Hukum Adat di Era Globalisasi
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Hukum adat merupakan hukum yang
berkembang dalam masyarakat dan merupakan kebiasaan dari masayarat tersebut.
Penerapan hukum adat telah berlangsung dan diteliti sejak lama, namun di era
globalisasi ini penerapan hukum adat kian hari kian menipis dan ditinggalkan
oleh masyarakat. Sebelum membahas mengenai hukum adat di Indonesia dan
penerapannya dalam era globalisasi ini, akan dijelaskan terlebih dahulu
pengertian dari globalisasi. Globalisasi
berasal dari kata benda “globe” yaitu bumi kita yang wujudnya bulat ini
dan tersusun kata sifat global. Yang dimaksud dengan kata sifat global adalah
suatu sifat yang meliputi keseluruhan secara pokok. Globalisasi adalah proses integrasi internasional yang terjadi karena
pertukaran pandangan dunia,
produk, pemikiran, dan aspek-aspek kebudayaan lainnya. Kemajuan
infrastruktur transportasi dan telekomunikasi,
termasuk kemunculan telegraf dan Internet, merupakan faktor
utama dalam globalisasi yang semakin mendorong saling
ketergantungan (interdependensi)
aktivitas ekonomi dan budaya.
Banyak
pihak yang menyimpulkan bahwa mempelajari hukum adat adalah orang yang tidak
mengikuti perkembangan zaman. Orang yang mempelajari hukum adat dianggap
kuno. Bahkan saat ini saja, kita sulit untuk menemukan orang yang menaruh
perhatian lebih terhadap hukum adat. Lebih dari itu, dalam pandangan orang yang
positivistik, hukum adat dipandang bukan sebagai hukum dalam konteks
sebenarnya, melainkan hanya kaidah yang berisikan norma yang membicarakan hal
yang ideal. Ia tidak dapat dikualifikasikan sebagai ajaran hukum modern yang
sesuai dengan tuntutan abad globalisasi.
Seperti itulah gambaran eksistensi hukum adat di tengah kehidupan
bernegara di Republik Indonesia yang kita cintai ini. Hukum adat kini telah
hilang jati dirinya sebagai landasan dasar berbangsa. Sebagai hukum yang hidup
dalam masyarakat beratus-ratus tahun lalu, tidak salah apabila kita tetap
mempertahankan hukum adat sebagai bagian dari sistem dan struktur hukum di
Indonesia.
Dewasa
ini, masyarakat kita mungkin sudah lupa bahkan tidak peduli lagi dengan apa itu
hukum adat. Hukum adat hanya ditafsirkan sebagai warisan hukum kuno yang tidak
relevan dengan perkembangan globalisasi. Hukum adat hanya dianggap sebagai
hukum pelengkap yang hanya dipakai ketika diperlukan saja.
Dalam
mengahadapi era globalisasi, dimana untuk mengikuti pola menjadi suatu yang
terelakkan lagi, maka keberlangsungan hukum adat menjadi sangat penting. Pada
posisi ini, ia tidak lagi sebatas hukum asli indonesia yang harus dijaga
keberadaannya, tapi lebih dari itu, hukum adat seyogya-nya memiliki fungsi sebagai
“alat filter” bagi masuknya pengaruh asing di Indonesia. Filterisasi inilah
yang pada saat ini tidak dimiliki oleh kita sebagai bangsa yang besar. Hukum
adat menjadi tidak berdaya ketika dihadapkan pada intervensi asing. Ini
dikarenakan hukum adat tidak dipelajari, dipahami, dan diterapkan secara
mendalam oleh masyarakat
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana kedudukan hukum adat dan masihkah hukum adat berperan pada era
globalisasi kini?
1.3 Metode Pustaka
Metode kepustakaan merupakan metode pengumpulan data pustaka yang
diolah sebagai bahan penelitian (Zed, 2004: 3). Dalam metode ini, penulis
mencari literatur-literatur, baik berupa buku, buku elektronik, dan sumber data
di internet untuk memperkaya teori yang menunjang penelitian.
1.4 Tujuan
1.
Mengetahui
posisi adat dan hukum ada di zaman modern dan era globalisasi.
