Kegunaan Mempelajari Hukum Adat
Kegunaan Mempelajari
Hukum Adat
a)
Kegunaan Teoritis
Teoritis
berasal dari kata Teori yang mendapat akhiran –is. Teori berarti serangkaian bagian atau variabel, definisi, dan dalil
yang saling berhubungan yang menghadirkan sebuah pandangan sistematis mengenai
fenomena dengan menentukan hubungan antar variabel, dengan menentukan hubungan
antar variabel, dengan maksud menjelaskan fenomena alamiah. Sedangkan teoritis
merupakan pikiran atau pola pikir yang mendasarkan semuanya dari teori-teori
yang ada sebagai landasan tindakannya. Menjadikan sebuah atau beberapa teori
sekaligus yang punya keterkaitan sebagai landasan berfikir dan bersikap dalam
menyingkapi atau menghadapi masalah.
Hukum Adat
sebagai Ilmu Pengetahuan,
Ilmu pengetahuan bertujuan untuk meningkatkan kehidupan manusia. Di dalam
meningkatkan hidup itu dibutuhkan petunjuk-petunjuk hidup. Salah satu petunjuk
hidup itu adalah norma hukum, termasuk norma hukum adat.
Sebagai bagian dari ilmu pengetahuan
pada umumnya, maka hukum adat mempunyai.
a. Obyek adalah sasaran yang harus
dipelajari yaitu kebiasaan-kebiasaan yang berkonsekuensi hukum.
b. Metode adalah cara untuk
mempelajari, meneliti dan menganalisis hukum adat.
c. Sistematis adalah disusun sedemikian
rupa sehingga orang mudah untuk mempelajarinya
Dengan demikian hukum adat
dipelajari untuk memenuhi tugas Pengajaran dan Penelitian.
Menurut
pandangan teoritis, pengetahuan tentang hukum adat yang diperoleh adalah
semata-mata untuk menjamin kelangsungan penyelidikan ilmiah hukum adat
dan untuk memajukan secara terus menerus pengajaran hukum adat. Singkatnya
menurut pandangan teoritis ini, "ilmu untuk ilmu". Oleh sebab itu
hukum adat dipelajari untuk memenuhi dua tugas yaitu penyelidikan dan
pengajaran. Penyelidikan tentang hukum adat semakin
digiatkan dan pengajaran hukum adat di Universitas ditingkatkan.
Pandangan
teoritis ini cenderung menyimpan hukum adat dalam sifat dan corak aslinya,
sikap untuk ilmu menginginkan hukum adat jauh dari pengaruh modernisasi. Ini
terselubung maksudnya untuk memudahkan penelitian tentang hukum adat. Pandangan
teoritis ini sama sekali tidak memanfaatkan ilmu hukum adat yang ditemukan itu
untuk kepentingan masyarakatnya. Dengan adanya maksud tersebut, sikap untuk
ilmu justru menjadi halangan untuk memanfaatkan hasil penyelidikan ilmiah bagi
kemajuan bangsa Indonesia dan hukum adat itu sendiri. Pada dasarnya sikap ilmu
untuk ilmu merupakan sikap licik dari Belanda yang menginginkan bangsa
Indonesia menjadi bangsa yang buta terhadap dunia luar, sehingga pengetahuan
bangsa Indonesia sangat rendah dan akhirnya Belanda dapat menguasai dengan
mudah pada waktu itu. Sesudah Perang Dunia ke I dan Perang Dunia ke II,
pandangan "Ilmu Untuk Ilmu" mulai ditinggalkan atau dijadikan nomor
dua.
