Sanksi Adat Bali ditinjau dari Perspektif Hak Asasi Manusia dalam Kesatuan Masyarakat Hukum Adat
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang Masalah
Sebagai
kesatuan masyarakat Hukum Adat, desa
adat di Bali diikat oleh hukum adat yang berkembang dalam lingkungan
masyarakat setempat, yang lebih dikenal dengan sebutan Awig-Awig yang merupakan
rinsip Dasar dalam pemerintahannya. Awig-awig Desa Pakraman yang merupakan
Hukum Adat Bali mempunyai sifat
mengatur, mengikat dan memaksa masyarakat agar terciptanya keserasian dan
keselarasan dalam setiap hubungan hukum masyarakat. Awig-awig tersebut disusun
dan ditetapkan berdasarkan atas kesepakatan bersama karma desa (warga desa) dan
ditaati oleh karma desa itu sendiri. Krama desa dalam pergaulan hidup
bermasyarakat berpedoman pada awig-awig yang mengatur keserasian, hubungan
manusia dengan Ida Sang Hyang Widhi Wasa, hubungan manusia dengan sesamanya,
dan hubungan manusia dengan alamnya. Dalam hal ini dikenal dengan istilah Tri
Hita Karana yang menjadi sumber kesejahteraan dan kebahagiaan masyarakat.
Semua
perbuatan yang mengganggu keseimbangan masyarakat hukum adat merupakan
pelanggaran hukum adat dan prajuru adat wajib mengambil tindakan guna
mengembalikan keseimbangan hukum pada masyarakat hukum adat.
Tindakan-tindakan yang diambil oleh
prajuru adat oleh Ter Haar disebut dengan “adatreactie” yang dalam masyarakat
di Bali dikenal dengan istilah Sanksi Adat. Sanksi adat ini kemudian
diformulasikan ke dalam bentuk Pamidanda (hukuman), yang berupa Sangaskara Danda (hukuman dalam bentuk upacara
agama) dan Jiwa danda (hukuman pada jiwa dan psikis). Sanksi adat merupakan
salah satu upaya untuk mengembalikan keseimbangan magis serta berwujud
bermacam-macam bentuk sesuai dengan nilai-nilai dan perasaan keadilan
masyarakat bersangkutan. Penjatuhan
sanksi adat terhadap pelanggar hukum adat pada umumnya disesuaikanm dengan
tingkat kesalahan atau pelanggarannya .
Keterkaitan
antara hukum adat dan agama dalam penjatuhan “sanksi adat” untuk delik-delik
adat tertentu yang pelaksanaannya banyak berupa kewajiban untuk melaksanakan
ritual adat keagamaan tertentu. Semua ini tentunya dilandasi dan berhubungan
pula dengan nilai dasar filosofi reaksi adat, yakni untuk mengembalikan
keseimbangan masyarakat karena perasaan kotor (leteh).[1] Dalam hal ini Desa
Pakraman memiliki peran dalam menyelesaikan
permasalahan yang muncul. Warga desa yang terbukti melakukan pelanggaran
adat, akan tetapi bersikukuh dengan pendiriannya, tidak menaati keputusan
rapat, dapat dijatuhi sanksi oleh desa pakraman, mulai dari sanksi yang paling
ringan berupa permintaan maaf (pangaksama),
sampai yang paling berat seperti diberhentikan dan dikucilkan sebagai warga
desa pakraman (kasepekang).[2]
Pada
dewasa ini, ada kalanya sanksi adat yang diterapkan di berbagai tempat di Bali dianggap
menyimpang dari prinsip-prinsip Hak Asasi Manusia Nasional terutama dalam hal
sanksi kesepekang, sanksi pengenaan
“penanjung batu” yang begitu berat, larangan mengubur di setra dan sebagainya.
1.2
Rumusan
Masalah
1. Bagaimanakah
sanksi Adat Bali jika ditinjau dari Perspektif Hak Asasi Manusia Nasional
2. Bagaimanakah sanksi Adat Bali jika ditinjau
dari Perspektif Hak Asasi Manusia dalam Kesatuan Masyarakat Hukum Adat
1.3
Tujuan
1. Untuk
mengetahui penerapan sanksi Adat Bali ditinjau dari Perspektif Hak Asasi
Manusia Nasional
2. Untuk
mengetahui penerapan sanksi Adat Bali ditinjau dari Perspektif Hak Asasi
Manusia dalam Kesatuan Masyarakat Hukum Adat
BAB
II
TINJAUAN
PUSTAKA
2.1 Konsepsi Hak Asasi Manusia
Gagasan HAM
merupakan gagasan politik yaitu gagasan tentang perlindungan hak-hak dasar manusia dari tekanan,
kesewenang-wenangan dan penyalahgunaan kekuasaan penguasa.HAM adalah gagasan
perlindungan hak-hak alamiah manusia yang bersifat mendasar, yaitu hak yang
dibawa manusia sejak lahir, bersifat melekat
dan tidak terhapuskan,
mencakup hak-hak sosio kultural,
agama, ekonomi,politik.[3] Pengertian HAM
dalam Undang-Undang No. 39 Tahun
1999 yaitu Hak asasi manusia adalah seperangkat hak yang
melekat pada hakikatnya dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha
Esa dan merupakan anugerah-nya yang wajib di hormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum,
Pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan ahrkat dan
martabat manusia.[4] Gagasan
HAM merupakan hasil perjuangan manusia melawan kekuasaan yang menindasnya.