2.
Mengetahui berlakunya hukum adat di zaman modern dan era
globalisasi.
1.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Hukum adat
di era globalisasi
Pada
mulanya sebelum disebut sebagai era globalisasi, mulanya telah ada beberapa
pandangan yang mendahului pandangan yang menggambarkan era globalisasi saat
ini. Pandangan ini pertama muncul di Amerika Serikat yaitu yang dibawa oleh
para petualang Eropa salah satunya Columbus karena memiliki harapan di Benua
Amerika yang pertama ditemuinya ia dapat memperoleh keinginan untuk memperbaiki
nasibnya lebih baik, salah satunya dengan mencari harta. Karena besarnya
kenginan tersebut pendatang dari Eropa Barat ini menganut paham individualisme:
lebih mengedepankan kebutuhan untuk dirinya sendiri dan materialisme: kebutuhan
akan kekayaan untuk diri sendiri, dengan jiwa tersebut filsafat ini kemudian
dikenal sebagai filsafat hedonisme. Filsafat ini memandang tujuan hidup adalah
mencari kenikmatan dan kebahagiaan melalui kekayaan materil yang melimpah.
Aliran inilah yang dominan pada saat itu di Amerika Serikat. Para pendatang ini
sering disebut kaum pionir.
Dalam
perkembangannya filsafat hedonisme ini menjadi menajam kepada filsafat yang disebut
pragramatisme. Filsafat ini mengajarkan dalam hidup bagi seseorang yang
terpenting harus dapat berbuat dengan baik dan tepat guna atau efisien yang
dikenal dengan ajaran can do-isme. Yaitu dalam memenuhi kebutuhan hidup harus
memiliki kemampuan yang lebih hebat, baik, dan cepat (do more, do better, do
faster). Dalam melakukan pemenuhan kebutuhan yang lebih baik dan efisien
kemudian muncul ajaran Enginering. Ajaran enginering tersebut kemudian membawa
kemajuan yang benar-benar pesat dan mengagumkan karena dalam proses dan
pengelolaan pemenuhan kebetuhan (materialisme tersebut) menjadi lebih baik,
lebih sistematis dan lebih efisien.
Kemajuan
teknologi ini kemudian memberi percepatan memenuhi kebutuhan itu lebih bersifat
kompleks yaitu ekonomis, teknik, komunikasi, sosial politik, kesenian dan
sebagainya. Perkembangan ini sering disebut paham hedonisme baru yang dalam
dasarnya menganut tiga ideologi:
1.
Ideologi
terus-menerus
2.
Ideologi
kemajuan yang berjalan mantap secara linear
3.
Ideologi
kemewahan dengan menggunakan peralatan yang hebat untuk kemajuan yang cepat.
Kekuatan
hedonisme baru ini melanda dengan cepat hampir seluruh masyarakat dan memaksa
masyarakat di seluruh muka bumi terbawa arus kekuatan hedonisme baru, terlebih
itu dilakukan dengan teknologi yang canggih terutama dalam bidang komunikasi,
informasi dan industri. Sehingga dampak yang dirasakan adalah kekuatan
hedonisme baru ini mulai menindih pandangan yang telah lama ada. Paham-paham
individualisme, sekularisme, materialisme, hedonisme baru ini yang kita sebut
adalah perbuatan globalisasi.
2.1.1 Pengertian Hukum Adat
Hukum Adat adalah hukum/peraturan tidak
tertulis yang tumbuh dan berkembang di dalam masyarakat yang hanya ditaati oleh
masyarakat yang bersangkutan. Hukum adat mempunyai kemampuan
menyesuaikan diri dan elastis karena peraturan-peraturannya tidak tertulis.
Dalam hukum adat dikenal juga Masyarakat Hukum adat yaitu sekumpulan orang yang
di ikat oleh tatanan hukum/ peraturan adat sebagai warga bersama dalams satu
persekutuan hukum yang tumbuh karena dasar keturunan ataupun kesamaan
lokasi tempat tinggal
Setiap bangsa di
dunia mempunyai adat kebiasaan masing-masing antara adat bangsa yang satu dan
bangsa yang lain tidaklah sama. Karena perbedaan/ ketidak samaan
tersebutlah adat dapat membuat kita saling mengenal identitas suatu perkumpulan
adat. Oleh karena itu adat adalah suatu pencerminan diri pada kepribadian
sebuah bangsa.