Manfaat dari mempelajari hukum
Adat dapat dilihat dari sisi teoritis dan dari sisi Praktis. Manfaat dari sisi
teoritis ialah ketika hukum Adat dilihat sebagai ilmu pengetahuan. Manfaat
hukum Adat sebagai ilmu pengetahuan, untuk memuaskan keingintahuan mengenai
hukum Adat itu apa, bagaimana terbentuknya, untuk siapa hukum Adat itu, dan
bagaimana perkembangannya. Hukum Adat mengenai manfaatnya dari sisi teoritis
yaitu hanyalah sebagai ilmu yang dapat dipelajari saja, dan belum ada
aplikasinya kepada masyarakat. Kemudian, dari sisi praktiknya, kemanfaatan dari
mempelajari hukum Adat yaitu ketika hukum Adat itu di menyelesaikan dan
menjelaskan masalah – masalah yang terjadi dalam masyarakat, sehingga tujuan
dari ilmu untuk masyarakt dapat tercapai.
b) Kegunaan
Praktis
Praktis merupakan bentuk kata sifat, dimana berarti berdasarkan praktek;
mudah dan senang memakainya.Manfaat
hukum Adat dari sisi praktisnya ketika ditinjau dari praktek kehidupan
berbangsa dan bernegara, maka hukum Adat dapat memupuk cirri khas, atau
keperibadian bangsa yang memberikan identitas yang berbeda dengan bangsa atau
Negara lainnya, karena hukum Adat adalam penserminan dari keperibadian bangsa.
Hukum
Adat kemudian apabila dikaitkan dengan penyelengaraan
Negara, maka hukum Adat dapat menjadi sumber bahan hukum nasional dan sumber
hukum bagi hakim ketika hakim mengambil keputusan dalam peradilan ( UU No. 4
tahun 2004, ps. 16 ayat 1 dan ayat 28). Hal itu disebabkan suatu keputusan,
atau kaedah hukum positif yang berlaku di suatu Negara, khusunya Indonesia,
haruslah bersumber dan mencerminkan jiwa, semangat dan kehendak dari masyarakat
Indonesia, agar setiap keputusan atau hukum yang dibuat, dapat diterima dan
diterapkan dalam masyarakat Indonesia. Untuk itulah, perlunya
mempelajari hukum Adat.
Tujuan Praktis mempelajari hukum adat antara lain:
a.
Bagi Praktisi Hukum
Agar dalam pelaksanaan tugas dan fungsi dapat mempertimbangkan dan
menerapkan hukum yang sesuai dengan tuntutan keadilan masyarakat, khususnya
dalam kasus-kasus yang berkenaan dengan adat. Dalam hubungan ini Ter Haar
mengatakan bahwa setiap hakim yang harus mengambil keputusan menurut adat,
haruslah menginsyafi sedalam-dalamnya tentang sistem hukum adat, kenyataan
sosial serta tuntutan keadilan dan kemanusian untuk dapat melakukan tugasnya
dengan baik.
b.
Bagi pembentuk Undang Undang
Agar dalam pembentukan undang-undang atau peraturan perundang-undangan
mempertimbangkan nilai-nilai hukum adat atau adat pada umumnya, sehingga
perundang-undangan yang dihasilkan dapat memenuhi rasa keadilan bagi masyarakat
yang menjadi subjeknya.
1. Kegunaan
dalam Pembinaan Hukum Nasional
Hukum
Adat sebagai suatu model hukum, baru mendapat perhatian dari kalangan Ilmu
Pengetahuan Hukum yang modern pada
permulaan abad XX. Soepomo menulis dalam bukunya yang berjudul “Bab-bab Tentang
Hukum Adat” : Hukum Adat adalah hukum kebiasaan , hukum adat itupun melingkupi
hukum yang berdasarkan keputusan-keputusan Hakim yang berisi azas-azaz hukum dalam lingkungan,
dimana ia memutuskan perkara. Hukum adat adalah bagian dari kebudayaan
Indonesia, karena dimana ada masyarakat disana terdapat hukum (adat).
Pada
tahun 1960 dengan Ketetapan MPRS No. II/MPRS/1960 Lampiran A Paragraf 402, ditetapkan Hukum Adat sebagai Azas-azas Pembinaan Hukum
Nasional, Ketetapan MPRS tersebut
merupakan garis-garis besar politik dibidang hukum adat sebagai berikut :
a. Azas-azas
pembinaan hukum nasional supaya sesuai dengan haluan negara dan berlandaskan
pada hukum adat yang tidak menghambat perkembangan masyarakat adil dan makmur.
b. Di
dalam usaha kearah homoginitas dalam bidang hukum dupaya diperhatikan
kenyataan-kenyataan yang hidup di Indonesia.
c. Dalam
penyempurnaan Undang-undang hukum perkawinan dan hukum waris supaya
diperhatikan adanya faktor-faktor Agama, Adat dan lain-lainnya.
