Desa yang memiliki tanah maka harus dipagari, dibuatkan saluran air
(Tanah milik desa pekraman atau tanah dea pekraman adalah tanah-tanah yang lazim disebut tanah desa atau tanah driwe, yang oleh beberapa pihak dikualifikasikan sebagai tanah ulayat menurut UUPA[8])
(Merupakan pengaturan hubungan antara masia dengan alam lingkungannya (palemahan))
·         Pepohonan
o   Bagi warga yang menanam pohon agar disesuaikan dengan letak atau tempat yang sebenarnya, bila ada yang menghalangi jalan tetangga atau mengganggu wajar di potong apabila pohon itu rebah dan mengenai rumah orang maka mengganti kerugian.
o   Apabila ada pohon yang tidak ada pemiliknya agar melapor kepada prajuru adat supaya ditebang.
·         Hewan atau Binatang
o   Warga desa yang memelihara babi, banteng dan sejenisnya supaya diikat dan dikandangi agar tidak merusak tanaman dan tidak mencemarkan Pura atau merajan.
o   Apabila ada binatang yang lepas merusak pekarangan atau tumbuh-tumbuhan krama lain dikenakan denda sesuai pararem
o   Apabila binatang tersebut merusak tempat suci seperti sanggah pura setelah disampaikan oleh prajuru adat bagi yang memiliki hewan atau binatang tersebut dikenakan denda prayascita, caru panca sata dengan daging bebek belang kalung
o   Krama yang memiliki peliharaan binatang seperti diatas tidak boleh mengikat di tempat-tempat suci, di jalan besar, jalan desa atau banjar, kuburan dan alun-alun lapangan
·         Musibah
o   Musibah terdiri dari Musibah Jiwa, Musibah Arta, Musibah Api, Musibah Gempah, Musibah Air, Musibah Angin, dan lain-lain
o   Yang menemukan bahaya atau yang melihat terjadinya musibah wenang memukul kentongan
o   Warga desa patut menolong orang yang terkena musibah
o   Bila ada terkena musibah Jiwa, maka pihak desa harus melakukan Bhuta Yadnya sesuai dengan agama dan adat yang ada
o   Jika ada manusia berbuat kata-kata kotor kepada orang lain apalagi kepada yang berwangsa atau sudah disucikan oleh krama dikenakan denda prayascita