Perjuangan HAM dimulai pada abad ke 13 dan berkembang pesat pada abad ke 17 dan
mencapai puncaknya pada abad ke 20. Gagasan mengenai hak asasi manusia ditandai
dengan munculnya konsep hak kodrati (natural rights theory) dimana pada zaman
kuno yaitu filsafat stoika hingga ke
zaman modern dengan tulisan-tulisan hukum kodrati Thomas Aquinas, Hugo
de Groot dan selanjutnya pada zaman pasca Reinaisans, John Locke mengajukan
pemikiran tentang hukum kodrati sehingga melandasi munculnya revolusi yang
terjadi di Inggris, Amerika Serikat dan Perancis pada abad 17 dan 18.
Selanjutnya konsep hak asasi manusia yang berpijak dari sudut teori hukum
kodrati mendapat tentangan dari kelompok utilitarian yang menganggap bahwa hak
kodrati adalah sebuah omong kosong yang retorik dan dungu atau puncak dari
omong kosong yang berbahaya. Jeremy
Bentham sebagai tokoh terkemuka dari aliran ini menerapkan salah satu prinsip
yang sangat fundamental yaitu manusia akan bertindak untuk mendapatkan kebahagiaan yang sebesar-besarnya
dan mengurangi penderitaan.
Sedangkan ukuran baik atau buruknya suatu perbuatan
menurut Soerjono Soekanto yang dikutip
oleh Antonius Cahyadi yaitu tergantung apakan perbuatan itu mendatangkan kebahagiaan atau tidak. John
Stuart Mill memiliki persamaan pemikiran dengan Bentham bahwa keadilan bersumber
pada naluri manusia untuk menolak dan membalas kerusakan yang diderita, baik
oleh diri maupun oleh siapa saja yang mendapatkan simpati dari kita, perasaan keadilan akan memberontak terhadap
kerusakan, penderitaan tidak hanya atas dasar kepentingan individu, melainkan
lebih luas dari itu sampai kepada orang-orang lain yang kita samakan dengan
diri kita sendiri. Hakikat keadilan, sangat hakiki bagi kesejahteraan
manusia. Generasi Pertama, mewakili
hak-hak sipil dan politik yakni hak asasi manusia yang “klasik”. Hak-hak ini
muncul dari tuntutan untuk melepaskan diri dari kungkungan kekuasaan
absolutisme negara dan kekuatan sosial lainnya. Pemikiran mengenai konsepsi hak
asasi manusia yang sejak lama berkembang dalam wacana para ilmuwan sejak era
enlightenment di Eropa, meningkat menjadi dokumen-dokumen hukum internasional
yang resmi. Puncak perkembangan generasi pertama hak asasi manusia ini adalah
pada persitiwa penandatanganan naskah Universal Declaration of Human Rights Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tahun 1948
setelah sebelumnya ide-ide perlindungan hak asasi manusia itu tercantum dalam
naskah-naskah bersejarah di beberapa negara, seperti di Inggris dengan Magna
Charta dan Bill of Rights, di Amerika Serikat
dengan Declaration of Independence, dan di Perancis dengan Declaration
of Rights of Man and of the Citizens.
Dalam konsepsi generasi pertama ini elemen dasar konsepsi hak asasi manusia itu
mencakup soal prinsip integritas manusia, kebutuhan dasar manusia, dan prinsip
kebebasan sipil dan politik. Kemudian pada tahun 1986, muncul pula konsepsi
baru hak asasi manusia yaitu mencakup pengertian mengenai hak untuk pembangunan
atau rights to development. Hak atas atau untuk pembangunan ini mencakup
persamaan hak atau kesempatan untuk maju yang berlaku bagi segala bangsa, dan
termasuk hak setiap orang yang hidup sebagai bagian dari kehidupan bangsa
tersebut. Hak untuk atau atas pembangunan ini antara lain meliputi hak untuk
berpartisipasi dalam proses pembangunan, dan hak untuk menikmati hasil-hasil
pembangunan tersebut, menikmati hasil-hasil dari perkembangan ekonomi, sosial
dan kebudayaan, pendidikan, kesehatan, distribusi pendapatan, kesempatan kerja,
dan lain-lain sebagainya. Konsepsi baru inilah yang oleh para ahli disebut
sebagai konsepsi hak asasi manusia Generasi Ketiga.