Dengan
diundangkannya Tapo MPRS No.II/MPRS/1960 tersebut diatas, maka kedudukan serta
peranan Hukum Adat dalam Pembinaan
Hukum Nasional menjadi lebih jelas dan
tegas.
Hukum
tersebut dilatarbelakangi karena Hukum Adat adalah bagian dari kebudayaaan
Indonesia. Suatu Hukum yang timbul dari keseluruhan tingkah laku, kesusilaan
dan kebiasaan bangsa Indonesia sehari-hari. Hukum yang yang berasal dari
masyarakat, dipatuhi serta dipertahankan oleh rakyat Indonesia, sehingga dapat
dikatakan bahwa Hukum Adat tersebut adalah Hukum Rakyat Indonesia. Hukum Adat
senantiasa mencerminkan ciri-ciri, watak, sikap hidup dan pandangan hidup
bangsa Indonesia. Sebagai syarat dapatnya
Hukum Adat dipakai sebagai azas-azas atau landasan pembinaan Hukum Nasional
yaitu “sepanjang tidak menghambat perkembangan masyarakat adil dan makmur”, hal
ini sangat penting karena hukum adat Indonesia terdiri dari beberapa
lingkaran-lingkaran hukum (rechtskring).
Menurut
Van Vollenhoven dalam bukunya Het
Adatsrecht Van Nederlandch Indie Jilid II, dimana tiap lingkaran hukum itu
memperlihatkan sifat dan coraknya sendiri yang antara satu lingkaran hukum dan
lingkaran hukum lainnya menunjukan perbedaan-perbedaan tertentu.
Oleh
karena itu Hukum Adat yang dipakai seebagai azas-azas atau landasan pembinaan
Hukum Nasional harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut yaitu :
1. Hukum
Adat tidak boleh bertentangan dengan kepentingan Nasional dan Negara yang berdasarkan atas persatuan bangsa;
2. Hukum
Adat tidak boleh bertentangan dengan Negara Indonesia yang berfalsafah
Pancasila;
3. Hukum
Adat tidak boleh bertentangan dengan Peraturan-peraturan tertulis
(Undnag-Undang);
4. Hukum
Adat yang bersih dari sifat-sifat Feodalisme, Kapitalisme serta pengisapan
manusia atas manusia;
5. Hukum
Adat tidak bertentangan dengan unsure-unsur agama.
Hukum
adat merupakan salah satu sumber yang penting untuk memperoleh bahan-bahan bagi
pembangunan Hukum Nasional yang menuju kepada unifikasi hukum yang terutama
akan dilakukan melalui pembuatan-pembuatan peraturan perundang-undangan, dengan
tidak mengabaikan timbulnya dan berkembangnya hukum kebiasaan dan peranan
pengadilan dan pembinaan hukum.
Dengan
demikian Hukum Adat yang dapat dipakai sebagai landasan pembinaan hukum
nasional adalah bukan Hukum Adat yang murni, tetapi Hukum Adat yang sudah
bersih dan memenuhi syarat-syarat diatas. Di dalam usaha-usaha mencapai
keadilan dalam tatanan hukum nasional, perlu diperhatikan kenyataan-kenyataan yang
hidup di Negara Indonesia. Hal ini berarti, bahwa perasaan keadilan yang
tercermin dalam kehidupan masyarakat Indonesia sehari-hari.
2. Kegunaan
dalam praktik Pengadilan
Menurut Ter Haar ada beberapa
Pedoman:
1. Mengetahui
dan menguasai tentang sistem hukum adat
2. Mengenal
perubahan hukum dalam masyarakat Azas keadilan dari perikemanusiaan yang harus
diterapkan di dalam kasus yang sedang dihadapi
3. Memperhatikan
putusan yang terdahulu.
