AWIG-AWIG DESA ADAT KELUSA KECAMATAN PAYANGAN KABUPATEN DAERAH TINGKAT II GIANYAR
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Mayoritas penduduk Bali adalah etnis
Bali yang beragama Hindu dengan bahasa daerah Bali sebagai bahasa ibuyang
mempunyai huruf (aksara) lokal yaitu aksara Bali. Merekalah yang disebut
sebagai orang Bali. Karena penduduknya mayoritas beragama Hindu, pengaruh Hindu
dalam sistem sosial dan budaya Bali sangat kuat, termasuk dalam pelaksanaan
tradisi dan adat istiadat. Kehidupan sosial orang bali sangat khas, diwadahi
dalam suatu organisasi-organisasi religius seperti desa adat(desa pekraman), banjar,
sekea dadia, subak dan sebagainya. Hampir semua aspek kehidupan pribadi dan
sosial orang Bali diliputi oleh suasana religius Hindus. Dari lahir bahkan
hingga meninggal dunia selalu disertai dengan Upacara.[1]
Masyarakat Bali terikat oleh
norma-norma hukum yang mengatur pergaulan hidup mereka baik tertulis maupun
tidak tertulis. Hukum tertulis yang berlaku berasal dari negara dalam bentuk
peraturan perundang-undangan Republik Indonesia, sedangkan hukum tidak tertulis
yang berlaku bersumber dari kebiasaan-kebiasaan masyarakat yang disebut dresta.
Hukum yang terakhir ini sering disebut sebagai hukum adat yang memiliki ruang
lingkup lokal. Berlakunya hukum lokal ini berdampingan dengan hukum negara
disamping karena belum semua aspek kehidupan bangsa Indonesia berhasil diatur
secara nasional dalam kesatuan huku, juga karena kondisi sosial budaya setiap
suku bangsa mempunyai kekhasan masing-masing yang menyebabkan tidak mungkin
semuanya dapat diatur secara nasional.
Dalam konsep orang Bali, untuk
mencapai kesejahteraan umat manusia yang mengatur kehidupan masyarakat Bali
yang menyangkut hubungan antara sesama manusia, hubungan manusia dengan
lingkungan alamnya, dan hubungan antara manusia dengan Tuhan maka diadakan
upaya hukum atau tindakan-tindakan hukum untuk mengembalikan keseimbangan yang
dianggap terganggu baik secara materiil maupun immateriil berupa pengenaan
sanksi adat atau reaksi adat, hal ini diatur dalam awig-awig yang dimiliki oleh
masing-masing Desa Adat. [2]
1.2 Rumusan
Masalah
Bagaimanakah
isi dari Awig-awig sebuah desa adat?
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengertian
Hukum Adat Bali
Hukum meliputi aspek yang multi
dimensi. Itu sebabnya sampai saat ini para sarjana hukum belum juga menemukan
definisi yang tepat mengenai hukum[3]. Hukum
adalah gejala kemasyarakatan. Manusia sebagai perorangan atau individu
cenderung untuk berkumpul dengan individu lain dengan itu membentuk kelompok
manusia yang hidup bersama. Karena kecenderungannya berkelompok ini manusia
dinamakan mahkluk sosial. Kumpulan manusia yang idup bersama dengan tujuan
bersama ini disebut masyarakat. Dasar hidup bersama yang menjadi ikatan bagi
masyarakat itu bisa berupa tempat tinggal (desa, banjar) jadi bersifat
teritorial atau berupa pertalian darah. Agar hubungan bisa berjalan dengan baik
dibutuhkan aturan untuk melindungi kepentingan dan menghormati kepentingan dan
hak orang lain sesuai dengan hak dan kewajiban yang disebut hukum.[4]
Dilihat dari segi bentuk hukum, hukum
dapat dibedakan antara hukum tertulis dan hukum tidak tertulis. Hukum yang digunakan
dalam masyarakat hukum adat di Bali sebagian besar adalah hukum yang tidak
tertulis yang merupakan hukum yang tumbuh dan berkembang dari bawah, yang
timbul dari kebiasaan-kebiasaan hidup dalam masyarakat Indonesia. Hukum adat
dikualifikasikan sebagai hukum tidak tertulis, Hukum adat adalah hukum
Indonesia asli yang tidak tertulis dalam bentuk perundang-undangan Republik
Indonesia yang disana-sini mengandung unsur agama[5].