Dalam
perspektif teori HAM dikatakan bahwa ide-ide HAM memainkan peranan kunci pada akhir
abad ke-18 dan awal abad ke-19 dalam perjuangan melawan absolutisme politik. Hal ini sesungguhnya dikarenakan oleh
kegagalan para penguasa untuk menghormati prinsip-prinsip kebebasan dan
persamaan, yang merupakan suatu hal penting dari filosofi hukum alam sejak awalnya.
Namun demikian, ide-ide tentang HAM sebagai hak-hak alam juga memiliki penentang-penentang
dibagian dunia lainnya. Ia lama kelamaan menjadi kurang dapat diterima –baik
secara filosofis maupun politis- oleh kaum liberal. Dewasa ini mayoritas sarjana
hukum, filsuf, dan kaum moralitas setuju tanpa memandang budaya atau
peradabannya bahwa setiap manusia berhak, paling sediki secara teoritis
terhadap beberapa hak dasar. Dalam perjanjian pendirian perserikatan bangsa-bangsa(PBB)
semua negara sepakat untuk melakukan langkah-langkah baik secara bersama-sama
maupun terpisah untuk mencapai “universal respect for, and observance of human
rights and fundamental freedom for without distinction as to race, sex,
language, or religion. Pada universal declaration of human rights (1948),
perwakilan dari berbagai negara sepakat untuk mendukung hak-hak yang terdapat
didalamnya “as a common standard of achievement for all people dan all nation”.
Dan pada tahun 1976, International Covenant on Economic , Social, and Cultural
Rights dan International Covenant on Civil and Political Rights yang disetujui
majelis umum PBB pada tahun 1976, dinyatakan berlaku.
Gagasan
HAM di Indonesia bukan merupakan gagasan asli , gagasan ini masuk melalui
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 , yang mencakup dalam pasal
28 yaitu hak atas kebebasan menyatakan pendapat, hak atas kedudukan yang sma
diahadapan hukum dalam pasal 27 ayat
(1), hak atas kebebasan beragama dalam
pasal 29, hak atas penghidupan yang layak dalam pasal 27 ayat (2), dan hak
atas pendidikan dalam pasal 31.Gagasan
ini kemudian berkembang melalui konstitusi dan berapa kali perubahannya. Fasilitas perlindungan HAM
tidak hanya pada peraturan yang secara khusus mengatur HAM tetap juga tetapi
juga peraturan Perundang-undangan yang mengatur objek tertentu. Peraturan
Perundang-Undangan antara lain :
1. UU
No. 39 Tahun 1999 tentang HAM
2. UU
No. 5 Tahun 1998 Konvensi yang menentang Penyiksaan dan Penghukuman Yang Kejam
3. UU
No 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat Dimuka Umum
4. Perpu
Nomor 1 Tahun1999 Tentang Pengadilan HAM
5. Keppres
Nomor 181 tentang KomisiNasional Anti
kekerasan terhadap Perempuan
6. UU
No. 23 Tahun 1992 Tentang kessehatan
7. UU
No 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
8. UU
No 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaran
Negara bebas dari KKN.
Dalam
Undang- Undang Nomor 39 Tahun 1999 melindungi
sekitar 10 kelompok HAM yaitu :
1. Hak
untuk hidup
2. Hak
berkeluarga dan melanjutkan keturunan
3. hak mengembangkan diri
4. hak memperoleh keadilan
5. hak
atas kebebasan pribadi
6. hak
atas rasa aman
7. hak
atas kesejahteraan
8. hak
turut serta dalam pemerintahan
9. hak
wanita
10. hak
anak-anak
2.2 Sanksi
Adat Bali Ditinjau dari Hukum Adat Bali
Menurut
Bushar Muhamad, delik adat adalah suatu perbuatan sepihak dari seseorang atau
kumpulan perorangan, mengancam atau menyinggung atau mengganggu keseimbangan
dan persekutuan bersifat material atau immaterial, terhadap orang seorang atau
terhadap masyarakat berupa kesatuan. Setiap perbuatan yang mengganggu
keseimbangan kosmis yang merupakan pelanggaran hukum adat dan prajuru adat
wajib mengambil tindakan yang perlu guna memulihkan kembali perimbangan hukum.
Tindakan –tindakan yang diambil oleh prajuru adat oleh Ter Haar disebut dengan adatreactie (reaksi adat) yang dalam
masyakat di Bali lebih dikenal dengan istilah sanksi adat. Tindakan pemulihan
ini dapat dilakukan dengan berbagai jalan dan cara seperti pembayaran adat
berupa barang, uang, mengadakan selamatan, memotong beberapa hewan besar atau
kecil dan lain sebagainya.