Bab IV
Pelaksanaan Panca Yadnya
(Panca Yadnya terdiri atas dua kata, yaitu panca dan Yadnya. Panca yang artinya lima dan yadnya yang artinya persembahan atau korban suci. Jadi Panca Yadnya adalah lima persembahan suci yang tulus ikhlas, erat kaitannya dengan Tri Hita Karana dalam hubungannya antara manusia dengan Tuhan Sang Maha Pencipta)
A.    Dewa Yadnya (Dewa Yadnya adalah persembahan suci yang ditujukan kepada Sang Hyang Widhi dan para Dewa. Dewa Yadnya biasanya dilakukan di Pura, mrajan, atau di tempat yang bersih, yang memiliki nilai kesucian. Tujuan dari Dewa Yadnya adalah menyampaikan rasa bhakti dan syukur kepada Sang Hyang Widhi atas segala anugerah-Nya.)
Pura yang ada di desa adat Kelusa terdiri dari :
·         Pura Desa/ Bale Agung dan Pura Puseh, upacaranya saat Rahina Buda Kliwon, Wuku Ugu
·         Pura Dalem dan Prajapati, upacaranya saat Rahina Buda Umanis, wuku Tambir
·         Pura Hyang Api dan Pura Alit(Pura Tanjung Sari), upacaranya saat Rahina Saniscara Kliwon (tumpek) wuku uye
·         Pura Luhurang Akasa/ Pura Alit dan Pura Nataran, upacaranya saat Purnama Kedasa
·         Pura Melanting dan Pura Pacek, upacaranya disaat rahina Buda Wage, wuku Klawu (Buda Cemeng Klawu)
·         Pura Batan Taru upacaranya disaar Purnama Sasih Kedasa
·         Pura Agung upacaranya disaat Sukra Umanis, wuku Warigadian
·         Pura Taman Suci upacaranya disaat Rahina Buda Umanis, wuku Tambir
B.     Rsi Yadnya (Rsi yadnya adalah persembahan suci yang ditujukan kepada para Rsi dan guru untuk menjaga kesejahteraannya. Rsi adalah orang-orang yang bijaksana dan berjiwa suci. Pendeta atau Sulinggih atau guru dapat juga disebut orang suci karena beliau merupakan orang bijaksana yang memberikan bimbingan kepada murid-muridnya.)
·         Jika ingin menjadi pemangku atau pendeta melapor kepada prajuru desa adat dan Parisadha Hindu Dharma
·         Prajuru desa adat patut mengawasi pelaksanaan upacara sebatas melaksanakan upacara yadnya
·         Krama desa adat wajib melaksanakan ngayah dan mengantarkan sang sulinggih yang di tuntun oleh prajuru adat
·         Sang sulinggih wajib menyelesaikan yadnya di Desa Adat Kelusa baru menyelesaikan yadnya di desa lain
C.     Pitra Yadnya (Pitra yadnya adalah persembahan suci yang ditujukan kepada leluhur dan bhatara-bhatar Tujuannya adalah menyucikan roh-roh leluhur agar mendapat tempat yang lebih baik.)
a.       Kalau ada orang meninggal
Dilakukan dengan cara dikubur atau dibakar sebagai ciri dititipkan di ibu pertiwi atau  Bhatara Brahma sambil menunggu biaya upacara selanjutnya
b.      Upacara dilanjutkan dengan pengabenan dinamakan Ngeroras, Nyekah/Ngasti
o   Bila ada keluarga yang meninggal harus melapor kepada klian dan meminta pertimbangan mengenai pelaksanaannya menyampaikan kepada krama banjar untuk melaksanakan gotong royong membuat alat-alat upacara, membersihkan mayat dan mengantar ke kuburan
o   Penguburan atau pembakaran mayat melihat pada hari baik
o   Apabila mayat sampai 7 hari dirumah tidak ada hari baik untuk dibakar atau dikubur, harus dititipkan
o   Tidak boleh membuat bangbang atau dikubur ketika hari pasah, kala gotongan, ingkel wong
o   Tidak dibolehkan menanam atau membakar mayat laki-laki atau perempuan dalam satu hari di kuburan yang sama
o   Apabila ada orang yang meninggal bersamaan dengan odalan di Pura Desa maka yang meninggal dititipkan di kuburan tanpa pemberitahuan bunyi kulkul dan jika upacara di pura selesai baru dilaksanakan upacara penguburan
o   Apabila ada orang sakit keras (HIV, Lepra, dll) wajib dibakar dan abunya dihanyut setelah 10 tahun baru keluarga boleh ngaben
o   Kalau ada perempuan yang meninggal dalam keadaan hamil, harus dilahirkan bayinya terlebih dahulu baru ditanam
o   Jika ada mayat yang tidak ada yang mengakui dan juga tidak ada keluarganya maka dikubur di setra desa adat kelusa, apabila ada yang mengakui keluarga tersebut maka dikenakan denda prayascita dilaksanakan oleh desa adat kelusa
o   Apabila ada orang luar dari desa mau dikubur atau ngaben di desa adat kelusa wajib terkena penanjung batu dan panukun setra disesuaikan dengan pararem
D.    Manusa Yadnya (Manusa Yadnya adalah upacara yang dipersembahkan untuk memelihara hidup, kesempurnaan dan kesejahteraan manusia.)
Manusa yadnya yaitu segala upacara manusa mulai dari pertemuan antara laki dan perempuan
o   Upacara manusa yadnya terdiri dari
a.       magedong-gedongan dan ngidam sampai dengan 5 bulan.
b.      Baru habis melahirkan
c.       kepus pungsed
d.      12 harian
e.       Tutug kambuhan
f.        Tiga bulanan
g.      Otonan
h.      Tutug kelih
i.        Ptong gigi
j.        Perkawinan
k.      Mewinten
E.     Bhuta Yadnya (Bhuta Yadnya adalah persembahan suci yang ditujukan kepada Bhuta Kala atau makhluk bawahan. Bhuta Kala adalah kekuatan-kekuatan alam yang bersifat negative yang perlu kita lebur (somya) agar kembali pada sifat-sifat positif agar tidak mengganggu ketenangan hidup umat manusia.)
Bhuta Yadnya adalah semua upacara pebya kala di ibu pertiwi dan khayangan dan upacara-upacara bebuthaan dinamakan mecaru
Pecaruan dapat dilaksanakan seperti Eka Sata, Panca Sata, Panca Sanak, Rsi Gana, Panca Kelud, Tawur agung, selain dari itu juga dilakukan mesaiban atau ngejot atau Yadnya Sesa.