Walaupun demikian tidak dapat dipungkiri adanya hukum adat yang ditemukan dalam
awig-awig atau pararem desa pekraman yang tertulis, awig-awig subak tertulis.
Hukum adat Bali adalah kompleks
norma-norma, baik dalam wujudnya yang tertulis maupun tidak tertulis, berisi
perintah, kebolehan dan larangan, yang mengatur kehidupan masyarakat Bali yang
menyangkut hubungan antara sesama manusia, hubungan manusia dengan lingkungan
dan hubungan antara manusia dengan Tuhannya. Tujuan Hukum itu sendiri
terciptanya kesejahteraan umat manusia yang diterjemahkan sebagai kehidupan
“sukerta sekala niskala”.
Istilah Hukum adat Bali awalnya tidak
begitu dikenal dalam masyarakat umum di Bali. Masyarakat menggunakan istilah
seperti adat, dresta, gama, sima, cara, kerta sima, geguat, pengeling-eling,
tunggul, awig-awig, pararem, dan lain-lain.
2.2 Hukum
adat Bali dan Agama Hindu
Kehidupan orang Bali sangat religius,
dengan pengaruh agama hindu yang sangat kuat. kuatnya pengaruh agama terhadap
kehidupan orang bali menyebebabkan
sulitnya membedakan bagian mana dari aspek kehidupan orang Bali yang bersumber
dari kebudayaan, tradisi atau adat kebiasaan asli Bali dan bagian-bagian mana
yang dipengaruhi dari agama.
Konsep keharmonisan masyarakat Bali
dibingkai dalam filosofi Tri Hita Karana[6], yang
menghendaki adanya keseimbangan hubungan antara manusia dengan sesamanya
(pawongan) keseimbangan hubungan antara manusia dengan alam lingkungannya
(palemahan) dan keseimbangan antara manusia dengan Tuhan Maha Pencipta
(parhyangan). Pola hubungan yang serba seimbang semuanya ditunjukkan agar dapat
dicapainya tujuan bersama, yaitu kesejahteraan lahir batin.
2.3 Sumber
Hukum Adat Bali
Sumber hukum
adalah tempat dimana dapat menemukan hukum dan mempengaruhi isi hukum. Sumber
hukum ada dua, yaitu sumber hukum formal dan material. Sumber hukum materiil
adalah perasaan hukum masyarakat yang menjadi determinan materiil yang
membentuk hukum dan menentukan isi dari hukum. Sedangkan sumber hukum formal
adalah sumber yang menjadi determinan formal membentuk hukum, menentukan
berlakunya hukum yang meliputi undang-undang, kebiasaan dan adat yang masih
berlaku/dipertahankan, traktat yurisprudensi dan pendapat pakar hukum[7].
Dalam Hukum adat
Bali dapat ditemukan sumber-sumber tertulis, seperti dalam awig-awig/pararem
tercatat atau tertulis; sastra dresta (kitab-kitab agama), paswara (keputusan)
Raja-raja Bali ataupun Pemerintah; Keputusan lembaga-lembaga adat dan
keagamaan, Majelis Desa Pekraman, Parisadha Hindu Dharma dan pendapat ahli atau
tokoh adat dan agama.
BAB III
PEMBAHASAN
3.1 Analisis
Awig-awig Desa Adat Kelusa
AWIG-AWIG
DESA ADAT KELUSA
Desa Kelusa
Kecamatan Payangan
Kabupaten Daerah Tingkat II Gianyar
Bab I
Wilayah Desa
·
Desa adat ini bernama
Desa Adat Kelusa, yang terdiri dari 4 banjar adat antara lain Banjar Ayah,
Banjar Roban, Banjar Peliatan, Banjar Triwangsa.