Pada
dasarnya pemberian sanksi adat tidak memberikan suatu perbedaan apakah
pelanggaran tersebut bersifat perdata dan pelanggaran yang bersifat pidana.
Untuk memahami sanksi dalam suatu delik adat menurut konsep hukum adat, tidak
dapat mengkajinya dengan menggunakan konsep hukum barat. Hukum adat tidak
mempunyai sistem pelanggaran tertutup
dan tidak mengenal sistem pelanggaran hukum yang ditetapkan terlebih dahulu,
meskipun diketahui tidak ada perbedaan antara hukum perdata maupun pidana.
Sanksi
adat merupakan suatu upaya untuk mengembalikan keseimbangan dan mentralisir
suatu kegoncangan yang terjadi sebagai akibat perlanggaran adat. Dengan kata
lain, sanksi adat berfungsi sebagai stabilitsator untuk mengembalikan
keseimbangan antara dunia lahir dan dunia magis. Sanksi adat umumnya diputus
melalui paruman atau melalui kebijaksanaan kerua atau pemuka adat yang dianggap
memiliki kemampuan, kredibilitas, serta mendapat dukungan dari masyarakatnya.
Untuk itu penjatuhan sanksi adat didukung oleh seluruh kesatuan masyarakat
hukum adat tersebut. Wujud dari sanksi adat ada bermacam-macam tergantung pada
nilai-nilai dan perasaan keadilan masyarakat bersangkutan.Menurut Prof. Astiti,
adapun beberapa jenis jenis sanksi adat yang adat di Bali yakni :
1.
Danda, adalah sejumlah uang yang
dikenakan kepada seseorang yang melanggar suatu ketentuan atau awig-awig di
banjar atau desa.
2.
Dosa, adalah sejumlah uang
tertentu yang dikenakan kepada krama desa atau banjar apabila tidak
melaksanakan kewajiban sebagaimana mestinya.
3.
Karampag, ialah bila seseorang krama
desa atau banjar yang mempunyai hutang kepada banjar atau desa sampai
berlipat ganda tidak dapat membayar, maka se-gala harta miliknya diambil atau
dijual oleh banjar atau desa untuk membayar hutang itu.
4.
Kasepekang, adalah tidak diajak
bicara oleh krama atau warga banjar atau desa karena terlalu sering
melakukan perbuatan-perbuatan yang tidak baik atau me-langgar
peraturan-peraturan di banjar atau desa.
5.
Kataban, misalnya adanya ketentuan
bahwa kalau sawah sudah ditanami padi dilarang mengembalakan itik di sawah itu.
Apabila ternyata ada itik berkeliaran di sawah, dan merusak tanaman padi, maka
itik tersebut ditahan (kataban) atau bila sudah ada ketentuan di banjar
bahwa tidak ada boleh babi berkeliaran di jalan, kalau ada babi yang
berkeliaran, maka babi tersebut ditahan (kataban).
6.
Maprayascita, ialah suatu upacara adat
untuk membersihkan desa atau tempat ter-tentu apabila terjadi suatu peristiwa
atau perbuatan tertentu yang dianggap meng-ganggu keseimbangan magis dalam
kehidupan masyarakat (mengotori desa).
7.
Matirtha
gamana,
ialah hukuman bagi seorang pendeta yang melakukan kesalahan yang disebut atataji,
yaitu seperti meracuni orang, merusak kehormatan orang, dan lain-lain.
8.
Selong, ialah sejenis hukuman di
mana seseorang dibuang ke tempat lain untuk beberapa lama karena melangar suatu
ketentuan adat atau agama.
Menurut Widnyana, sanksi
adat yang juga dikenal dalam masyarakat desa pakraman di Bali adalah:
1.
Mangaksama
atau ngalaku
pelih, adalah suatu hukuman di mana seseorang mela-kukan permohonan maaf
atau minta maaf kepada orang yang telah disakitinya.
2.
Mararung
atau mapulang
kapasih, ialah suatu hukuman di mana seseorang diteng-gelamkan ke laut oleh
warga desa atau banjar sampai meninggal dunia
3.
Mablagbag, adalah suatu hukuman yang
diberikan kepada seseorang yang berupa pengikatan terhadap anggota tubuhnya
karena orang tersebut dianggap dapat mengganggu ketentraman, kedamaian dan
keamanan desa
4.
Katundung, adalah suatu hukuman di
mana seseorang dikeluarkan dengan jalan diusir dari persekutuan.
Prof. Windia juga menyebutkan adanya sanksi adat yang lain yaitu kaople,
adalah suatu sanksi adat yang diberikan kepada seseorang yang melanggar awig-awig
desa, berupa dipermalukan di depan umum dengan cara menelanjangi pakaiannya.