2.1.2 Globalisasi
Kata globalisasi sebenarnya merupakan serapan dari bahasa asing yaitu
bahasa Inggris globalization. Kata globalization sendiri
sebenarnya berasal dari kata global yang berarti universal
yang mendapat imbuhan -lization yang bisa dimaknai sebagai
proses. Jadi dari asal mula katanya, globalisasi bisa diartikan sebagai proses
penyebaran unsur-unsur baru baik berupa informasi, pemikiran, gaya hidup maupun
teknologi secara mendunia.
Globalisasi diartikan sebagai suatu proses dimana bata-batas suatu negara
menjadi semakin sempit karena kemudahan interaksi antara negara baik berupa
pertukaran informasi, perdagangan, teknologi, gaya hidup dan bentuk-bentuk
interaksi yang lain.
2.1.3 Hukum Adat di Era Globalisasi
Berlakunya hukum adat di Indonesia,
bukanlah karena ditetapkan oleh Negara, sebab penetapan diperlukan apabila
hukum adat merupakan suatu system hukum yang baru yang belum ada sebelumnya. Tetapi kiranya harus diketahui bahwa
keberadaan hukum adat di Nusantara ini telah ada sebelum Republik ini berdiri.
Dalam UUD’45 (Ps. 18 B ayat 2) dinyatakan bahwa “Negara mengakui dan
menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat dalam hukum adat beserta hak-hak
tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat
dan prinsip-prinsip Negara Kesatuan RI yang diatur dalam undang – undang”.
Ketentuan Ps. 18 B(2) UUD’45 tersebut diatas, dapat dipahami mengandung
unsur-unsur sebagai berikut :
·
Negara
mengakui dan menghormati hukum adat, ini artinya Negara bukan hanya sekedar
mengakui kebenaran dari hukum adat tersebut, tetapi lebih dari itu harus pula
berperan aktif dalam proses pembangunan hukum adat, misalnya pemberdayaan
kembali lembaga-lembaga hukum adat yang telah lama memudar sebagai akibat dari
dominasi sistem perundang-undangan dan sistem ketatanegaraan kita di masa lalu.
Negara mengakui eksistensi kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat dan hak-hak
tradisionalnya, ini berarti Negara berkewajiban untuk mendorong dan jika perlu
berperan aktif untuk memberdayakan kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat
sebagai bagian penting dari komponen bangsa dan menghormati serta memelihara
segala ciri has yang ada sebagai bagian dari asset bangsa :
o Pembangunan hukum dan
pemberdayaan lembaga-lembaga adat harus memberikan dampak positip sehingga
mampu berpungsi dan berperan aktip sebagai pilter yang dapat menangkal segala
dampak negatip dari arus globalisasi.
o
Kesatuan-kesatuan
masyarakat dalam hukum adat memelihara dan menggunakan hak-hak tradisionalnya
dengan tetap menyadari keberadaannya dalam bingkai Negara Kesatuan RI.
Secara umum, hukum adat adalah hukum yang hidup dan
berkembang dalam masyarakat sejak lama yang berdasarkan pada nilai-nilai yang
hidup dalam masyarakat itu. Melihat perkembangan perubahan masyarakat yang
hidup pada zaman globalisasi dan modernitas, bisa disebut juga sebagai
konsekwensi logis dari kemajuan teknologi, informasi dan transportasi,
cenderung meninggalkan sesuatu yang telah menjadi pegangan luhur dalam budayanya.
Nilai-nilai yang dibawa melalui globalisasi dan modernitas diambil dan
digunakan begitu saja tanpa adanya filterisasi, orang akan senang jika
menyelesaikan persoalan di depan pengadilan, walaupun itu mempunyai implikasi
pada banyak waktu yang terbuang dan mahalnya biaya untuk berperkara jika
dibandingkan menyelesaikan sengketa melalui permusyawaratan ninik-mamak, di mana hal ini
bisa dilakukan secara kekeluargaan dan dengan biaya yang murah.