·
Dengan batas-batas Desa
Adat Kelusa, disisi timur Desa Yeh Tengah, Sisi Selatan Desa Adat Keliki Kawan,
Sisi Barat Tukad Yes Wos Ulu dan Sisi Utara Desa Adat Bresela.
Bab II
Landasan Hukum Desa Adat
Desa Adat Kelusa memiliki
Landasan Hukum antara lain :
·
Pancasila
·
Undang-Undang Dasar 1945,
Pasal 18
·
Peraturan Daerah (Perda)
Provinsi Daerah Tingkat I No. 6 Tahun 1986
·
Tri Hita Karana menurut
ajaran Agama Hindu
Bab III
Yang mengatur tentang Krama Adat
·
Yang disebut sebagai
Krama Desa Adat Kelusa yaitu keluarga yang beragama hindu tinggal di desa adat,
memelihara karang Desa atau Karang Guna Kaya dan taat pada awig-awig Desa Adat
Kelusa.
·
Krama Desa Adat Kelusa
terdiri dari
1. Krama
Ngarep : keluarga yang
tinggal dan memelihara karang desa
2. Krama
Pengempian : Keluarga/krama karena
perkawinan disebat Krama Banjar Patus
3. Krama
Balu : Keluarga/Krama
yang ditinggal Istri atau suaminya
4. Krama
Tapukan : keluarga yang
tinggal di desa tetapi belum pantas melaksanakan tugas ngayah
·
Seseorang yang boleh
menjadi krama desa adat Kelusa
1. Karena
tinggal di desa memelihara karang desa dan karang guna kaya
2. Karena
perkawinan
3. Karena
kedatangan keluarga dari luar desa yang tinggal di desa adat dan taat pada desa
tersebut
·
Berhenti menjadi Krama Desa
Adat Kelusa
1. Karena
meninggal dunia
2. Permintaan
sendiri , namun jika kembali maka akan dikenakan denda pararem
3. Diberhentikan
atau diusir oleh krama desa karena tidak bisa berbuat baik dan melanggar
awig-awig dan pararem tetapi mereka boleh kembali jikalau :
o sudah
meminta maaf kepada krama desa atau banjar
o sanggup
memperbaiki dirinya sendiri atas kesalahannya
o membayar
biaya denda sesuai dengan hasil pararem
·
Yang dibebaskan dari
ayah-ayahan antara lain:
o Pendeta
o Pemangku
desa adat, kecuali jika ada upacara memakai kerbau terkena sumbangan upacara
setengah
o Yang
ditunjuk sebagai prajuru adat dibebaskan sesuai pararem
o Sebagai
kepala desa dan hansip dibebaskan dari itu
o Sekaa
Gong
o Krama
yang cacat dan sakit tahunan
·
Mengenai Kulkul
Kulkul desa terdiri dari kulkul pura
khayangan, kulkul desa ngarep, kulkul desa adat, kulkul banjar, kulkul
perkumpulan.
o Suara
kulkul
a. Kulkul
bedil, bila ada upacara odalan/ yadnya atau gerhana matahari atau gerhana bulan
b. Dua
kali kentongan lamban artinya masyarakat turun bergotong royong
c. Sebelas
kentongan ada warga yang kawin
d. Lima
kali kentongan ada orang meninggal masih bayi atau belum copot gigi
e. Lima
kali kentongan dilanjutkan dua kalu kentongan lambat ada orang meninggal
f.
Tujuh kali kentongan ada
orang melahirkan
g. Dua
kali kentongan lambat diakhiri dengan dua kali kentongan rapat atau kedatangan
pejabat daerah
h. Tiga
kali kentongan gotong royong ditunda
i.