Sanksi adat selalu berpedoman pada nilai-nilai dasar keagamaan (satyam) serta
mengusahakan kesucian desa (Siwam) untuk mencapai ketentram (sundaram), dengan
demikian pelaksanaan saksi adat selalu berorientasi kepada pengembalian
kesucian desa dan keamanan desa (ngewalian kesudharman desa lan
kesukertannyane). Penerapan
sanksi adat di Bali khususnya pada desa pekraman sekarang mengalami tantangan
dalam pentaatannya. Keadaan ini perlu dicermati adanya, mungkin karena
kurangnya pemahaman terhadap makna dari sanksi adat atau secara sosiologis,
sanksi adat sudah tidak sesuai lagi dengan kesadaran hukum masyarakat.
BAB
III
PEMBAHASAN
3.1
Sanksi
Adat Bali Jika Ditinjau Dari Perspektif Hak Asasi Manusia Nasional
Negara
Indonesia yang berdasarkan Pancasila menganut konsep HAM lebih menekankan
keluhuran martabat manusia secara menyeluruh disamping martabat seorang demi
seorang. Oleh karena itu, HAM dipertimbangkan dan dua sisi, yakni dari sisi
individu mupun msyarakat. Konsep HM seabagai penjabaran Pancasila telah
dicantumkan dalam pembukaan UUD NRI 1945 dan dalam beberapa pasalnya. Hak asasi
sebagai penjabaran pancasila tersebut, tidak saja menyangkut kebebasan, tetapi
juga keadilan. Kebebasan dan keadilan merupakan dua nilai yang sangat penting
untuk memungkinkan manusia Indonesia meningkatkan harkat dan martabatnya.
Negara
Indonesia yang berdasarkan Pancasila, menganut konsep HAM yang lebih menekankan
keluhuran martabat manusia secara menyeluruh di samping martabat seorang demi
seorang. Oleh karena itu, HAM dipertimbangkan dari dua sisi, yakni dari sisi
individu maupun masyarakat. Konsep HAM sebagai penjabaran Pancasila telah
dicantumkan dalam Pembukaan UUD 1945 dan dalam beberapa pasalnya. Hak asasi
sebagai penjabaran Pancasila tersebut, tidak saja menyangkut kebebasan, tetapi
juga keadilan. Kebebasan dan keadilan merupakan dua nilai yang sangat penting
untuk memungkinkan manusia Indonesia meningkatkan harkat dan martabatnya.
Gagasan
HAM bukan gagasan asli Indonesia. Gagasan ini masuk ke Indonesia melalui
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945). UUD
NRI 1945, sebagaimana dirancang dan ditetapkan oleh Panitian Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Gagasan ini untuk pertm kali mencakup antara lain
: hak atas kebebsan menyatakan pendapat (pasal 28); hak atas kedudukan yang
sama didalam hukum (pasal 27 ayat (1)); hak atas kebebasan berkumpul (pasal
28); hak atas kebebasan beragama (pasal 29); hak atas penghidupan yang layak
(pasal 27 ayat (2)); hak atas kebebasan berserikat (pasal 28); dan hak atas
pendidikan (pasal 31). Gagasan ini kemudian berkembang melalui konstitusi,
termasuk beberapa kali perubahannya, dan dijabarkan dalam berbagai peraturan perundangan,
baik yang secara khusus mengatur atau berjudul HAM, maupun dalam berbagai
peraturan perundang-undangan departemental yang mengatur berbagai obyek.[5]
Ketentun
paling mendasar yang menyediakan fasilitas perlindungan HAM di Indonesia adalah
UUD NRI 1945. UUD 1945 sebagaimana telah diubah untuk keempat kalinya oleh
Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), melindungi sekitar 77 unit hak yang masuk
ke dalam cakupan HAM. Keseluruhan hak itu terdiri atas 74 unit hak yang secara
eksplisit dikategorikan sebagai hak asasi manusia oleh UUD NRI 1945, dan sekita
3 unit hak yang menurut instrumen internasional dikategorikan sebagai hak azazi
manusia, tetapi oleh UUD NRI 1945 tidak ditempatkan dibawah Bab Hak Asasi
Manusia (Bab XA).Dahulu ketika UUD 1945 belum diamandemen, di dalam
penjelasannya dikemukakan, bahwa: Undang-Undang Dasar suatu Negara ialah hanya
sebagai hukum dasar yang tertulis, sedang disamping Undang-Undang itu berlaku
juga hukum dasar yang tidak tertulis, ialah aturan dasar yang timbul dan
terpelihara dalam praktek penyelenggaraan negara meskipun tidak tertulis.