Pergeseran ini begitu terlihat juga pada sistem kekerabatan
yang mulai luntur, kalau dahulu keluarga merupakan prioritas utama dalam segala
hal, kini sudah bergeser pada semakin mengagungkan materi dan lebih pada
beberapa tahun terakhir ini sering ditemukan keretakan keluarga lebih banyak
disebabkan oleh persoalan harta benda.
Maka dari itu penguasa negeri ini, khususnya pemerintah
daerah, diharapkan untuk dapat memberikan ruang yang lebih luas kepada
masyarakat, dalam hal ini pemerintah desa, untuk melestarikan serta
mempertahankan aset budaya dan hukum adat yang telah diyakini secara turun
temurun selama beratus-ratus tahun. Hal ini diperlukan agar apa yang menjadi
ketakutan kita atas arus globalisasi tidak diterima secara penuh, melainkan
juga bisa difilterisasi oleh nilai-nilai adat. Tentunya duduk berdampingan
dengan damai dengan hukum yang berlaku secara nasional.
Untuk
itu Menurut Prof. Satjipto Rahardjo ada empat syarat eksistensi hukum adat, Empat syarat itu adalah :
1.
Sepanjang masih hidup
Hukum
adat di beberapa desa masih hidup dan masih berjalan, walaupun sampai saat ini
fungsinya semakin berkurang dan tampak kurang maksimal. Keberadaannya bisa
dibuktikan dengan masih adanya Lembaga Adat Desa dalam struktur Pemerintahan
Desa dan juga masih sering melakukan kaji baco(persidangan) jika
ada sengketa dalam masyarakat.
2.
Sesuai dengan perkembangan masyarakat
Perkembangan
masyarakat yang positif tidak berpengaruh besar pada hukum adat, sebagai contoh
jika dalam pemerintahan ada hierarki pemerintahan maka hukum adat mengatakan
bahwa bajenjang naik, butakak tuhun (sama seperti hierarki).
Atau dalam seloko adat Jambi dikatakan bahwa di mano
tamilang dicacak di situ tanaman tumboh, di mano anteng dipatah di situ aek
cucoh. Seloko tersebut menjelaskan bahwa sellu ada
penyesuaian pemberlakuan hukum terhadap keadaan mayarakat yang selalu berubah.
3.
Sesuai dengan prinsip NKRI
Hukum
adat yang berlaku, telah menganut nilai-nilai yang berlaku di dalam Pancasila
yang merupakan falsafah dasar negara Indonesia.
4.
Diatur dalam Undang-undang.
Semenjak
amandemen UUD 1945 dan mulai berlakunya UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah, celah untuk memberikan keleluasaan bagi desa untuk
menentukan hukumnya sendiri sudah sangat terbuka, tinggal sekarang ini adalah
bagaimana aplikasinya di tingkat Pemerintahan Daerah itu sendiri.
Namun yang paling penting dari semua
itu adalah desa, dan semua masyarakat lokal di Indonesia, mempunyai kearifan
lokal secara kuat yang mengandung roh kecukupan, keseimbangan dan keberlanjutan
dalam mengelola sumber daya alam dan sumber daya manusia. Oleh karena itu,
memberikan ruang yang lebih luas kepada institusi dan masyarakat desa untuk
melaksanakan hukum adat dan kebiasaanya merupakan jalan yang lebih tepat untuk
merespons dan memperbaiki kerusakan-kerusakan sosial, budaya, ekonomi dan
politik desa.