Bab V
Mengatur tentang Manusia
(Merupakan bagian dari hubungan antara manusia dengan manusia (pawongan) dalam Tri Hita Karana)
·         Mengenai Perkawinan
Perkawinan adalah pertemuan antara laki-laki dan perempuan berdasarkan suka sama suka dilanjutkan dengan upacara sekala dan niskala, pelaksanaan pawiwahan di desa adat ini terdiri dari:
a.       Memadik
b.      Ngerorod
c.       Nyeburin utawi nyentana
Jika ada anak perempuan hamil wajib dilaporkan kepada prajuru adat dan prajuru adat memastikan siapa yang menghamilinya apabila tidak ada yang mengakui maka dilaporkan ke pejabat yang berwenang, apabila tidak ada yang mengakui maka keluarganya wajib memrayascita anak perempuan yang hamil dan dikenakan denda seperti yang ada dalam pararem, jika sudah lahir anaknya diangkat sesuai dengan sastra agama dan dresta
·         Mengenai perceraian
o   Kalau sudah tidak bersuami istri disebut sapih
o   Jika sudah cerai karena salah satu meninggal bernama balu baik laki-laki maupun perempuan
o   kalau sudah cerai harus diadakan pembicaraan, pemutus, dan di sampaikan kepada warga dikenakan denda suara kulkul
o   Kalau dia sudah cerai dan ingin menikah kembali harus dilakukan upacara perkawinan lagi dan dikenakan denda seusia dengan pararem
·         Mengenai Sentana
o   Prati Sentana adalah anak yang keluar dari hasil perkawinan
o   Jika ada perkawinan yang tidak diharapkan sampai melahirkan anak supaya tidak di cap astra atau bebinjat wajib dilaksanakan pengaskara atau upacara peperasan
o   Apabila perkawinan tidak melahirkan anak berkeinginan untuk meminta anak atau sentana harus ada saksi sekala niskala yang disebut sentana paperasan
o   Sentana rajeg yaitu anak perempuan yang didudukan sebagai laki-laki setelah melaksanakan perkawinan kaceburin
·         Mengenai Waris
(hukum adat waris tidaklah semata-mata hanya membicarakan perihal orang yang menerima harta warisan melainkan meliputi keseluruhan peraturan-peraturan yang mengatur proses meneruskan serta mengoperkan barang-barang harta benda dan barang-barang yang tidak berwujud benda dari satu angkatan manusia kepada turunannya[9].)
o   Warisan yaitu warisan arta brana beserta ayah-ayahan baik sekala maupun niskala dari keturunannya
o   Yang disebut warisan adalah
a.       Milik Bersama, Halaman rumah, Merajan
b.      Harta bersama, pemberian dari orang tua dan utang piutang
c.       Ayah-ayahan
o   Baru disebut warisan apabila ada pewaris, ahli waris dan kekayaan dan ayah-ayahan
o   Ahli waris seperti
·         Anak laki-laki
·         Sentana rajeg
·         Sentana paperasan laki atau perempuan
o   Pembagian waris seperti di bawah ini
a.       Sesudah melaksanakan upacara pitra yadnya dan hutang piutangnya dilunasi
b.      Ahli waris yang ngayah mendapatkan lebih dari yang lain tergantung kesepakatan keluarga
c.       Ahli waris yang  merupakan krama terdepan menempati tanah desa tergantung kesepakatan keluarga
d.      Ahli waris yang tidak mendapatkan bagian adalah yang meninggalkan kawitan dan melaksanakan kewajiban agama dan adat
e.       Berani melawan orang tua
f.        Sentana rajeg yang meninggalkan rumah
g.      Sentana luh, selama belum menikah dan melawan orang tua
h.      Janda perempuan yang pulang ke rumah asalnya tidak mendapat warisan
i.        Duda laki-laki yang pulang setelah kawin nyeburin tidak mendapat warisan
j.        Ketika dia hidup orang tuanya memberikan bekal sebagai wujud memberikan bekal pada anaknya

Bab VI
Berbicara dan Denda
(Di dalam awig-awig mekanisme penyelesaian pelanggaran adat umumnya diatur dalam bab tersendiri, yang disebut Sargah Wicara lan Pamidanda[10].)
·         Mengenai Berbicara
o   Yang berwenang memutuskan pembicaraan di desa adalah prajuru desa atau kertha desa
o   Segala pembicaraan tentang corah seperti melanggar isi awig-awig atau pararem desa banjar prajuru desa secepatnya membicarakan tanpa menunggu pelapor
o   Selain pembicaraan diatas patut menunggu laporan dari yang meminta pembahasan
o   Yang hadir harus ada saksi atau bukti pembicaraan tidak sesuai dengan catur dresta
·         Mengenai denda (Pemberian denda atau sanksi adat atau koreksi adat dengan tujuan untuk mengembalikan keseimbangan yang terganggu akibat adanya pelanggaran adat[11].)
o   Desa atau banjar berwenang menghukum seseorang yang melakukan kesalahan diputuskan oleh bendesa atau klian banjar
o   Yang dikenakan denda antara lain :
a.       Tidak melakukan ayahan desa
b.      Berkali-kali tidak membayar denda
c.       Diambil tempat tinggalnya
d.      Uang yang dikenakan denda masuk ke kas Desa atau banjar
o   Krama yang berturut-turut 3 kali pertemuan dan tidak membayar urunan atau denda wajib dirampas
o   Yang melaksanakan perampasan adalah Prajuru diikuti oleh krama sebagai saksi
o   Krama yang dirampas diambil barangnya atau disita tanam-tanamannya sejumlah hutang yang dirampas
o   Prajuru menyampaikan barang-barang yang dirampas agar segera ditebus diberikan waktu 7 hari bila lebih maka akan dijual
o   Tidak dibenarkan merampas yang melanggar agama dan membunuh mata pencaharian yang dirampas
o   Bagi yang terkena denda diucapkan di depan masyarakat sesudah meminta maaf kepada krama desa setelah ada putusan pararem desa
o   Sebelum dirampas didahului dengan prayascita tentang kesalahan di desa adat