Dengan demikian, secara historis dapat dilihat pengakuan terhadap keberadaan
hukum yang tidak tertulis, termasuk hukum adat Bali, yang antara lain dapat
dikenali dari awig-awig desa pekraman.
Setelah UUD 1945 diamandemen, pengakuan terhadap
keberadaan masyarakat hukum adat masih tetap dipertahankan, sehingga produk
hukum dari masyarakat hukum adat tersaebut juga tetap diakui. Hal
tersebut dapat dilihat Pasal 18 B ayat (2) hasil amandemen keempat, yang
menyatakan bahwa: Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat
hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masing hidup dan dengan
perkembangan masyarakat dan prinsip Negara
Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam Undang-Undang.
Ketentuan
tersebut diatas menunjukkan adanya perhatian dan pengakuan terhadap hukum adat
sebagai hukum yang tidak tertulis yang hidup dan masih berlaku dalam masyarakat
hukum adat di samping hukum yang tertulis, sepanjang tidak bertentangan dengan
prinsip negara kesatuan dan diatur dalam undang-undang. Jadi, hukum adat diakui
keberadaannya dan dilindungi oleh UUD NRI 1945 sebagai Hukum Dasar (Konstitusi)
suatu Negara.[6]Hukum
adat mengandung nilai-nilai hukum yang hidup (the living law) dalam masyarakat, karena lahir, tumbuh, berkembang
atau ditinggalkan sesuai dengan kebutuhan hukum masyarakat pendukungnya, tanpa
memerlukan formalitas penetapan atau pencabutan.
Keberadaan hukum adat dalam hukum nasional pada dasarnya
sudah mendapat perhatian dan dirumuskan dalam pasal 18B ayat (2) UUD NRI 1945,
Pasal 28 ayat (1) UU No.4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman dan Pasal 5
ayat (3) huruf b UU No. 1 /Drt/1951. Ketentuan pasal 5 ayat (3) huruf b UU No.
1 /Drt/1951 juga telah memberikan dasar hukum berlakunya delik adat dan sanksi
adat sekaligus secara tidak langsung memberi landasan yuridis bagi penjatuhan
sanksi adat oleh desa pakraman, sepanjang ditaati oleh si terhukum. Dari
uraian tersebut kini menjadi jelas posisi desa pakraman dlam penerapan sanksi
adat dilihat dari perspektif hukum nasional. Secara tidak langsung
Undang-Undang membenarkan dan mengakui penerapan sanksi adat terhadap pelaku
oleh prajuru desa pakraman sesuai dengan mekanisme yang telah ditentukan dalam awig-awig, sepanjang
ditaati oleh pelaku. Namun apabila sanksi adat yang telah dijatuhkan oleh desa
pakraman tersebut tidak ditaati oleh pelau maka hakim akan dikenakan pidana
penjara 3 bulan dan atau denda Rp.500,- sebagai hukuman pengganti.
Masyarakat
Bali yang hidup dilandasi oleh ajaran agama hindu juga memngenal nilai-nilai
HAM, antara lain dapat diketahui dari ajaran Tat Twam Asi. Menurut K.Sudanan
(1994) Tat Twam Asi adalah “ibunya” kemanusiaan. Obsesi kemanusiaan yang
tersublimasi didalamnya meletakkan landasan “persamaan dan kesamaan”. Tat Twam
Asi mengajarkan kita untuk saling menghormati satu sama lain atau tidak saling
menyakiti antara sesama. Selin Tat Twam Asi, ajaran tentang Ahims juga
mengandung nilai HAM, karena ajaran ini dalam maknanya yang luas tidak saja
melarang membunuh melainkan juga melarang menyakiti sesama makhluk Tuhan. Tentu
saja masih banyak ajaran-ajarn agama hindu yng mengandung nilai-nilai HAM yang
sepatutnya dijadikan acuan oleh masyarakat Bali yang menganutnya, agar tidak
bertindak dan bersikap melwn HAM dan senantis harus berupaya untuk menegakkan
HAM tersebut. Masyarakat Bali yang hidup dibawah NKRI yang menganut pancasila,
maka prinsip-prinsip HAM yang dianut hendaknya mempertimbangkan dari sisi
individu maupun masyarakat.