Kulkul bulus : suara
kentongan cepat, ada bahaya kebakaran, kemalingan
(Awig-awig
desa adat ini masih mempertahankan tata cara penginformasian dengan cara
tradisional yaitu dengan isyarat pemukulan kulkul)
·
Kepemilikan Desa Adat
Kelusa
a. Pura-Pura:
1. Pura
Desa/ Bale Agung
2. Pura
Puseh
3. Pura
Dalem
4. Pura
Hyang Api
5. Pura
Luhurang Akasa/ Pura Alit
6. Pura
Melanting
7. Pura
Pacek
8. Pura
Nataran
9. Pura
Alit(Pura Tanjung Sari)
10. Pura
Praja Pati
11. Pura
Batan Taru
12. Pura
Agung
13. Pura
Taman Suci
b. Tanah-tanah
milik pura
c. Dua
tempat tanah kuburan
d. Bale
Banjar Desa adat dan Bale Wantilan
e. Karang
Ayahan Desa
f.
Bunyi-bunyian yang
terdiri dari Gong, Bebatelan, Gender Wayang dan alat-alat penari Rejang
·
Karang tegal lan carik : Krama
Desa yang memiliki tanah maka harus dipagari, dibuatkan saluran air
(Tanah milik desa pekraman atau tanah dea
pekraman adalah tanah-tanah yang lazim disebut tanah desa atau tanah driwe,
yang oleh beberapa pihak dikualifikasikan sebagai tanah ulayat menurut UUPA[8])
(Merupakan pengaturan hubungan antara
masia dengan alam lingkungannya (palemahan))
·
Pepohonan
o Bagi
warga yang menanam pohon agar disesuaikan dengan letak atau tempat yang
sebenarnya, bila ada yang menghalangi jalan tetangga atau mengganggu wajar di potong
apabila pohon itu rebah dan mengenai rumah orang maka mengganti kerugian.
o Apabila
ada pohon yang tidak ada pemiliknya agar melapor kepada prajuru adat supaya
ditebang.
·
Hewan atau Binatang
o Warga
desa yang memelihara babi, banteng dan sejenisnya supaya diikat dan dikandangi
agar tidak merusak tanaman dan tidak mencemarkan Pura atau merajan.
o Apabila
ada binatang yang lepas merusak pekarangan atau tumbuh-tumbuhan krama lain
dikenakan denda sesuai pararem
o Apabila
binatang tersebut merusak tempat suci seperti sanggah pura setelah disampaikan
oleh prajuru adat bagi yang memiliki hewan atau binatang tersebut dikenakan
denda prayascita, caru panca sata dengan daging bebek belang kalung
o Krama
yang memiliki peliharaan binatang seperti diatas tidak boleh mengikat di
tempat-tempat suci, di jalan besar, jalan desa atau banjar, kuburan dan
alun-alun lapangan
·
Musibah
o Musibah
terdiri dari Musibah Jiwa, Musibah Arta, Musibah Api, Musibah Gempah, Musibah
Air, Musibah Angin, dan lain-lain
o Yang
menemukan bahaya atau yang melihat terjadinya musibah wenang memukul kentongan
o Warga
desa patut menolong orang yang terkena musibah
o Bila
ada terkena musibah Jiwa, maka pihak desa harus melakukan Bhuta Yadnya sesuai
dengan agama dan adat yang ada
o Jika
ada manusia berbuat kata-kata kotor kepada orang lain apalagi kepada yang
berwangsa atau sudah disucikan oleh krama dikenakan denda prayascita
Bab IV
Pelaksanaan Panca Yadnya
(Panca Yadnya terdiri atas dua kata,
yaitu panca dan Yadnya. Panca yang artinya lima dan yadnya yang artinya
persembahan atau korban suci. Jadi Panca Yadnya adalah lima persembahan suci
yang tulus ikhlas, erat kaitannya dengan Tri Hita Karana dalam hubungannya
antara manusia dengan Tuhan Sang Maha Pencipta)
A.