Berikut
adalah contoh ketika hukum adat dapat melakukan filterisasi nilai global, tapi
akan menghambat misi pemerintah dalam menciptakan pembangunan global, yaitu
bagaimana norma-norma dalam paket UU HAKI tidak berjalan efektif di Indonesia. Hal ini dikarenakan,
semangat dan jiwa yang terkandung dalam UU itu bukanlah berasal dari
nilai-nilai yang terkandung dalam hukum adat. Masyarakat Indonesia (dalam
beberapa wilayah tertentu) masih menganut dan memahami nilai
“kolektivistik-spiritualistik”. Nilai ini menggiring masyarakat agar untuk
bersikap saling tolong menolong dalam menciptakan susana kebersamaan (nilai
kolektivistik), sehingga bagi mereka sendiri hal ini akan mendekatkan diri
kepada sang pencipta (spritualistik). Nah kemudian, sebagai bagian dari
tuntutan global, maka kehadiran paket UU HAKI tentunya ingin melindungi hak-hak
komersial bagi setiap individu (nilai individuailistik – komersialistik) dalam
menciptakan sesuatu hal yang baru. Apabila kutub nilai global ini dihadapkan,
maka akan menciptakan pertarungan nilai yang tidak akan bertemu. Sehingga tidak
heran apabila paket UU HAKI ini tidak akan berjalan efektif di Indonesia,
karena pengaruh hukum adat di beberapa wilayah tertentu masih tetap terjaga.
Contoh realita lain adalah, bagaimana usaha
masyarakat Minang (Sumatera Barat) untuk tetap mempertahankan nilai-nilai hukum
adat di wilayahnya. Kita sudah mahfum apabila investasi di Sumatera Barat tidak
berjalan efektif dan cenderung stganan, sehingga pembangunan di provinsi ini
tertinggal jauh untuk level Pulau Sumatera. Ini bukan karena Sumatera Barat
tidak memiliki potensi investasi, tetapi yang menjadi permasalahan adalah
masyarakat adat disana tetap menjunjung tinggi nilai adat. Sehingga untuk BUMN
sekelas PT. Semen Padang pun harus rela melakukan “profit sharing”
kepada masyarakat setempat, karena PT. Semen Padang telah menggunakan tanah
ulayat dalam melakukan aktivitas produksi-nya.
Begitu juga sebaliknya ketika nilai global dapat
mengintervensi nilai hukum adat. Kita ambil contoh kasus populer belakangan ini,
yaitu kejahatan kemanusiaan yang terjadi di Kabupaten Mesuji (Sumsel –
Lampung). Kejahatan luar biasa ini tidak akan terjadi seandainya kita kembali
pada nilai-nilai yang terkandung dalam hukum adat itu sendiri (baca:
Pancasila). Secara sederhana, hal ini dilatarbelakangi adanya pengambil-alihan
tanah adat oleh perusahaan perkebunan secara sepihak, sehingga menimbulkan
reaksi protes oleh warga yang kemudian berhadapan dengan PAM Swakarsa dari
pihak perusahaan. Alhasil tindakan kekerasan pun tidak terelakkan lagi.
Konflik agraria semacam ini, pada dasarnya tidak
hanya terjadi di Kabupaten Mesuji saja, tapi dapat penulis pastikan hampir
semua daerah di Indonesia juga mengahadapi problem yang sama. Dan akar
permasalahannya pun sama, yaitu tidak adanya “political will” yang
sunguh-sungguh dari pemerintah untuk melindungi dan menghargai hukum adat
sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari sistem hukum di Indonesia.
Namun ketika hukum adat disebuah negara
mulai ditinggalkan akibat globalisasi yang dipengaruhi pula dengan negara lain,
seharusnya kita tidak dapat menyalahkan pengaruh globalisasi dalam konteks
kekinian. Setiap
negara tentunya tidak dapat menafikan keberadaan negara lain. Sehingga bukan
menjadi hal tabu apabila terdapat akulturasi dan intervensi budaya asing untuk
masuk dalam tatanan budaya Indonesia. Tapi kita juga perlu memperkuat dan
mempertahankan nilai hukum adat, agar kita tidak terlalu jauh mengikuti arus
global.
Persepsi
yang berkembang selama ini menyatakan bahwa dengan tetap menggunakan hukum
adat, maka suatu negara tidak akan pernah menjadi negara maju. Negara yang
masih menjunjung nilai hukum tradisional dipastikan tidak dapat bersaing di
kancah internasional. Namun, apabila kita melihat kiprah Malaysia, Amerika,
Inggris, dan negara-negara Common Law lainnya, maka hipotesa
demikian dapat dengan mudah dipatahkan. Persoalannya bukan terletak pada sistem
hukum adatnya, tetapi bagaimana hukum adat (hukum tidak tertulis) itu dapat
diselaraskan dengan tuntuntan penerapan hukum modern (hukum positivistik).