Hukum Adat mencakup seluruh peraturan yang menjelma di dalam keputusan-keputusan
pada penjabat hukum, yang mempunyai kewibawaan dan pengaruh, serta yang di
dalam pelaksanaannya secara serta merta dan dipatuhi dengan sepenuh hati oleh
mereka yang diatur oleh keputusan tersebut. Keputusan tersebut dapat mengenai
suatu persengketaan, akan tetapi juga dapat diambil berdasarkan kerukunan dan
musyawarah. Namun demikian, ter Haar juga menyatakan bahwa Hukum Adat dapat
timbul dari keputusan para warga masyarakat.
Ter Haar telah berusaha menempatkan hukum adat sejajar dengan ilmu-ilmu hukum
positif lainnya. Dalam bukunya yang berjudul Beginselen en Stelsel van
het Adatrecht, ter Haar menguraikan secara sistematis masalah-masalah yang
menyangkut masyarakat hukum adat, tanah, perjanjian, hukum keluarga, hukum
perkawinan, hukum waris, dan lain sebagainya.
Sepanjang dasawarsa 1930-an, sampai pecahnya perang Pasifik tahun 1942, ter
Haar berhasil mempertahankan hukum adat sebagai hukum yang hidup dan terpakai
di badan-badan pengadilan negara (yang diselenggarakan khusus untuk memeriksa
perkara-perkara orang-orang pribumi ialah landraad). Ter Haar berhasil
mengukuhkan hukum adat atas dasar dan/atau atas kekuatan preseden-preseden yang
dikembangkan dalam yurisprudensi landraad.
Pada tahun 1930-an, banyak landraad sudah mulai diketuai
oleh hakim-hakim – banyak diantaranya berasal dari kalangan pribumi – yang tahu
benar bagaimana menghargai hukum adat, dan paham benar begaimana menemukan
asas-asas hukum adat yang hidup di masyarakat untuk seterusnya diterapkan
sebagai keputusan-keputusan yang mengikat. Lewat cara ini, hukum adat
memperoleh bentuknya yang formal (sebagai hukum pengadilan negara), dan
seterusnya tersistematisasi lewat yurisprudensi. Disadari atau tidak, ter Haar
telah mengembangkan dan merawat hukum adat lewat cara yang dikenal dalam sistemcommon
law.
Untuk mendapatkan pengakuan formil dalam undang-undang, ter Haar telah
memperjuangkan pengakuan hak ulayat melalui “Volksraad”, komisi agraria 1928,
maupun dalam advis komisi tahun 1938.
Hukum adat, sebagaimana hukum rakyat pada umumnya, sebenarnya memiliki
kekuatannya dalam wujud realitanya sebagai pola perilaku (pattern of actual
behavior). Pengkodifikasiannya – dan dengan demikian juga pengubahannya –
menjadi pola untuk mengatur perilaku (pattern of behavior) akan
menghilangkan kekuatan dinamiknya. Sebenarnya ter Haar telah berhasil
memodernisasi hukum adat, dan menyiapkannya untuk keperluan menata kehidupan
rakyat di dalam lingkungan masyarakat negara. Ter Haar memodernisasi hukum adat
hanya dalam ihwal forum dan fungsinya, namun tetap menyerahkan modernisasi
(dalam arti pemutakhiran nilai) substansinya pada pengalaman masyarakat
sendiri. Namuan para yuris saat ini tidak bisa memahami kenyataan bahwa hukum
adat (dalam konteks nasional sekalipun) sebenarnya hanya akan menemukan kelestariannya
kalau diperlakukan sebagai common lawmenurut konsep legal
realism, dan tidak sebagai hukum kodifikasi yang dirawat berdasarkan
konsep analytical jurisprudence.
Intisari dari pokok pemikiran ter Haar ini dapat kita lihat dari rumusan
Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman
sebagai berikut:
“Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami
nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.”
Rumusan tersebut mengakui nilai-nilai hukum adat sebagai nilai-nilai hukum
dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Melalui kewajiban (atau bisa
juga diartikan sebagai kewenangan) hakim dan hakim konstitusi tersebut,
eksistensi hukum adat dapat dijaga melalui putusan pengadilan. Pencantumannya
secara tertulis dalam undang-undang tidak terlepas dari sistem hukum negara
Indonesia yang lebih condong ke arah sistem hukum civil law.