Dewa Yadnya (Dewa Yadnya
adalah persembahan suci yang ditujukan kepada
Sang Hyang Widhi dan para Dewa. Dewa Yadnya biasanya dilakukan di Pura, mrajan,
atau di tempat yang bersih, yang memiliki nilai kesucian. Tujuan dari Dewa
Yadnya adalah menyampaikan rasa bhakti dan syukur kepada Sang Hyang Widhi atas
segala anugerah-Nya.)
Pura
yang ada di desa adat Kelusa terdiri dari :
·
Pura Desa/ Bale Agung dan
Pura Puseh, upacaranya saat Rahina Buda Kliwon, Wuku Ugu
·
Pura Dalem dan Prajapati,
upacaranya saat Rahina Buda Umanis, wuku Tambir
·
Pura Hyang Api dan Pura
Alit(Pura Tanjung Sari), upacaranya saat Rahina Saniscara Kliwon (tumpek) wuku
uye
·
Pura Luhurang Akasa/ Pura
Alit dan Pura Nataran, upacaranya saat Purnama Kedasa
·
Pura Melanting dan Pura
Pacek, upacaranya disaat rahina Buda Wage, wuku Klawu (Buda Cemeng Klawu)
·
Pura Batan Taru
upacaranya disaar Purnama Sasih Kedasa
·
Pura Agung upacaranya
disaat Sukra Umanis, wuku Warigadian
·
Pura Taman Suci
upacaranya disaat Rahina Buda Umanis, wuku Tambir
B. Rsi
Yadnya (Rsi yadnya adalah persembahan suci yang
ditujukan kepada para Rsi dan guru untuk menjaga kesejahteraannya. Rsi adalah
orang-orang yang bijaksana dan berjiwa suci. Pendeta atau Sulinggih atau guru
dapat juga disebut orang suci karena beliau merupakan orang bijaksana yang
memberikan bimbingan kepada murid-muridnya.)
·
Jika ingin menjadi
pemangku atau pendeta melapor kepada prajuru desa adat dan Parisadha Hindu Dharma
·
Prajuru desa adat patut
mengawasi pelaksanaan upacara sebatas melaksanakan upacara yadnya
·
Krama desa adat wajib
melaksanakan ngayah dan mengantarkan sang sulinggih yang di tuntun oleh prajuru
adat
·
Sang sulinggih wajib
menyelesaikan yadnya di Desa Adat Kelusa baru menyelesaikan yadnya di desa lain
C.
Pitra Yadnya (Pitra
yadnya adalah persembahan suci yang ditujukan
kepada leluhur dan bhatara-bhatar Tujuannya adalah menyucikan roh-roh leluhur
agar mendapat tempat yang lebih baik.)
a.
Kalau ada orang meninggal
Dilakukan
dengan cara dikubur atau dibakar sebagai ciri dititipkan di ibu pertiwi
atau Bhatara Brahma sambil menunggu
biaya upacara selanjutnya
b.
Upacara dilanjutkan
dengan pengabenan dinamakan Ngeroras, Nyekah/Ngasti
o Bila
ada keluarga yang meninggal harus melapor kepada klian dan meminta pertimbangan
mengenai pelaksanaannya menyampaikan kepada krama banjar untuk melaksanakan
gotong royong membuat alat-alat upacara, membersihkan mayat dan mengantar ke
kuburan
o Penguburan
atau pembakaran mayat melihat pada hari baik
o Apabila
mayat sampai 7 hari dirumah tidak ada hari baik untuk dibakar atau dikubur,
harus dititipkan
o Tidak
boleh membuat bangbang atau dikubur ketika hari pasah, kala gotongan, ingkel
wong
o Tidak
dibolehkan menanam atau membakar mayat laki-laki atau perempuan dalam satu hari
di kuburan yang sama
o Apabila
ada orang yang meninggal bersamaan dengan odalan di Pura Desa maka yang meninggal
dititipkan di kuburan tanpa pemberitahuan bunyi kulkul dan jika upacara di pura
selesai baru dilaksanakan upacara penguburan
o Apabila
ada orang sakit keras (HIV, Lepra, dll) wajib dibakar dan abunya dihanyut
setelah 10 tahun baru keluarga boleh ngaben
o Kalau
ada perempuan yang meninggal dalam keadaan hamil, harus dilahirkan bayinya
terlebih dahulu baru ditanam
o Jika
ada mayat yang tidak ada yang mengakui dan juga tidak ada keluarganya maka
dikubur di setra desa adat kelusa, apabila ada yang mengakui keluarga tersebut
maka dikenakan denda prayascita dilaksanakan oleh desa adat kelusa
o Apabila
ada orang luar dari desa mau dikubur atau ngaben di desa adat kelusa wajib
terkena penanjung batu dan panukun setra disesuaikan dengan pararem
D.