Relevansi di antara keduanya memiliki kaitan yang sangat erat. Sekarang tinggal
bagaimana pemerintah dapat menyerasikan keduanya dalam format aturan yang
progresif.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Hukum
adat merupakan hukum yang hidup, secara kuat dan mengakat ditengah-tengah
masyarakat. Eksistensi hukum adat ini, berupa nilai-nilai yang hidup di tengah
masyarakat, sekalipun tidak tertulis, sehingga walaupun hukum adat tersebut
tidak ditetapkan oleh Negara (positifisasi), tetap berlaku ditengah-tengah
masyarakat. Oleh Karena itu, hukum adat sebagai hukum yang berlaku tidaklah
mesti harus dilihat dari adanya penerapan sanksi, akan tetapi hukum adat telah
cukup dinyatakan berlaku apabila ada pernyataan-pernyataan yang diungkapkan
sebagai pernyataan rasa keadilan dalam perhubungan pamrih, yang dinyatakan
berlaku sebagai uger-ugeran, sehingga hukum adat lebih menjamin rasa keadilan
yang dibutuhkan masyarakat. Fakta menunjukkan bahwa cukup banyak peraturan
(hukum positif) yang dalam pelaksanaannya kurang atau tidak diterima oleh
masyarakat.
Dari
pemaparan diatas, dapat disimpulkan bahwa tergerusnya
penerapan hukum adat bukanlah merupakan kesalahan pengaruh globalisasi namun
berasal dari pribadi setiap individu masing-masing. Hukum adat masih dibutuhkan dalam
menjawab tuntutan kompleksitas persoalan globalisasi. Sebab hukum adat
merupakan nilai-nilai (kebenaran dan keadilan) yang hidup ditengah-tengah
masyarakat. Dan tuntutan masyarakat sebenarnya adalah kebenaran dan keadilan,
bukan berlakunya hukum secara prosedural.
Melihat
kondisi sebagian besar masyarakat Indonesia yang komunal-sosialis-religi, maka
layak dipertimbangkan kembali mengenai sistem hukum yang digunakan di
Indonesia. Sistem Hukum Adat yang hidup dan berkembang seiring perkembangan
masyarakat nampaknya layak untuk dipertimbangkan sebagai dasar bagi pembangunan
Hukum Nasional Indonesia. Globalisasi yang semakin masuk ke tingkat yang paling
lokal di Indonesia, bahkan sudah dianggap agama universal, sekarang kurang
mendapatkan saringan dan cenderung diterima secara utuh tanpa melihat akar
budaya dan asal usulnya apakah sesuai atau tidak dengan akar budaya Indonesia.
Hal yang paling penting adalah kekuatan kekerabatan, toleransi, kesatuan adat,
religiusitas dan kebersamaan masyarakat Indonesia, khususnya di basisnya di
desa, akan mampu memberikan suatu saringan yang efektiv terhadap arus negatif
dari globalisasi yang membawa budaya barat (Eropa) yang individualis, sekuler,
kapitalis, konsumeris dan sedikit liberalis.
Dari
uraian di atas kita dapat menjawab posisi adat di dalam menghadapi arus dan
gelombang kekuatan globalisasi. Tampak didalam celah-celah gelombang
itu, Adat kita, masih tetap bertahan. Di dalam bertahan itu akar mendasar
memang masih sangat kuat. Tetapi di dalam permukaan menunjukkan betapa banyak
sudah dari Adat kita yang telah tergunduli dan berganti wajah, ini di karenakan
hukum adat di tiap-tiap daerah tergeser oleh pengaruh globalisasi yang mengikis
jati diri tiap adat- adat di daerah, oleh karena itu kita perlu mengetahui posisi
hukum adat pada era globalisasi adalah harus tetap di pertahankan berlakunya di
masa sekarang maupun masa mendatang, karena hukum adat merupakan :
1.