Namun demikian, eksistensi hukum adat hanya dapat dijaga melalui
praktek-praktek (law in action). Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang
Kekuasaan Kehakiman tersebut hanyalah sebagai tool atau alat,
tetapi penerapannya tergantung dari hakim sebagai pihak yang berwenang untuk
menerapkannya. Secara umum, belum banyak hakim yang menggali, mengikuti, dan
memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.
Kebanyakan hakim masih menganut paradigma positivistik, sehingga
putusan-putusannya tidak mencerminkan nilai-nilai budaya bangsa dan keadilan
masyarakat, melainkan mencerminkan kemauan undang-undang (kehendak penguasa).
Persoalan utama yang menghambat peradilan adat menjadi sebuah
alternatif sistempenyelesaian sengketa adalah posisinya yang tidak jelas dalam
sistem peradilannasional. Di banyak daerah masyarakat mulai enggan untuk
menyelesaikan sengketa diperadilan adat. Biasanya ini disebabkan oleh keraguan
atas kekuatan daya berlakukeputusan peradilan adat, karena ketiadaan aparat
yang bisa memaksakanpenegakannya. Namun, sejumlah kelemahan yang saat ini
ditemukan pada peradilanadat, lebih disebabkan karena tidak adanya pengakuan
negara terhadap eksistensinya.Persoalan yang penting untuk dijawab negara dalam
hubungannya denganmasyarakat adat adalah apakah negara mau berbagi ruang dengan
masyarakat dalamhal-hal tertentu (Kleden, 2006). Misalnya di bidang hukum dan
peradilan, denganpenekanan utama pada tujuan dan proses menciptakan tertib
sosial dan tercapainyakesejahteraan. Upaya menemukan sebuah sistem hukum yang
dapat menjamin secarasetara seluruh kebutuhan akan tertib sosial dalam realitas
sosial yang demikianberagam seperti Indonesia memang bukanlah persoalan
mudah.Tidak perlu diragukan lagi bahwa peradilan adat dapat memberikan sesuatu
yangseringkali lebih baik dari pada ketika orang datang kepada peradilan
formal. Sudahmenjadi rahasia umum bahwa beracara di peradilan adat lebih mudah
diakses olehmasyarakat, cepat dan biayanya murah. Peradilan adat tidak kaku dan
formalistik sebagaimana peradilan formal yang harus mengikuti tahapan-tahapan
pelaksanaanhukum acara secara runtut dan panjang, hal ini membuat peradilan
adat cenderungdapat lebih cepat untuk menyelesaikan perkara-perkara yang
ditanganinya.Hal lain, peradilan adat dijalankan bukan oleh tenaga-tenaga
professional yangmenggantungkan hidupnya pada pekerjaan sebagai hakim.
Melainkan dijalankan olehpimpinan-pimpinan atau orang-orang tertentu yang
dipandang memahami adat didalam masyarakat yang juga memiliki
profesi/pekerjaannya sendiri-sendiri. Jadi, hakimatau pelaksana peradilan adat
bukan orang yang menggantungkan hidupnya padabekerjanya peradilan adat,
melainkan karena tanggungjawabnya di dalam masyarakat.Hal ini dapat menghindari
terjadinya suap dalam menyelesaikan kasus di peradilan adat.Kelebihan lain
dari peradilan adat adalah tujuannya untuk menyeimbangkansituasi sosial yang
terganggu karena adanya suatu tindakan yang melanggar hukumadat. Oleh karena
itu, pada umumnya sanksi adat bukanlah sebagai bentuk pembalasan,tetapi sebagai
upaya untuk menormalkan keadaan sosial menjadi harmoni sepertisebelumnya. Tidak
salah kemudian sanksi dalam persidangan adat berupaya menjadialat untuk
mendamaikan para pihah yang berperkara.Namun bukan berarti peradilan adat tidak
punya masalah atau tantangan dalampelaksanaannya.