Manusa Yadnya (Manusa Yadnya adalah upacara yang dipersembahkan untuk
memelihara hidup, kesempurnaan dan kesejahteraan manusia.)
Manusa
yadnya yaitu segala upacara manusa mulai dari pertemuan antara laki dan
perempuan
o Upacara
manusa yadnya terdiri dari
a. magedong-gedongan
dan ngidam sampai dengan 5 bulan.
b. Baru
habis melahirkan
c. kepus
pungsed
d. 12
harian
e. Tutug
kambuhan
f.
Tiga bulanan
g. Otonan
h. Tutug
kelih
i.
Ptong gigi
j.
Perkawinan
k. Mewinten
E.
Bhuta Yadnya (Bhuta Yadnya adalah persembahan suci yang ditujukan
kepada Bhuta Kala atau makhluk bawahan. Bhuta Kala adalah kekuatan-kekuatan
alam yang bersifat negative yang perlu kita lebur (somya) agar kembali pada
sifat-sifat positif agar tidak mengganggu ketenangan hidup umat manusia.)
Bhuta
Yadnya adalah semua upacara pebya kala di ibu pertiwi dan khayangan dan
upacara-upacara bebuthaan dinamakan mecaru
Pecaruan
dapat dilaksanakan seperti Eka Sata, Panca Sata, Panca Sanak, Rsi Gana, Panca
Kelud, Tawur agung, selain dari itu juga dilakukan mesaiban atau ngejot atau
Yadnya Sesa.
Bab V
Mengatur tentang Manusia
(Merupakan bagian dari hubungan
antara manusia dengan manusia (pawongan) dalam Tri Hita Karana)
·
Mengenai Perkawinan
Perkawinan
adalah pertemuan antara laki-laki dan perempuan berdasarkan suka sama suka
dilanjutkan dengan upacara sekala dan niskala, pelaksanaan pawiwahan di desa
adat ini terdiri dari:
a. Memadik
b. Ngerorod
c. Nyeburin
utawi nyentana
Jika
ada anak perempuan hamil wajib dilaporkan kepada prajuru adat dan prajuru adat
memastikan siapa yang menghamilinya apabila tidak ada yang mengakui maka dilaporkan
ke pejabat yang berwenang, apabila tidak ada yang mengakui maka keluarganya
wajib memrayascita anak perempuan yang hamil dan dikenakan denda seperti yang
ada dalam pararem, jika sudah lahir anaknya diangkat sesuai dengan sastra agama
dan dresta
·
Mengenai perceraian
o Kalau
sudah tidak bersuami istri disebut sapih
o Jika
sudah cerai karena salah satu meninggal bernama balu baik laki-laki maupun
perempuan
o kalau
sudah cerai harus diadakan pembicaraan, pemutus, dan di sampaikan kepada warga
dikenakan denda suara kulkul
o Kalau
dia sudah cerai dan ingin menikah kembali harus dilakukan upacara perkawinan
lagi dan dikenakan denda seusia dengan pararem
·
Mengenai Sentana
o Prati
Sentana adalah anak yang keluar dari hasil perkawinan
o Jika
ada perkawinan yang tidak diharapkan sampai melahirkan anak supaya tidak di cap
astra atau bebinjat wajib dilaksanakan pengaskara atau upacara peperasan
o Apabila
perkawinan tidak melahirkan anak berkeinginan untuk meminta anak atau sentana
harus ada saksi sekala niskala yang disebut sentana paperasan
o Sentana
rajeg yaitu anak perempuan yang didudukan sebagai laki-laki setelah
melaksanakan perkawinan kaceburin
·
Mengenai Waris
(hukum
adat waris tidaklah semata-mata hanya membicarakan perihal orang yang menerima
harta warisan melainkan meliputi keseluruhan peraturan-peraturan yang mengatur
proses meneruskan serta mengoperkan barang-barang harta benda dan barang-barang
yang tidak berwujud benda dari satu angkatan manusia kepada turunannya[9].)