BAB IV

PENUTUP

4.1  Kesimpulan

Masyarakat Bali terikat oleh norma-norma hukum yang mengatur pergaulan hidup mereka baik tertulis maupun tidak tertulis untuk mencapai kesejahteraan umat manusia yang mengatur kehidupan masyarakat Bali yang menyangkut hubungan antara sesama manusia, hubungan manusia dengan lingkungan alamnya, dan hubungan antara manusia dengan Tuhan maka diadakan upaya hukum atau tindakan-tindakan hukum atau yang lebih dikenal dengan Tri Hita Karana.
Pengaturan mengenai hal ini telah dicantumkan dalam Awig-awig Desa Kelusa  adat dengan substansi antara lain wilayah desa, landasan hukum desa adat, yang mengatur tentang krama adat, pelaksanaan panca yadnya, pengaturan tentang manusia, dan mengenai berbicara dan denda, dimana disetiap Desa adat memiliki substansi yang berbeda  dan keunikan pengaturannya tersendiri, namun memiliki tujuan yang sama yaitu kesejahteraan umat manusia.
Untuk mengembalikan keseimbangan yang dianggap terganggu baik secara materiil maupun immateriil berupa pengenaan sanksi adat atau reaksi adat, hal ini diatur dalam awig-awig yang dimiliki oleh masing-masing Desa Adat.

4.2  Saran

Diharapkan yang menjadi bagian dari masyarakat adat suatu daerah mengetahui, mempelajari dan  tetap mempertahankan keeksisan dari sebuah hukum adat di daerahnya karena dengan kesadaran tersebut dalam bermasyarakat adat akan terbentuk hubungan yang baik atas dasar Tri Hita Karana yang menyangkut hubungan antara sesama manusia, hubungan manusia dengan lingkungan alamnya, dan hubungan antara manusia dengan Tuhan. Bagi hukum adat yang sudah tertinggal oleh jaman agar dibentuk ketentuan baru yang dicatatkan dan diumumkan kepada masyarakat hukum adat mengenai pembaharuan tersebut.


[1] Wayan P. Windia & Ketut Sudantra, 2006, Pengantar Hukum Adat Bali, Denpasar: Prasasti O. Denpasar, Hlm. 2
[2] Wayan P. Windia & Ketut Sudantra, Op.cit, hlm. 3
[3] Ali, Ahmad, 2002. Menguak Tabir Hukum, Jakarta, Gunung Agung
[4] Wayan P. Windia & Ketut Sudantra, Op.cit, hlm. 4
[5] BPHN, 1976. Seminar Pembinaan Hukum Adat dan Pembinaan Hukum Nasional, Bina Cipta, Hlm. 250
[6] Institut Hindu Dharma, Keputusan Seminar XII Kesatuan Tafsir Terhadap Aspek-aspek Agama Hindu, Proyek Daerah Tingkat I Bali, 1986.
[7] E. Utrecht, 1966, Pengantar dalam Hukum Indonesia, hlm. 87
[8] M Suasthawa D., M., 1987, Status dan Fungsi Tanah Adat di Bali Setelah Berlakunya UUPA, Denpasar: Cv Kayumas Agung, Hlm. 92
[9] Soepomo, 1982, Hukum Kekeluargaan Nasional, Jakarta: Tintamas, Hlm. 1
[10] Wayan P. Windia & Ketut Sudantra, Op.cit, hlm. 149
[11] I Made Widnyana, 1993, Kapita Selekta Hukum Pidana Adat, Bandung: PT Eresco, Hlm. 11

Comments

Popular posts from this blog

Perbedaan Surat atas Tunjuk (Aan Toonder) dan Surat atas Pengganti (Aan Order)

Resume Penggolongan Kesatuan Masyarakat Hukum Adat

Analisa Kasus Etika dan Tanggung Jawab Profesi (Kasus 3)