Pertama, masalah utama adalah persoalan
pengawasan terhadappelaksanaan peradilan adat. Isu soal pengawasan itu penting
supaya tidak ada orang diadili secara sewenang-wenang atau karena ketidaksukaan
yang tidak beralasan darisuatu kelompok dominan terhadap kelompok minoritas di
dalam masyarakat. Memangsalah satu basis utama peradilan adat adalah tanggungjawab
dari pimpinan danpemangku adat. Namun tidak berarti bahwa pimpinan dan pemangku
adat selalu benar.Kalau mau jujur, di beberapa tempat terdapat pimpinan adat
yang memanfaatkanotoritasnya untuk memperkaya diri sendiri. Di Sumatra Barat
persoalan ninik mama yang ‘menjual’ tanah adat kepada perusahaan masih terjadi.
Tantangan kedua dalam menjalankan peradilan
adat adalah persoalan yurisdiksiperadilan adat. Yurisdiksi atau lingkup
kewenangan hukum dari peradilan adatmencakup pertanyaan (1) perkara apa saja
yang dapat diadili di peradilan adat? dan (2)Apakah peradilan adat dapat
diterapkan terhadap orang dari luar masyarakat adat itusendiri. Secara sekilas
tentu dua pertanyaan itu mudah dijawab. Namun bila ditelisik
lebih jauh dan dalam, maka ada pertanyaan turunan, misalkan apakah
peradilan adat juga akan menangani kasus pembunuhan, korupsi atau tindakan-tindakan yang baru dikenal sebagai kejahatan oleh masyarakat. Tentang pertanyaan
kedua misalkan apakahperadilan adat juga punya kewenangan untuk mengadili
perusahaan atau pemerintahyang melakukan pelanggaran di wilayah mereka. Dan,
seberapa efektif kah peradilanadat diterapkan terhadap orang dari luar
masyarakat adat?
Tantangan ketiga
adalah mengatasi masalah ketidakadilan dari struktur adatyang telah
melembaga. Pada beberapa komunitas masyarakat adat terlalu bias laki-lakidan
membungkam suara perempuan dalam pengambilan keputusan. Dominasi elitdalam
kelembagaan adat juga mempengaruhi bagaimana peradilan adat dapat bekerjauntuk
mendatangkan keadilan bagi pihak yang lemah di dalam komunitas.
Sedangkan tantangan keempat
adalah birokratisasi peradilan adat. Penerimaanpemerintah terhadap
keberadaan peradilan adat sebagai salah satu mekanismepenyelesaian perkara yang
dihadapai oleh masyarakat biasanya diikuti denganmengadopsi nilai dan
standar-standar yang perlu diikuti oleh para pemangku adat yangmenyelenggarakan
peradilan adat. Ketergantungan para pemangku peradilan adatterhadap pemerintah
mengurangi kemandirian dari institusi peradilan adat dalammenyelesaikan perkara
yang mempertemukan masyarakat adat dengan pemerintah.Oleh karena itu, perlu
meletakan kedudukan peradilan adat bukan sebagai kepanjangantangan dari
pemerintah, melainkan sebagai kenyataan yang menunjukan bahwaterdapat hukum
yang hidup di dalam masyarakat.
Daftar
Pustaka
http://adi-tyareza.blogspot.co.id/2013/04/kegunaan-hukum-adat-dari-segi-teoritis.html
http://sonofshalom.blogspot.co.id/2011/06/tugas-hukum-adat.html
https://elvirawihardjan.wordpress.com/2011/04/24/manfaat-mempelajari-hukum-adat/
http://mandarraya.blogspot.co.id/2013/07/tujuan-mempelajari-hukum-adat.html
https://hermawanrudi.wordpress.com/sih/peran-dan-fungsi-hukum-adat-dalam-sistem-hukum-nasional-dalam-rangka-penguatan-dan-pelestarian-nilai-nilai-istiadat-di-daerah/
http://wisnu.blog.uns.ac.id/2009/07/28/kedudukan-hukum-adat-dalam-hukum-nasional/
http://mimbar.hukum.ugm.ac.id/index.php/jmh/article/view/381
Comments
Post a Comment