o Warisan
yaitu warisan arta brana beserta ayah-ayahan baik sekala maupun niskala dari
keturunannya
o Yang
disebut warisan adalah
a. Milik
Bersama, Halaman rumah, Merajan
b. Harta
bersama, pemberian dari orang tua dan utang piutang
c. Ayah-ayahan
o Baru
disebut warisan apabila ada pewaris, ahli waris dan kekayaan dan ayah-ayahan
o Ahli
waris seperti
·
Anak laki-laki
·
Sentana rajeg
·
Sentana paperasan laki
atau perempuan
o Pembagian
waris seperti di bawah ini
a. Sesudah
melaksanakan upacara pitra yadnya dan hutang piutangnya dilunasi
b. Ahli
waris yang ngayah mendapatkan lebih dari yang lain tergantung kesepakatan
keluarga
c. Ahli
waris yang merupakan krama terdepan
menempati tanah desa tergantung kesepakatan keluarga
d. Ahli
waris yang tidak mendapatkan bagian adalah yang meninggalkan kawitan dan
melaksanakan kewajiban agama dan adat
e. Berani
melawan orang tua
f.
Sentana rajeg yang
meninggalkan rumah
g. Sentana
luh, selama belum menikah dan melawan orang tua
h. Janda
perempuan yang pulang ke rumah asalnya tidak mendapat warisan
i.
Duda laki-laki yang
pulang setelah kawin nyeburin tidak mendapat warisan
j.
Ketika dia hidup orang
tuanya memberikan bekal sebagai wujud memberikan bekal pada anaknya
Bab VI
Berbicara dan Denda
(Di dalam awig-awig mekanisme
penyelesaian pelanggaran adat umumnya diatur dalam bab tersendiri, yang disebut
Sargah Wicara lan Pamidanda[10].)
·
Mengenai Berbicara
o Yang
berwenang memutuskan pembicaraan di desa adalah prajuru desa atau kertha desa
o Segala
pembicaraan tentang corah seperti melanggar isi awig-awig atau pararem desa
banjar prajuru desa secepatnya membicarakan tanpa menunggu pelapor
o Selain
pembicaraan diatas patut menunggu laporan dari yang meminta pembahasan
o Yang
hadir harus ada saksi atau bukti pembicaraan tidak sesuai dengan catur dresta
·
Mengenai denda (Pemberian
denda atau sanksi adat atau koreksi adat dengan tujuan untuk mengembalikan
keseimbangan yang terganggu akibat adanya pelanggaran adat[11].)