Bebeberapa
kasus, seperti tata cara masyarakat menerapkan snksi adat, mulai diukur,
dibicarakan, dan dipersoalkan dari perspektif HAM. Dalam situasi tertentu,
hukum adat atau masyarakat adat, tanpa kontruksi logika yang jelas, bahkn dengn
serta merta dinilai melanggr HAM. Pertanynnya adalah dapatkah masyarakat adat
melanggar HAM dilakukan oleh orang perseorangan atau kelompok orang sipil
terhadap orang atau kelompok orang sipil lainnya ? Dapatkah perilaku msyarakat
dat diukur dengan stndr-standar HAM ?Pertanyaan tersebut dalam konteks hukum
HAM Indonesia, melhirkan 2 jawabn, yaitu : pertama pada konteks esensi
konsepnya, “TIDAK” dan kedua, sejauh diatur di dalam peraturan
perundang-undangan yang memberi perlindungan terhadap hak asasi manusia
“DAPAT”.[7]
“TIDAK” karena
skema HAM adalah skema hubungan pemerintah dan rakyat, sedangkan desa pakraman
bukanlah pemerintah sebagaimana dimaksud dalam definisi konvensi-konvensi HAM. Pemerintah
dalam definisi konvensi HAM adalah pemerintah dalam pengerrtian pemerintah
negara, bahkan hanya pemerintah negara yang negaranya menjadi anggota
konvensi-konvensi HAM tertentu. Dalam konteks Konvensi Suku dan Masyarakat Asli
des pakraman bahkn mendapat perlindungan untuk mengukuhkan dan menerapkan
budayanya, termasuk sistem sosial dalam hukumnya. Dari sisi lain, penting juga
dilakukan analisis struktur terhadap sanksi adat dalam hubungan dengan HAM
untuk menentukan apakah tata cara penerapan snksi adat dapat, wajar, atau logis
diukur dengan gagasn HAM atau tidak.
Sumber
sanksi adat adalah hukum adat dan sumber hukum adat adalah nilai-nilai
kemasyarakatan atau kultural masyarakat adat dan akhirnya nilai-nilai agama
hindu yang dianut oleh masyarakat adat, bukan gagasan HAM. Karena itu, untuk
mengukur benar salahnya tata cara penerapan sanksi adat, harus dikembalikan
kepada nilai-nilai yang menjadi sumbernya, yaitu Agama Hindu, bukan HAM.
“DAPAT”
karena dalam konteks hukum HAM Indonesia, pelanggaran HAM dapat dilakukan oleh
individu atau kelompok, sejauh hak yang dilanggar itu diatur dalam suatu
peraturan perundang-undang tertentu. Undang-Undang HAM mengartikan pelanggaran
HAM sebagai perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara baik
sengaja maupun tidak sengaja atau kelalaian yang secara melawan hukum
mengurangi, menghalangi, membatasi, dan atau mencabut hak asasi manusia
seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh undang-undang HAM, dan tidak
mendapatkan atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang
adil dan benar, berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku. Undang-undang
tersebut bahkan meletakkan unsur pemerintah sebagai unsur kedu dalam
pelanggaran HAM. Pemahaman umum masyarakat internasional, justru diletakkan
sebagai unsur pertama.
Jadi,
menurut Undang-Undang, pelanggaran HAM tidak saja dapat dilakukan oleh aparatur
pemerintah/negara, melainkan juga orang perseorangan atau kelompok orang.
Ketentuan ini menunjukkan bahwa setiap pelanggaran hak oleh siapapun, aparatur
pemerintah/negara atau peseorangan atau kelompok, sepanjang hak-hak yang
dilanggar itu tercantum di dalam Undang-Undang HAM, maka pelanggaran tersebut
adalah pelanggaran HAM. Pelnggaran HAM ditentukan berdasarkan ada tidaknya
pelanggaran terhadap hak seseorang atau sekelompok orang sebagaimana tercantum
dalam atau dilindungi oleh undang-undang HAM.
Dalam banyak
hal, istilah sanksi untuk pelanggaran adat tidaklah sama dengan pengertian
sanksi secara umum. Upaya pemulihan atas keseimbangan karena terjadinya
pelanggaran hukum adat dapat saja dilakukan oleh seluruh krama desa secara
bergotong royong. Dalam hal ini upaya penyeimbangan niskala-nya
saja yang masih ada.
Secara
konseptual, karena pelangggar hukum adat tidak pernah ditempatkan sebagai
‘musuh’, tetapi selalu ditempatkan sebagai bagian dari ‘keluarga’ desa
pakraman, maka penerapan sanksi adat mestinya tidak bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan, dan HAM. Namun dalam pelaksanaannya banyak faktor
yang berpengaruh. Kepekaan sosial, rasa kemanusiaan, dan keadilan yang
berupa wiweka (pertimbangan rasa dan logika) prajuru desa
pakraman sangat menentukan.
3.2
Sanksi
Adat Bali Jika Ditinjau Dari Perspektif Hak Asasi Manusia Dalam Kesatuan
Masyarakat Hukum Adat
Dalam Pasal 1 ayat (3)
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 ditegaskan bahwa
Indonesia merupakan Negara yang pemerintahannya diselenggarakan dengan
menjunjung prinsip-prinsip demokrasi yang mana Hak Asasi Manusia berkaitan
secara langsung dengan demokrasi ataupun Negara hukum. HAM adalah gagasan
tentang perlindungan hak-hak alamiah manusia yang bersifat mendasar, yaitu hak
yang dibawa manusia sejak lahir, bersifat melekat dan tidak terhapuskan (unalienable, undispensable rights). Hak
ini mencakup hak-hak sosio kultur, agama, ekonomi, dan politik.