Keseluruhan
aturan tingkah laku positif yang di satu pihak mempunyai sanksi (oleh karena
itu disebut “hukum”) yang berlaku di tiap-tiap daerah di indonesia.
2. Di akuinya keberadaan hukum
adat Dalam UUD’45 (Ps. 18 B ayat 2) dinyatakan bahwa “Negara mengakui dan
menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat dalam hukum adat beserta hak-hak
tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat
dan prinsip-prinsip Negara Kesatuan RI yang diatur dalam undang – undang”.
3.2 Saran
Ajaran
Adat tersebut juga bergantung kepada batin kita sebagai orang-orang Adat
sendiri. Artinya keteguhan pendirian dan pengalamannya secara konsekwen dan
konsisten dari kita sebagai pengikut-pengikut dan pendukung Adat adalah
menentukan. Sehubungan dengan itu satu hal yang perlu menjadi perhatian. Yaitu
tentang kwalitas pengikut dan pendudukung Adat itu sendiri. Kalau pendukung,
penganut dan penghayat Adat mengikuti prinsip prinsip itu dengan jiwa munafik,
hal itu akan tidak banyak artinya bagi tegaknya Adat kita sebagai filsafat
hidup dan budaya kita. Dalam hal para pengikut dan pendukung Adat bersifat
demikian, dapatlah dikatakan bahwa Adat atau budaya kita akan mengalami
perubahan secara hakiki. Membanjirnya gelombang kekuatan yang melanda kita itu,
ditunjang oleh filsafat hedonisme yang kini juga telah terang-terangan subur
dalam masyarakat kita, telah mengenai dimensi Adat yang paling mendasar yaitu
tujuan Adat.
Bila
itu sampai terjadi, maka Adat berarti mau mengikuti dan tunduk kepada tuntutan
kehidupan masyarakat yang mekanis, mengikuti arus kemajuan yang tidak tentu
arah rimbanya. Dalam hal itu kehidupan kita akan dihimpit dan ditentukan oleh
tonggak bermasyarakat yang dicanangkan filsafat yang melatar-belakangi kekuatan
globalisasi yaitu ”stability and change” tanpa titik tujuan.
Atas
dasar tersebut, maka setidaknya ada 4 (empat) solusi progresif yang penulis tawarkan
dalam “meredakan” konflik antara pengaruh globalisasi terhadap ekistensi hukum
adat antara lain:
1. Menjadikan
mata kuliah hukum adat sebagai mata kuliah wajib di setiap fakultas hukum di
Indonesia. Dengan adanya keharusan seperti ini, maka akan menjadi stimulasi
bagi para mahasiswa, tidak terkecuali para dosen agar tetap memasukan nilai
hukum adat dalam setiap kegiatan ilmiahnya.
2. Tidak
melakuan indoktrinasi hukum adat (baca: Pancasila) dalam setiap level
pengajaran, melainkan pengamalan nilai-nilai adat dalam kegiatan
sehari-hari.
3. Pemberian
porsi lebih terhadap nilai-nilai hukum adat dalam setiap perumusan aturan hukum
di Indonesia. Apabila persentase selama ini lebih menunjukan arogansi hukum
modern (baca: hukum barat) dalam setiap pembuatan aturan hukum, maka logika
tersebut harus diubah. Setidaknya 40% berbanding 60% setiap aturan hukum di
Indonesia harus memuat ketentaun hukum adat.
Apabila, ketiga hal ini dapat diterapkan denga baik,
maka konflik horizontal yang terjadi selama ini dapat diminimalisir secara
bertahap. Walaupun kita tidak dapat menafikan keberadaan hukum modern sebagai
tuntutan dari perkembangan globalisasi, tetapi hukum adat sebagai hukum asli
Indonesia juga harus mendapatkan perhatian lebih, agar terciptanya keserasian
hukum di tengah masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
https://id.wikipedia.org/wiki/Globalisasi
http://www.temukanpengertian.com/2013/08/pengertian-hukum-adat.html
http://makalahdanskripsi.blogspot.co.id/2009/01/hukum-adat-dalam-perkembangan.html
http://nandikaagung.blogspot.co.id/2014/11/materi-hukum-hukum-adat.html
Comments
Post a Comment