o Desa
atau banjar berwenang menghukum seseorang yang melakukan kesalahan diputuskan
oleh bendesa atau klian banjar
o Yang
dikenakan denda antara lain :
a. Tidak
melakukan ayahan desa
b. Berkali-kali
tidak membayar denda
c. Diambil
tempat tinggalnya
d. Uang
yang dikenakan denda masuk ke kas Desa atau banjar
o Krama
yang berturut-turut 3 kali pertemuan dan tidak membayar urunan atau denda wajib
dirampas
o Yang
melaksanakan perampasan adalah Prajuru diikuti oleh krama sebagai saksi
o Krama
yang dirampas diambil barangnya atau disita tanam-tanamannya sejumlah hutang
yang dirampas
o Prajuru
menyampaikan barang-barang yang dirampas agar segera ditebus diberikan waktu 7
hari bila lebih maka akan dijual
o Tidak
dibenarkan merampas yang melanggar agama dan membunuh mata pencaharian yang
dirampas
o Bagi
yang terkena denda diucapkan di depan masyarakat sesudah meminta maaf kepada
krama desa setelah ada putusan pararem desa
o Sebelum
dirampas didahului dengan prayascita tentang kesalahan di desa adat
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Masyarakat
Bali terikat oleh norma-norma hukum yang mengatur pergaulan hidup mereka baik
tertulis maupun tidak tertulis untuk mencapai kesejahteraan umat manusia yang
mengatur kehidupan masyarakat Bali yang menyangkut hubungan antara sesama
manusia, hubungan manusia dengan lingkungan alamnya, dan hubungan antara
manusia dengan Tuhan maka diadakan upaya hukum atau tindakan-tindakan hukum
atau yang lebih dikenal dengan Tri Hita Karana.
Pengaturan mengenai hal ini telah
dicantumkan dalam Awig-awig Desa Kelusa adat dengan substansi antara lain wilayah
desa, landasan hukum desa adat, yang mengatur tentang krama adat, pelaksanaan
panca yadnya, pengaturan tentang manusia, dan mengenai berbicara dan denda,
dimana disetiap Desa adat memiliki substansi yang berbeda dan keunikan pengaturannya tersendiri, namun
memiliki tujuan yang sama yaitu kesejahteraan umat manusia.
Untuk mengembalikan keseimbangan
yang dianggap terganggu baik secara materiil maupun immateriil berupa pengenaan
sanksi adat atau reaksi adat, hal ini diatur dalam awig-awig yang dimiliki oleh
masing-masing Desa Adat.
4.2 Saran
Diharapkan
yang menjadi bagian dari masyarakat adat suatu daerah mengetahui, mempelajari
dan tetap mempertahankan keeksisan dari
sebuah hukum adat di daerahnya karena dengan kesadaran tersebut dalam
bermasyarakat adat akan terbentuk hubungan yang baik atas dasar Tri Hita Karana
yang menyangkut hubungan antara sesama manusia, hubungan manusia dengan
lingkungan alamnya, dan hubungan antara manusia dengan Tuhan. Bagi hukum adat
yang sudah tertinggal oleh jaman agar dibentuk ketentuan baru yang dicatatkan
dan diumumkan kepada masyarakat hukum adat mengenai pembaharuan tersebut.
[1] Wayan P.
Windia & Ketut Sudantra, 2006, Pengantar
Hukum Adat Bali, Denpasar: Prasasti O. Denpasar, Hlm. 2
[2] Wayan P.
Windia & Ketut Sudantra, Op.cit,
hlm. 3
[3] Ali,
Ahmad, 2002. Menguak Tabir Hukum,
Jakarta, Gunung Agung
[4] Wayan P. Windia
& Ketut Sudantra, Op.cit, hlm. 4
[5] BPHN,
1976. Seminar Pembinaan Hukum Adat dan Pembinaan
Hukum Nasional, Bina Cipta, Hlm. 250
[6] Institut
Hindu Dharma, Keputusan Seminar XII
Kesatuan Tafsir Terhadap Aspek-aspek Agama Hindu, Proyek Daerah Tingkat I Bali,
1986.
[7] E.
Utrecht, 1966, Pengantar dalam Hukum
Indonesia, hlm. 87
[8] M
Suasthawa D., M., 1987, Status dan Fungsi
Tanah Adat di Bali Setelah Berlakunya UUPA, Denpasar: Cv Kayumas Agung,
Hlm. 92
[9] Soepomo,
1982, Hukum Kekeluargaan Nasional,
Jakarta: Tintamas, Hlm. 1
[10] Wayan P.
Windia & Ketut Sudantra, Op.cit,
hlm. 149
[11] I Made
Widnyana, 1993, Kapita Selekta Hukum
Pidana Adat, Bandung: PT Eresco, Hlm. 11
Comments
Post a Comment