Dalam masyarakat adat Bali
yang kehidupannya dilandasi oleh ajaran Hindu juga mengenal prinsip HAM melalui
ajaran Tat Twam Asi. Hal ini merupakan dasar dari kemanusiaan yang mana prinsip
persamaan dan kesamaan sangat ditonjolkan. Masing-masing kelompok sosial
umumnya mempunyai aturan masing-masing yang berlaku secara interen sebagai
ikatan sosial dan persaudaraan, dimana aturan tersebut berupa awig-awig atau
perarem baik secara tetulis maupun tidak
tetulis. Apabila didalamnya terdapat pelanggaran maka akan dikenakan sanksi.
Dalam bebagai kasus yang
memuat sanksi adat seringkali masih tejadi pelanggaran HAM yang menyebabkan
hilangnya prinsip persamaan dan kesamaan dalam masyarakat seperti misalnya kasepekang. Kesepekang adalah istilah
hukum adat di pulau Bali untuk mereka
yang dikeluarkan atau dikucilkan dari desa adat berdasarkan awig awig atau hukum
adat yang berlaku di daerah itu sampai yang bersangkutan membayar kewajiban
denda adat. Seorang atau kelompok anggota banjar yang dianggap melanggar norma
norma atau awig-awig tersebut dikucilkan
dari banjar atau desa adat setempat, dilarang tinggal di wilayah tersebut,
tidak boleh menggunakan fasilitas kuburan dan juga dilarang berkomunikasi atau
bersosialisasi dengan anggota banjar lainnya[8].
Namun perkembangan hak asasi membuat hukum nasional tidak memberikan ruang
sanksi kasepekang untuk berada di dalamnya, sanksi adat tersebut dianggap telah
melanggar Hak Asasi Manusia secara umum dimana manusia pada dasarnya memiliki
kebebasan untuk menjalankan kehidupannya dan kebebasan atas tempat tinggal di
wilayahnya yang sah.
Posisi sanksi adat dalam
kesatuan masyarakat hukum adat pada
dasarnya adalah sebagai pengikat kebersamaan dan tali persaudaraan dalam masyarakat hukum adat agar kehidupan
dalam masyarakat tidak bergeser kearah individual. Meskipun Pancasila telah menjadi ideologi
bukan berarti hukum yang telah mendarah daging di masyarakat tertentu yang lebih dikenal dengan hukum adat
dihapuskan. Hukum adat dan Pancasila berjalan beriringan tanpa ada niat dari
pihak manapun untuk saling menjatuhkan. Hukum adat memang memiliki sanksi yang
lebih menakutkan dibandingkan dengan hukum nasional. Karena hukum adat
dikaitkan dengan agama maka sanksi nyapun berkaitan dengan sanksi norma agama
juga norma sosial yang dapat memengaruhi psikis bagi pelanggarannya.
Peraturan adat-istiadat dapat
dikatakan sebagai sebuah hukum bila tindakan-tindakan yang oleh masyarakat
dikatakan patut dan mengikat masyarakat serta dirasa perlu untuk dipertahankan
maka peraturan tersebut bersifat hukum. Ter Haar mengatakan bahwa hukum adat
dapat berlaku bilamana dilakukan penetapan-penetapan oleh petugas hukum seperti
kepala adat melalui rapat adat. Lebih jauh dijelaskan oleh Vollenhoven hukum
adat ada cukup dengan segala tingkah
laku di dalam masyarakat yang menurut perasaan keadilan rakyat harus ditaati
semua orang.
Sanksi adat masih sangat
diperlukan guna mengatur masyarakat untuk tetap hidup harmonis, selain itu
dengan tetap dijaganya sanksi tersebut Pemberian sanksi ini bertujua nagar
masyarakat menjadi sadar akan kesalahan yang dilakukan dan mengingat betapa
pentingnya keharmonisan dalam hidup bermasyarakat. Sanksi adat dapat diterapkan selama masyarakat masih menghendaki
adanya sanksi tersebut dan hanya diterapkan sebagai pilihan terakhir, sanksi
ini perlu dilaksanakan karena dengan sanksi tersebut wibawa hukum adat
terangkat.
[6]Ibid., h. 81
[7]Opcit., h.127-130
[8]
Wayan P. Windia, 2006, Pengantar Hukum Adat Bali, Lembaga Dokumentasi dan Publikasi
Fakultas Hukum Univesitas Udayana, h. 148.
Comments
Post a Comment